Ide khilafah menyala kian
terang kembali di Indonesia seiring lahirnya reformasi 1998. Jika
reformasi menandai berlayarnya kapal demokrasi Pancasila Indonesia yang
penuh keterbukaan itu, aktivis khilafah dengan jitu
memanfaatkan pintu kapal yang terbuka bagi siapa pun itu, menumpanginya,
bukan untuk bersama-sama mengarungi samudra demokrasi, melainkan khilafah. Khilafah Islamiyah. Pemerintahan Islam. Soal khilafah jelas-jelas head to head dengan demokrasi, siapa yang bisa membantahnya.
Baiklah, secara historis, gagasan khilafah
ini aslinya telah sangat usang dan tuntas di era awal pembentukan NKRI.
Perdebatan M. Natsir yang mewakili kubu religius dengan Soekarno yang
mewakili kubu nasionalis telah mengerucut purna. Hasilnya adalah kubu
Islam menerima Pancasila sebagai telah sesuai dengan prinsip amar makruf nahi munkar dan hiratsah al-din wa siyasah al-dunya. Indonesia diterima sebagai negeri islami.
Ya, memang, akan selalu ada riak di telaga setenang apa pun. Riak itu bernama khilafah.
Ada satu peristiwa sejarah di awal
pembentukan NKRI yang selalu diungkit oleh para pejuang teokrasi, yakni
penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Tentu, dengan nada penuh penyesalan. Impian pun tersulur ke langit
Indonesia, kalau saja 7 kata itu tidak dihapus, pastilah Indonesia akan
menjadi bangsa yang sesuai dengan syariat Islam. Menjadi negara Islam.
Tanpa ampun, tudingan dosa digebukkan kepada lima anggota PPKI yang
dianggap paling bertanggung jawab.
Kita tahu, penghapusan 7 kata yang amat
dirindukan itu bermula pada tanggal 17 Agustus 1945 petang, kala
beberapa elemen Indonesia Timur mengajukan keberatan kepada para founding fathers atas
7 kata di sila pertama Piagam Jakarta itu. Esoknya, Moh. Hatta, K.H.
Wachid Hasyim, Ki Bagus Hadikusuma, Kasman Singodimejo, dan Teuku M.
Hasan membahas hal tersebut dan bersepakat mengubah sila pertama menjadi
“Ketuhanan yang Maha Esa”. Siapakah yang tega meragukan
kapasitas ilmu dan kecintaan mereka kepada Islam dan bangsa Indonesia?
Spirit mereka cuma satu: merangkul seluruh elemen bangsa dalam NKRI.
Pretensi halal/haram, dosa/pahala, atau religius/sekular, diletakkan di
bawah spirit besar itu.
Apakah sejarah penghapusan 7 kata itu
layak untuk selalu disebut tragedi sejarah bagi umat Islam Indonesia
sehingga perlu disesalkan sampai kiamat?
Anda pasti tahu Perjanjian Hudaibiyah.
Perjanjian antara Nabi Muhammad dan kaum Quraisy Mekkah itu terjadi di
bulan Maret 628 M. Dalam negosisasi itu, Suhail bin Amr (wakil Quraisy)
meminta dihapuskan 7 kata pula. Ya, 7 kata, persis penghapusan 7 kata
Piagam Jakarta. Nabi memenuhi keinginan Suhail dan menghapuskan 7 kata
dari perjanjian itu, yakni “bi, ismi, Allah, ar-rahman, ar-rahim, rasul, dan Allah”.
Usai gentleman agreement yang
ditulis Ali bin Abi Thalib itu, yang sedari awal ditentang tegas oleh
Umar bin Khattab, Rasulullah menjelaskan kepada para sahabat bahwa sikap
komprominya dimaksudkan untuk meraih tujuan yang lebih besar: (1)
Diakuinya keberadaan kaum muslimin Madinah oleh kaum Quraisy Makkah, dan
(2) Menjaga umat Islam yang hendak berhaji dari gangguan kaum Quraisy.
Mari garis bawahi satu pesan moralnya di
sini: mencapai tujuan yang lebih agung dan luhur berwajah perdamaian,
persatuan, dan persaudaraan jauh lebih diutamakan oleh Rasulullah Saw.
Hari ini, kita bisa melihat getolnya
kawan-kawan HTI, Tarbiyah, hingga PKS yang dengan perspektif dan
strategi berbeda, kultural dan struktural, bergerak efektif ke arah khilafah.
PKS memang menerima demokrasi Pancasila, tetapi jelas itu bukan sikap
ideologis, melainkan politis, sebuah strategi perjuangan ideologis
jangka panjang. Persis penumpang kapal demokrasi Pancasila tadi.
Jagat virtual, utamanya sosial media, menjadi wadah promosi paling empuk bagi gerakan khilafah
ini: berkampanye demi mengeduk simpatisan, dengan cara getol
memanggungkan narasi-narasi tekstual-dogmatis hingga mementaskan
romantika-romantika sejarah kekhalifahan di masa lalu. Nama khalifah
Umar bin Abdul Aziz, Abdurrahman III, dan Al-Fatih, selalu dijadikan
ikon romantik terkudusnya. Tentu, sembari mengabaikan sosok Yazid bin
Muawiyah bin Abu Sufyan dan Al-Qadir Billah. Pula sejarah pembantaian
para pangeran Umayyah di era akhir kekuasaan khalifah Hisyam bin Abdul
Malik oleh penguasa baru, kekhalifahan Abbasiyah, yang memaksa salah
satu pangeran Umayyah yang selamat, Abdurrahman, melarikan diri dengan
berjalan kaki dan menumpang kapal hingga ke Afrika Utara.
Namanya kampanye, kita mafhumlah, yang
baik-baik yang memang ada dalam sejarah kekhalifahan diberi panggung
seluas-luasnya dan yang buruk-buruk yang memang ada dalam sejarah
kekhalifahan ditimbun sedalam-dalamnya. Baitul Hikmah karya khalifah
Harun Ar-Rasyid di Baghdad dan Madinah az-Zahra karya khalifah
Abdurrahman III di Kordoba dihikayatkan sembari tragedi Karballa dan
pertikaian mengerikan dua putra mahkota Harun Ar-Rasyid (Al-Amin dan
Al-Ma’mun yang disokong Mu’tashim) dihanyutkan sejauh-jauhnya.
Sekali lagi, mafhumilah.
Lanjut. Secara tekstual, sudah jamak
diketahui dan diteliti para akademisi muslim, dan saya pernah terlibat
intensif dalam riset demikian selama 3 tahun, bahwa di Alqur’an tidak
ada satu pun ayat yang secara muhkamat (terang, tekstual, mutlak maknanya) memerintahkan umat Islam mendirikan kekhalifahan.
Bahwa di Alqur’an memang ada ayat tentang perintah mengangkat imam (pemimpin), itu tabik benar. Namun, pertama, bila lantas definisi imam disekatkan hanya sebagai “khalifah”,
ini jelas hanya sebuah tafsir yang problematis, tendensius. Para ulama
terdahulu, sebutlah Ibu Khaldun, An, Nawawi, Imam Al-Juwayni, hingga
Imam Ghazali, tidak menyatakan imam dimaksud sebagai “khalifah” seperti yang Anda definisikan kini.
Imam sama sekali bukan hanya untuk makna konkret khilafah, hanya khalifah. Imam hanya adalah pemimpin dan kepemimpinan, yang di depan, fil amam. Demikian saja episteme asalnya. Menjadi problematis benar saat kini tafsir imam dicokokkan hanya pada kata khilafah seperti kekhalifahan Umayyah atau Abbasiyah.
Saya perjelas sebuah contoh di sini. Imam Al-Juwayni dalam kitab Ghiyats al-Umam, misal, ketika mengatakan “telah menjadi ijma’ ulama untuk mengangkat khalifah yang mengatur kehidupan manusia….”, kata khalifah di situ sama sekali tidak relevan dan otoritatif untuk dicangkokkan sebagai hanya berformat kekhalifahan macam khalifah Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Konteks kata khalifah Al-Juwayni itu hanyalah “pemimpin” atau “kepemimpinan”. Dan khalifah
adalah salah satu belaka dari keragaman format kepemimpinan yang
dikenal dan bisa kita ambil, seperti presiden, raja, perdana menteri,
dan sebagainya.
Kedua, karenanya, perintah mengangkat
imam
itu sama sekali tidak memadai untuk direngkuh dalam penyimpulan
kewajiban menegakkan kekhalifahan Islam. Perintah ini sama sekali tidak
bicara apa-apa tentang sistem pemerintahan. Dan Alqur’an memang tak
menyediakan sama sekali formulasi tata pemerintahan Islam, sehingga
aktualisasinya diberikan kepada manusia secara bebas. Alqur’an hanya
menyediakan pesan-pesan moral-etiknya, yakni menegakkan
‘adalah (keadilan),
musawah (persamaan),
syura (musyawarah), dan
ta’awun (tolong-menolong). Sudah, itu saja.
Oleh karenanya, berdasar fakta Alqur’an tersebut, menjadikan ayat (misal) “Siapa yang tidak menghukum dengan hukum Allah” dan “Umpama penduduk negeri beriman dan bertakwa, maka Kami akan bukakan kepada mereka pintu berkah dari langit dan bumi” (QS. 7: 96), dua ayat yang gemar sekali disitir oleh aktivis khilafah, sebagai landasan kewajiban menegakkan khilafah sangat rentan ikhtilaf. Penyebabnya tak lain karena dua ayat tersebut bersifat dzanniyah (samar, multi-tafsir), bukan muhkamat. Segala ayat yang tidak muhkamat, kata ijma’
ulama tafsir, mensahihkan multi tafsir. Dari tafsir yang
relevan-otoritatif hingga tafsir yang sangat dipaksakan karena politis,
macam pandangan para pejuang khilafah itu. Demikian pula dalam teks hadits Nabi dan Piagam Madinah.
Dalam literatur
fiqh siyasah (politik), konsep
khilafah dimulai sejak terbitnya kitab
Al-Ahkam al-Sulthaniyyah karangan Al-Mawardi, yang hidup di era Abbasiyah. Al-Mawardi menyatakan bahwa
khilafah adalah kepemimpinan politik yang berperan menggantikan Nabi; sistem politik yang dirancang oleh Tuhan demi menjaga fondasi
agama (
qawa’id al-millah) dan kemaslahatan umat (
mashalih al-ummah).
Tetapi harap dicatat segera bahwa konteks kelahiran kitab Al-Ahkam al-Sulthaniyyah itu, yang diposisikan sebagai kitab utama oleh para pejuang khilafah,
tak lepas dari posisi Al-Mawardi sebagai ulama penasihat Khalifah
Al-Qadir Billah. Al-Mawardi adalah ulama istana. Logis bila karyanya
mempersembahkan legitimasi afektif kepada kekhalifahan Dinasti Abbasiyah
untuk mengail ketaatan rakyat kepada sang sultan. Sebuah kitab
indoktrinasi tentunya.
Beberapa tahun berselang, lahir kritik kepada kitab Al-Mawardi dari Imam al-Juwayni, guru Imam Ghazali, yang bergelar Imam Haramain, dalam kitabnya, Ghiyats al-Umam. Al-Juwayni menekankan bahwa urusan politik/kepemimpinan Islam hanya berlandas pada perkara prinsip kifayah (kapasitas), sehingga siapa pun pemimpinnya, apa pun formulasinya, asalkan mampu “memelihara agama dan mengatur dunia” (hiratsah al-din wa siyasah al-dunya),
maka ia sudah islami. Ini sekaligus berarti bahwa apa pun sistem
politik dan pemerintahan yang diambil sebuah negara, sepanjang berasas
pada prinsip-prinsip moral-etik yang diajarkan Alqur’an tadi, ia sudah
sesuai dengan spirit Alqur’an. Termasuk di Indonesia dengan demokrasi
Pancasila-nya.
Perkara di Indonesia, misal, prinsip
‘adalah (keadilan),
musawah (persamaan),
syura (musyawarah), dan
ta’awun
(tolong-menolong) belum sepenuhnya tegak perkasa, hal itu tidak sahih
diklaim serentak dan general sebagai bukti buruknya sistem non-khilafah,
sebutlah demokrasi Pancasila. Kecompang-campingan itu jelas sepenuhnya
“problem manusia” yang melaksanakan sistem politik tersebut. Argumen ini
serupa benar dengan argumentasi para pejuang
khilafah bahwa noda-noda hitam sejarah kekhalifahan yang ada tidaklah sahih dijadikan
alasan menolak sistem
khilafah. Itu problem manusia yang menjalankannya.
Ternyata, jika di sini saja sudut pandangnya, pembelaan para pejuang khilafah juga relevan dijadikan argumen oleh para pembela demokrasi Pancasila.
Pembedanya kemudian bergeser kepada nalar kritis ini: “Jika compang-campingnya praktik demokrasi Pancasila adalah pure problem manusia pelaksananya, setamsil khilafah,
lalu logika macam apa yang mendorong Anda berani memilih menanggung
tumbal-tumbal politik yang niscaya tumpah serta merta akibat memaksakan
sistem khilafah menggantikan sistem demokrasi Pancasila yang telah dipilih secara kolektif oleh para founding father bangsa ini sejak lama?”
Begini analogi sederhananya agar Anda
lebih benderang. Apa alasan logis untuk berani menanggung risiko
tenggelam di sebuah sungai yang pasti terjadi lantaran tak bisa berenang
hanya demi menangkap ikan yang berenang di permukaan yang Anda pikir
sangat lezat untuk disantap nanti malam?
Inilah penalaran proficiat yang sulit dibantah oleh mereka yang mendesak mengganti demokrasi Pancasila dengan khilafah, setangguh apa pun mereka berkampanye bahwa hanya khilafahlah yang bisa menegakkan ‘adalah (keadilan), musawah (persamaan), syura (musyawarah), dan ta’awun (tolong-menolong).
Sejarah mengisahkan, sebutan Khalifatullah
baru muncul di era Muawiyah bin Abu Sufyan dari Dinasti Umayah yang
sekaligus menandai lahirnya sistem monarki. Khulafaur Rasyidin tidak
pernah menggunakan sistem monarki ini. Khulafaur Rasyidin pun tidak
pernah menggunakan pangkat Khalifatullah, tetapi Khalifatu Rasulillah—pengganti Rasulullah di luar risalah kenabiannya.
Muawiyah lalu digantikan putranya, Yazid
bin Muawiyah, yang kita tahu memiliki jejak rekam yang buruk sekali.
Jangan harapkan di era itu tegak prinsip kepemimpinan Islam; ‘adalah (keadilan), musawah (persamaan), syura (musyawarah), dan ta’awun (tolong-menolong). Kekhalifahan berjalan secara tiranistik.
Kekhalifahan Umayah mencapai masa emasnya di tangan khalifah
Umar bin Abdul Aziz, yang sayangnya berusia pintas. Gebrakan pertama
beliau ialah memangkas anggaran birokrasi yang boros, menjual asset-aset
mewah istana yang tidak diperlukan, dan mengembalikan semua hasilnya
kepada kas negara. Di era ini, prinsip ‘adalah (keadilan), musawah (persamaan), syura (musyawarah), dan ta’awun (tolong-menolong) ditegakkan sepenuh hati.
Kita kemudian tahu bahwa dinasti Umayah
diakhiri melalui kudeta oleh dinasti baru, Abbasiyah. Harap dicatat
baik-baik bahwa di era Abbasiyah yang menganut teologi Mu’tazilah,
banyak alim ulama yang berbeda paham dan ajaran diintimidasi dan
dipenjara. Di antaranya adalah imam mazhab yang agung, Imam Hanbali. Di
era ini pulalah kitab Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah,
dibuat dan melegitimasi kekuasaan itu. Biar adil, di era Abbasiyah pula
berdiri tegak Baitul Hikmah yang kesohor, yang digagas khalifah Harun Ar-Rasyid.
Kini mari kritisi masalah berikut ini: rule model sistem pemerintahan khilafah macam apa dan dari mana yang bisa kita terapkan di Indonesia jika khilafah diumbulkan sebagai solusi compang-campingnya demokrasi Pancasila?
Anda akan kesulitan sekali untuk menunjukkannya dengan lugas, tegas, dan benderang. Sebab memang tidak pernah ada rule model konkret apa pun yang kita warisi.
Mau kitab warisan Al-Mawardi ataupun
Abul A’la al-Maududi, semuanya “sekadar” hasil tafsir yang kebak latar
politis yang melingkupi masa terkait. Demikian pula konsep politik Ibnu
Taimiyah sangat dilingkupi faktor sosial-politik masa itu yang kita tahu
diselubungi awan gelap perang berkepanjangan dengan pasukan Salib. Kita
boleh setuju atau tidak terhadap sebuah tafsir, wacana, persis
ketidaksetujuan Al-Juwayni yang rapat kepada latar Seljuk kepada
Al-Mawardi yang karib dengan latar Abbasiyah.
Tegasnya, sama sekali tidak ada panduan
teknis-manajerial dari Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin tentang
bagaimana pemerintahan dan birokrasi islami itu mestinya dijalankan,
aspirasi rakyat diakomodir, atau ahlul halli wal aqdi (majelis
syura) didudukkan. Sejarah panjang kekhalifahan Islam ala dinasti
Umayah, Abbasiyah, hingga Turki Ustmani, yang Anda perjuangkan di
Indonesia kini, adalah sejarah praktik monarki, yang juga pernah
dijalankan di Romawi, Persia, atau Mongolia.
Demikianlah problematika sejarah dan doktrin khilafah untuk ditampilkan di masa kini, di Indonesia. Sekali lagi, secara doktrin tekstual, khilafah tidak memiliki landasan absolut (muhkamat)
dalam Alqur’an dan hadits, sehingga ia secara hukum Islam (syariat)
boleh berkembang dikreasikan, ditafsirkan, dan diformulasikan dalam
ragam praktik.
Perintah syariat untuk menegakkan
keimaman (kepemimpinan) sepenuhnya mengaras pada penegakan
prinsip-prinsip moral politik Islam itu. Ia secara proficiat tidaklah otoritatif sama sekali untuk disimpulkan sebagai kewajiban menegakkan khilafah
secara legal-formal. Tetapi jikapun khilafah yang legal-formal itu bisa
ditegakkan, hal itu sahih saja dilakukan. Karenanya, mau berbentuk
demokrasi, monarki, khilafah, federasi, dan lainnya, sepanjang prinsip ‘adalah (keadilan), musawah (persamaan), syura (musyawarah), dan ta’awun (tolong-menolong) bisa diembuskan, ia sudah islami; sudah sesuai ajaran Alqur’an.
Sekarang mari cek situasi bangsa ini. Di
Indonesia yang plural, jelas sangat sensitif untuk mengganti Pancasila
dengan kekhalifahan. Istilah “jizyah”, misal, dalam praktik khilafah
dulu, yakni mengutip dana dari kelompok nonmuslim untuk jaminan rasa
aman, niscaya akan memantik kemelut sosial-politik-ekonomis yang sangat
mahal ongkosnya. Tak sanggup dibayangkan hal-hal diskriminatif demikian
diangkut ke negeri ini. Disintegrasi bangsa niscaya tak terbendung. NKRI
sungguh terlalu agung untuk dipertaruhkan koyak lagi moyak oleh sekadar
sebuah ekspektasi pada sebuah sistem politik. Apa pun itu. Dan inilah
yang sedari dulu diantisipasi oleh para founding father, dengan menerima Pancasila sebagai dasar negara, demi merawat pluralitas bangsa ini, demi terpiaranya keutuhan NKRI.
Demi keutuhan bangsa itu, sesuai kaidah Ushul Fiqh “menghindarkan terjadinya keburukan harus lebih diutamakan daripada menyerukan kebaikan”, Anda bisa membacanya “menyerukan khilafah yang Anda nilai baik harus ditinggalkan demi menghindarkan retaknya NKRI”, segala bentuk perjuangan khilafah di Indonesia sahih untuk difatwa subversif. Segala yang subversif adalah bughat. Segala yang bughat adalah tercela.
Mau landasannya? Ini satu contoh ayat: “Patuhlah kalian kepada Allah dan rasulNya dan ulil amri di antara kalian.” Ulil amri adalah pemimpin, presiden, dan pemerintahan yang sah. Ini satu haditsnya: “Barang siapa yang meninggalkan ketaatan dan keluar dari jamaah, lalu mati, maka jenazahnya adalah jenazah jahiliyah.”
Penolakan khilafah ini harus dimaklumi bukan sebagai antidot Alqur’an, hadits, dan sejarah agung para sahabat Nabi. Tidak. Penolakan khlafah
ini menjadi relevan, urgen, dan kontekstual bagi Indonesia dengan
semata melihat betapa agungnya kewajiban semua kita untuk memelihara
NKRI sampai mati. Dan NKRI telah diakomodir, dijamin, dan diuji sejak
lama oleh demokrasi Pancasila, bukan khilafah.
Inilah situasi riil terbaik bangsa yang
bisa kita miliki. Saya ingin memperjelas posisi saya di sini bahwa saya
bukanlah pembela buta demokrasi, antek Amrika, sebab sangatlah sering
saya mengkritisi sebagian ambiguitas demokrasi dan standar ganda
Amerika. Saya pun bukanlah antidot khilafah. Sebab saya sangat
mengagumi Umar bin Abdul Aziz, Harun Ar-Rasyid, dan Muhammad Al-Fatih.
Saya hanyalah segerbong sama jutaan rakyat Indonesia yang bangga
mewarisi keutuhan dan kedamaian bangsa ini dengan memekik bahwa NKRI
adalah harga mati. Secara rasional saya membanggakan NKRI dan secara
dogmatis saya meneguhkan bahwa merawat nasionalisme itu berpahala besar.
Sekali lagi, perkara praktik demokrasi
Pancasila di NKRI tercinta ini masih compang-camping, saya tidak perlu
menutup mata; justru itu menjadi tugas kita bersama untuk memperbaikinya
dari waktu ke waktu. Bukan segrusa-grusu menggantinya dengan sistem khilafah
yang belum tentu pula tidak lebih compang-camping dan sudah pasti bakal
meremukkan persatuan dan persaudaraan bangsa. Nangkanya belum tentu
didapat, getahnya sudah pasti menyambut. Masihkah logis untuk
diperjuangkan?
Lur, almarhum Abah saya pernah berpesan begini: “Cong,
jika kamu kelak menikah, lalu suatu hari bertengkar hebat sama istrimu,
bukan pernikahan itu yang harus kamu hancurkan, sebab pernikahan tak
pernah salah, atau mengganti istrimu dengan perempuan lain yang kamu
pikir takkan pernah membuatmu kecewa, tetapi suami-istri itulah yang
harus berbenah bersama-sama. Pernikahan yang sakinah, mawaddah, wa rahmah harus dibenahi bersama-sama segala masalah dan kekurangannya.”
Mengendalikan perasaan cinta pada
seorang gadis cantik yang asing di malam buta jauh lebih baik daripada
Anda memburunya dengan meyakininya lebih istimewa dari pasangan yang ada
di sebelah Anda sehingga sejak saat itu pula Anda kehilangannya untuk
kemudian gadis cantik itu menoleh pada Anda sembari berkata: “Mas, saya
sundel bolong, lho….”