Rabu, 18 Mei 2016

Fadlilah malam nishfu sya'ban

Fadlilah mlm nishfu sya'ban dlm ktb latha'if al thaharah wa asrar al shalah..kry kyai soleh darat hlm. 91-94
Mlm nishfu sya'ban, yg insya Allah jatuh bsok mlm ahad, adlh idul malaikat...hr ry nya malaikat. Sm sprti lailatul qadar, yg jg hr ry nya malaikat. Krn pr malaikat tdk tidur. Brbeda dg manusia yg tidur pd mlm hri.
Haram hukumnya brpuasa bakda nishfu syakban, bl tdk puasa dr awal bulan.
Dikisahkan, Nabi Isa as pernah di sbuah gunung. Di situ ada sbuah batu yg brkilaun brcahaya. Nbi Isa takjub n mengelilingi batu tsb.
Turunlah wahyu dr Allah : "isa..apa km ingin mlihat sst yg mnakjubkan itu"?
Ya,jwb nbi isa.
Kmudian batu itu pecah trbelah, n muncullah sosok laki2 yg mnbw tongkat hijau n di sisinya trdpt pohon anggur.
Laki2 ini brkata : "inilah rizkiku yg kuperoleh tiap hari."
Lalu nbi Isa brtanya : "brp tahun anda beribadah d dlm batu ini.?"
400 tahun, jwbnya.
Lalu nbi Isa brdoa : ya Allah..jadikan aku makhluk yg lbh mulia dr pd laki2 ini.
Kmudian Allah brfirman : "hai Isa...org yg sholat 2 rakaat pd mlm nishfu syakban dr umat Muhammad saw itu lbh utama dr pd lki2 yg bribadah 400 th ini."
Nabi Isa pun brdoa : "smg aku trmasuk umat Muhammad saw.."subhanallah...
Disebutkan dlm ktb Taurat, barangsiapa dlm bulan syakban mmbc la ilaha illallah wa la nakbudu illa iyyahu mukhlishina lahud din wa law karihal kafirun...mk phlanya sprti ibdh 1000 th, dilebur dosanya 1000 th, dibangkitkan dr kubur dg wajah brsinar n trcatat sbg org shiddiqin....
Mk disayogyakan pd mlm nishfu syakban bkda mghrib mmbc yasin 3 x.
Stlh bc yasin prtm, brdoa minta panjang umur fi tha'atillah.
Stlh bc yasin yg kdua, brdoa smg slmt dr balak.
N stlh bc yasin ketiga, brdoa minta kecukupan rizki.
Adapun bakda isyak kemudian melaksanakan shalat tasbih minimal 2 rakaat...
Keterangan kiai soleh darat di atas dinukil dr ktb tarikh al khamis n ktb nuzhatul majalis...wallahu a'lam bish shwab...

Minggu, 08 Mei 2016

Pengertian dan Konsep Kejujuran dalam Islam Pengertian Kejujuran

 Kejujuran adalah mengatakan sesuatu dengan sebenar-benarnya. Definisi yang lain dari kejujuran ialah berkata atau berbuat sesuatu dengan sebenar-benarnya, tidak ada unsur kebohongan atau manipulasi didalamnya. Kejujuran adakalanya dalam hal ucapan dan adakalanya dalam hal perbuatan.

Dalam hal ucapan misalnya ia senantiasa berkata jujur dalam berbicara. Dan dalam hal perbuatan misalnya dalam berdagang ia tidak pernah mengurangi timbangan ketika memberikan kembalian kepad aorang buta, ia berikan sesuai dengan apa yang seharusnya diterima oleh orang buta tersebut, dan dalam hal perkantoran misalnya ia tidak pernah korupsi, ia selalu melaporkan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaannya sesuai dengan apa yang ada di lapangan.

Pengertian dan Konsep Kejujuran dalam Islam 2

Jika kita korelasikan antara kejujuran dan nilai-nilai kemenusiaan (Humanisme), maka sangatlah sesuai sekali, karena kejujuran adalah salah satu dari nilai-nilai kemanusiaan. Kita tahu bahwa sebelum datang nya agama Islam, keadaan masyarakat Arab pada waktu itumasih carut-marut, , misalnya saja pada waktu itu perempuan diperlakukan sewenang-wenang dan mengubur hidup-hidup bayi perempuan yang baru lahir. Baru ketika Islam datang, nilai-nilai kemanusiaan disana mulai ditata. Sehingga bentuk-bentuk kedzaliman dan ketidakadilan sedikit demi sedikit mulai dihilangkan.

Kita tahu bahwa sebelum Rasulullah diangkat menjadi rasul, ia telah dipercaya oleh kabilahnya dan kabilah-kabilah yang lain. Tepatnya yaitu pada waktu terjadi perselisihan peletakan hajar Aswad pada tempatnya. Masing-masing dari mereka merasa bahwa kabilahnyalah yang berhak untuk meletakkan hajar Aswad pada tempatnya semula. Lalu Rasulullah SAW menengahi perselisihan mereka dan beliau membuat keputusan yang sangat bijaksana yaitu dengan meletakkan hajar Aswad diatas serbannya dan menyuruh masing-masing dari kabilah tersebut untuk mengangkat hajar Aswad bersama-sama dengan masing-masing perwakilan kabilah mengangkat sisi-sisi dari sorban beliau. Dengan begitu akhirnya pertumpahan darah dapat dihindari.

Diantara kriteria yang harus ada dalam sifat amanah tersebut adalah sifat jujur. Kerena seorang pembohong tidak akan mungkin dapat dipercaya oleh orang lain.

Dalam sebuah hadits yang di riwayatkan oleh Imam Ahmad Rasulullah SAW bersabda:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ حَدَّثَنَا أَبُو الأَسْوَدِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَافِعٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ يَجْتَمِعُ الإِيمَانُ وَالْكُفْرُ فِى قَلْبِ امْرِئٍ وَلاَ يَجْتَمِعُ الصِدْقُ وَالْكَذِبُ جَمِيعاً وَلاَ تَجْتَمِعُ الْخِيَانَةُ وَالأَمَانَةُ جَمِيعاً »

Telah menceritakan kepadaku Abdullah telah menceritakan kepadaku Ayahku telah menceritakan kepadaku Hasan bin Musa telah menceritakan kepadaku Abu Aswad dari Abdullah bin Rafi’dari Abi Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: tidak bisa berkumpul dalam hati seseorang iman dan kufur dan tidak bisa berkumpul bersama-sama sifat jujur dan sifat bohong dan tidak bisa berkumpul bersama-sama safat khianat dan amanah.
Dari hadits diatas dapat kita ketehui bahwa antara sifat jujur dan bohong tidak bisa berkumpul menjadi satu dalamk hati seseorang bahkan kedua sifat tersebut sangatlah berlawanan antara satu dengan yang lain sebagaimana sifat amanah dengan khianat.

Apabila kejujuran tidak ada dalam jiwa setiap individu maka sikap manusia terhadap sesamanya semakin buas dan garang, satu sama lain saling curiga, tidak ada rasa saling percaya antara satu dengan yang lain, khususnya dalam hal kekayaan. Kita tahu perdagangan merupakan pusat kegiatan perekonomian yang dibangun atas rasa saling percaya diantara para pelaku perdagangan . andaikata dalam dunia perdangan ini tidak ada rasa saling percaya diantara para pelaku-pelakunya maka akan terjadi resesi dan kemacetan kerja. Dari sinilah muncul kesengsaraan hidup dan semakin sempit harapan untuk bertahan hidup. Hal tersebut memang egois, sebab mana ada orang yang berakal sehat mau menyerahkan hartanya kepada orang yang tidak dapat dipercaya.

Sebab-sebab manusia berbuat kejujuran 

1. Mempunyai akal, karena dengan akal manusia bisa mengetahui manfaat dari kejujuran dan bahaya dari kebohongan, sehingga ia berbuat jujur.
2. Memiliki agama, karena agama memerintahkan pemeluknya untuk berkat jujur dan melarang berkata bohong.
3. Memiliki sifat muru’ah, orang yang memiliki sifat muru’ah tidak suka berkata bohong, tetapi ia lebih suka berkata jujur.

Allah SWT berfirman: Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.

Dalam ayat ini Allah menunjukkan kepada orang-orang yang beriman jalan menuju kebaikan dan menghindarkan mereka dari jalan kesesatan.

Imam Abu Ja’far menafsiri ayat ini sebagai berikut, bahwasanya Allah menyeru kepada orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulNya untuk bertakwa (mendekatnya diri kepadaNya dan menjauhi laranganNya). Hendaklah kamu semua didunia termasuk orang-orang yang taat kepada Allah dan di akhirat bersama orang-orang yang benar, yakni bersama-sama orang-orang yang membenarkan Allah dan beriman kepadaNya.

Dalam kitab shohih al-Bukhori, terdapat hadits yang menerangkan tentang kejujuran.

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ أَبِى وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا ، وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ ، حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا »

Telah berkata kepadaku Usman bin Abi Syaibah, telah berkata kepadaku Jarir dari Mansur dari Abi Wail dari Abdillah r.a. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya kejujuran (kebenaran) itu akan membawa kepada kebaikan, dan kebaikan itu akan membawa kesurga. Dan seseorang yang jujur itu akan ditulis (ditetapkan) disisi Allah sebagai seorang yang benar. Dan sesungguhnya berbohong akan membawa kepada dosa (kejahatan) dan dosa itu akan membawa pelakunnya ke neraka. Sesungguhnya seseorang yang berbohong akan ditetapkan disisi Allah sebagai pembohong.

Hadis diatas menjelaskan tentang kejujuran yang menunjukkan jalan kebaikan yaitu berbuat amal sholeh dengsn ikhlas dan jauh dari celaan manusia dan kebaikan itu menunjukkan jalan kesurga. Dan jika seseorang itu berbuat jujur pada setiap perkara dan sifat jujur itu telah melekat padanya maka ia tergolong orang-orang yang shiddiq dan ditetapkan pahalanya.

Imam ghazali menggambarkan adanya para nabi seperti Ibrahim, Ismail, dan Idris yang diterangkan dalam al-Qur’an sebagai orang-orang yang berkata benar. Orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tentunya akan mengamalkan sifat jujur tersebut, karena perbuatan jujur akan menunjukkan kepada kehidupan yang lebih baik, baik di dunia maupun di akhirat. Dan meninggalkan kebohongan yang akan menjerumuskannya ke perbuatan dosa dan neraka. Demikianlah Artikel Pengertian dan Konsep Kejujuran dalam Islam. mudahan baermanfaat

Kamis, 05 Mei 2016

Dibalik Rahasia Isra’ Mi’raj

“Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
(QS al-Isrâ’ [17] : 1)
Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa peristiwa isra’ mi’raj merupakan peristiwa fenomenal penuh teka teki didalamnya dan banyak mengandung hikmah, baik secara ruhaniyah maupun secara aqliyah. Peristiwa ini dialami baginda Rasul kita Nabi Agung Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam pada tanggal 27 Rajab, tahun ke-11 kenabian. Secara khusus, Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ mendokumentasikan peristiwa ini pada ayat-ayat al-Qur’ân yang memberikan banyak isyarat kepada seluruh manusia untuk dapat mengkajinya lebih mendalam. Peristiwa isra’ wa mi’raj ini agaknya menjadi sebuah revolusi besar bagi dunia sains dan ilmu teknologi, mengingat isra’ mi’raj ini adalah sebuah perjalanan yang terjadi hanya dalam waktu semalam dengan jarak tempuh diluar batas pemikiran manusia. Banyak ahli-ahli dunia meneliti akan kebenaran dan rasionalitas perjalanan ini dan belum juga muncul sebuah teori yang valid dan terbukti mengenai peristiwa ini.
Tahun Kesedihan Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam
Pada kesempatan kali ini kami akan sedikit mengupas tentang bagaimana hikmah serta skenario Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ yang dirancang untuk Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang ketika itu memang membutuhkan bantuan dan dorongan motivasi untuk melanjutkan dakwah islamiyah. Sebelum membahas lebih detail mengenai peristiwa isra’ mi’raj ada beberapa hal yang perlu kita ketahui. Kita putar jam waktu pada satu tahun sebelum kejadian ini terjadi, bahwa riwayat mengatakan pada tahun ini merupakan tahun kesedihan yang dialami Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Dimulai dari wafatnya paman beliau, Abi Thalib bin Muthalib, kemudian disusul istri tercinta, Siti Khadijah, ditambah lagi perlakuan penolakan dakwah Nabi dengan dilempari dengan batu dan cemooh sehingga Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam merasa tertekan dan sedih. Maka apabila diilustrasikan sebuah siklus saat itu Rasûlullâh sedang berada pada titik terendah dalam hidupnya, merasa kehilangan dan sendiri. Namun yang perlu kita ketahui bahwa titik terendah adalah titik awal untuk menuju pada titik pasang atau naik.
Maka pada saat itu Rasûlullâh berdoa, yang dikutip dari sebuah hadits: “Ya Allâh kepadamu aku mengadukan kelemahan dari kekuatanku, kekurangan kemampuanku, kelemahan dalam mengahadapi orang-orang yang lemah, Engkau adalah Tuhanku. Kepada siapakah engkau menyerahkan aku? Apakah kepada yang jauh bermasam muka kepadaku? Ataukah kepada musuh yang engkau kuasakan untuk menguasai diriku? Jika bukan karena Amarahmu atas diriku,maka tidak akan aku perdulikan.namun perlindungan dengan sinar wajah-Mu yang menyinari kegelapan,sehingga baik atas urusan dunia dan akhirat ,dari padaMu lah segala petunjuk atas keridhoan sehingga engkau menjadi ridho,dan tidak ada tipu daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan engkajuga”(HR. Muslim)
Peristiwa isra’ mi’raj ini lah yang Allâh atur sebagai suatu hiburan dan motivasi batin yang sangat dbutuhkan Muhammad waktu itu. Dengan berbagai keajaiban dan hikmah didalamnya Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ mencoba menghibur Muhammad dan memberikan banyak pengetahuan serta motivasi. Inilah yang Allâh berikan kepada Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Allâh mengujinya dengan tahun kesedihan, mencabut seluruh backing-backing tersebut, agar Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam benar-benar berada pada kondisi “tauhid yang prima”. Ketauhidan dimana hanya Allâhlah yang menjadi tempat satu-satunya backing dan menyandarkan diri. Bukan pada manusia, harta atau sesembahan lainnya.“Apapun yang terjadi semua dengan izin Allâh, dan barang siapa beriman kepada Allâh maha kuasa atas segala sesuatu.”(QS al-Taghûbun [64]: 11) Jadi Allâhlah yang menguasai hati kita, maka janganlah melupakan Allâh, sebab barang siapa lupa kepada Allâh maka setan menggantikan kedudukan Allâh di hatinya.
Perjalanan Maha Dahsyat
Perjalanan Maha dahsyatpun dimulai. Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam ditemani malaikat Jibril berangkat melakukan perjalanan menuju Masjidil Aqsha yang dikenal dengan al-Isrâ’ yang artinya perjalanan di malam hari. Selama perjalanan, banyak sekali hikmah dan keajaiban yang dilalui Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dilewatkan pada Thur Sina’, sebuah lembah di Syam, tempat dimana Nabi Musa berbicara dengan Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ, beliau pun shalat di tempat itu. Kemudian melihat Ifrit dari bangsa Jin yang mengejar beliau dengan semburan api, namun Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam pun dapat melaluinya. Perjalanan dilanjutkan kembali, Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam dikejutkan dengan bau wangi yang semerbak, itulah semerbak wangi yang terpancar dari kuburan Masyithah yang teguh mempertahankan aqidahnya melawan raja fir’aun. Ketika beliau melanjutkan perjalanan, tiba-tiba seseorang memanggil beliau dari arah kanan: “Wahai Muhammad, aku meminta kepadamu agar kamu melihat aku”, tapi Rasûlullâh tidak memperdulikannya.
Kemudian Jibril menjelaskan bahwa itu adalah panggilan Yahudi, seandainya beliau menjawab panggilan itu maka umat beliau akan menjadi Yahudi. Begitu pula beliau mendapat seruan serupa dari sebelah kirinya, yang tidak lain adalah panggilan Nashrani, namun Nabi tidak menjawabnya. Selanjutnya, muncul di hadapan beliau seorang wanita dengan segala perhiasan di tangannya dan seluruh tubuhnya, dia berkata: “Wahai Muhammad lihatlah kepadaku”, tapi Rasûlullâh tidak menoleh kepadanya, Jibril berkata: “Wahai Nabi itu adalah dunia, seandainya anda menjawab panggilannya maka umatmu akan lebih memilih dunia daripada akhirat”. Demikianlah perjalanan ditempuh oleh beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam, begitu banyak keajaiban dan hikmah yang beliau temui dalam perjalanan itu sampai akhirnya beliau berhenti di Baitul Maqdis (Masjid al-Aqsha).
Perjalanan isra’ pun berujung pada Masjidil Aqsha, perjalanan ini untuk kemudian Allâh dokumentasikan pada surah al-Isrâ’ [17]: 1. Setelah perjalanan isra’ ini, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam pun bersiap-siap melanjutkan perjalanan yang tak kalah menakjubkan dari perjalanan sebelumnya, yakni perjalanan untuk menghadap AllâhSubhânahu wa Ta’âlâ di Sidratul Muntaha. Perjalanan jauh menembus langit dan hanya dilakukan dalam waktu kurang dari semalam. Belum ada teori yang dapat membuktikan kebenaran ini, begitu juga dengan buraq sebagai kendaraan yang membawa Rasûlullâh. Ada beberapa hal menarik yang akan kami utarakan disini, pertama ialah jarak perjalanan dalam isra’ wa mi’raj yang melampui hitung-hitungan teori kecepatan. Kecepatan cahaya saja yang sampai kini masih dianggap sebagai materi paling cepat dialam semesta ini masih tidak bisa menjelaskan mengenai isra mi’raj, jika Nabi Muhammad melakukan perjalanan isra’ mi’raj dengan kendaraan atau buroq menggunakan kecepatan cahaya sekalipun tidak akan mampu melakukannya dalam satu malam karena jarak yang ditempuh kurang lebih miliaran tahun cahya. Jadi, teori pertama terbantahkan. Lalu apabila buroq itu melebihi kecepatan cahaya tetap saja sulit diterima logika, karena tekanan yang akan dirasakan oleh manusia akan menghancurkan manusianya itu sendiri semakin cepat suatu materi maka tekanannya pun akan semakin berat.
Contohnya bila kita mengendarai mobil F1 pasti tubuh kita akan merasakan tekanan hebat bahkan bisa menghancurkan saraf-saraf bila tidak kuat menerimanya. Itu baru kecepatan mobil yang belum ias dibandingkan dengan kecepatan cahaya, bila kecepatan semacam itu saja bisa berdampak buruk bagi tubuh apalagi sesuatu yang bergerak melebihi kecepatan cahaya. Teori kedua pun terbantahkan yang menarik perhatian ialah teori yang ketiga ini, jika kita tidak bisa pergi ke tempat tujuan dalam waktu singkat tentunya kita bisa sampai ke tempat tersebut lewat jalan pintas. Jalan pintas inilah yang bernama worm hole atau lubang cacing.
Dalam teori relativitasnya, Einstein menunjukkan bahwa massa bisa membuat ruang dan waktu melengkung atau melipat, makin besar massa semakin melengkung ruang dan waktu. Akan tetapi, dibutuhkan energi yang sangat besar untuk dapat menciptakan massa yang besar yang bisa membuat melengkungnya ruang dan waktu. Namun teori ini belum dapat dibenarkan adanya, masih membutuhkan percobaan-percobaan dan piranti pendukung lainnya. Akan tetapi teori ini bisa saja terjadi mengingat kemustahilan yang terjadi bila perjalanan bermilyar-milyar kilometer hanya ditempuh dalam waktu semalam.
Masih dalam pembahasan perjalanan Rasûlullâh menuju Sidratul Muntaha, Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengemban perintah untuk melaksanakan shalat fardhu sebanyak 5 kali sehari. Disnilah puncak dari seluruh perjalanan Rasul, dimana jawaban sekaligus hiburan yang Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ berikan ialah berupa ketaatan menunaikan ibadah shalat 5 kali sehari. Hal ini sebagai media komunikasi Rasul dan pengikutnya untuk mendekatkan diri kepada Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ. Inilah jawaban Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ atas kesediahan yang dialami Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Dengan begitu, kapan pun juga dapat mendekatkan diri kepada Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ dan terhindar dari perbuatan keji dan mungkar.
Inilah rahasia besar Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ yang ditujukan bukan hanya kepada Muhammad Subhânahu wa Ta’âlâ saja namun juga pada seluruh umat manusia yang mau beriman dan bertaqwa dijalan-Nya. Yakni untuk mencapai kondisi “tauhid yang prima”. Ketauhidan dimana hanya Allâh yang menjadi tempat menyembah, meiminta dan menyandarkan segala sesuatumya tanpa ada pamrih sediktpun. Melalui apa? Yaitu melalui Shalat lima waktu yang Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ perintahkan dalam suatu ilustrasi ruhaniyah, yakni isra’ wa mi’raj.

Minggu, 01 Mei 2016

حُبُّ اْلوَطَنِ مِنَ اْلإِيْمَانِ

“Cinta tanah air adalah sebagian dari iman”
hadist ini adalah hadist maudhu’ sebagaimana disebutkan dalam kitab Silsilatu Ahaaditsu Ad-Dhaifah wal Maudhuah wa Atsarus Sayyi fil Ummah karya Syaikh Al-Bany Hadits ke 36. Edisi terjemahan, Silsilah Hadits Dhaif dan Maudhu jilid-1, cetakan Gema Insani Press. Imam Jalaluddin as-Suyuthi juga menjelaskan bahwa hadist ini derajadnya tidak diketahui [ad-Durar al-Muntatsirah Fii al-Ahaadiits al-Musytahirah karya imam Jalaluddin as-Suyuthi, tahqiq Syaikh Muhammad Luthfi ash-Shabbagh, hal.110, no.190]
Banyak orang yang memakai hadist maudhu’ ini untuk memompa rasa patriotisme dan nasionalisme bangsa Indonesia. Dengan keyakinan bahwa hadis ini datang dari Rasulullah , ummat islam banyak yang membela mati-matian batas-batas negerinya tanpa memperdulikan diatas aturan apa negeri tersebut dibangun.
Jika negeri tersebut dibangun atas dasar islam dan berusaha menerapkan syari’at islam disetiap lininya, maka wajib bagi ummat islam untuk membelanya. Akan tetapi jika negeri tersebut dibangun bukan diatas syari’at islam, melainkan syari’at kekufuran, maka bagi seorang muslim haram membela peperangan tersebut, karena peperangan yang tidak dijalan Allah adalah dijalan toghut. Di dunia ini hanya ada dua jalan, sabilullah dan sabilut toghut, tidak ada jalan yang ketiga. Allah Ta’ala berfirman :
الَّذِينَ آَمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا
Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, Karena Sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah. [ an Nisa’ : 76 ].
Ibnu Katsir menjelaskan : Orang-orang yang beriman berperang dalam ketaatan pada Allah dan keridhoan-Nya, dan orang-orang kafir berperang dalam ketaatan pada syetan. [ tafsir Ibnu Katsir ayat 76 ].
Jelaslah disini, jika seseorang cinta tanah air secara membabibuta, ia serahkan jiwa dan raga serta berperang karenanya tanpa berfikir pada kelompok manakah ia berperang, maka ia hanya akan dimanfaatkan setan untuk mengutkan kelompoknya.
Cinta tanah air Islam
Islam mengajarkan pada kita bahwa setiap bumi yang dikuasai ummat islam dan diterapkan syari’at islam adalah negeri islam. Dimanapun dan kapanpun berada. Tidak dibatasi warna kulit dan suku. Atau juga dibatasi oleh petak-petak tanah yang ditentukan oleh manusia. Dan jika ada sebuah syari’at islam diterapkan di negeri Islam kemudian diserang oleh musuh-musuh islam, wajib bagi ummatnya untuk membelanya. Dimulai dari yang terdekat yaitu rakyatnya, dan jika tidak mampu kewajiban tersebut meluas pada seluruh ummat islam di dunia. Ibnu Taimiyah berkata :
فَالْعَدُوُّ الصَائِلُ الذِي يُفْسِدُ الدِيْنَ وَالدُّنْيَا لاَ شَيْءَ أَوْجَبُ بَعْدَ الْإِيْمَانِ مِنْ دَفْعِهِ
Musuh yang menyerang yang merusak din dan dunia (ummat islam) tidak ada yang lebih wajib setelah iman kecuali menolaknya. [ Majmu’ fatawa 4/608 ]
Bahkan empat imam madzhab sepakat jika musuh masuk negeri Islam tidak ada lagi ijin bagi seorang yang berhutang kepada yang dihutangi, anak kepada orang tuanya, istri kepada suaminya karena jihad pada waktu tersebut fardhu ‘ain.
Hari ini, ketika bumi-bumi Islam dirampas oleh orang-orang kafir karena menerapkan syari’at Islam, wajib bagi setiap muslim untuk membelanya dengan berbagai kemampuan yang dimiliki. Lihatlah, bagaimana orang-orang Israel telah menjajah Palestina, Amerika dan sekutunya memerangi Afganistan dan Iraq, serta yang terbaru adalah merampas kembali Lembah swat dari kaum muslimin, maka wajib bagi kaum muslimin untuk membantu mereka. Jika masalahnya ketidakmampuan kita untuk pergi kesana, maka dengan harta atau minimal dengan do’a-do’a kita.
Ibnu Taimiyah berkata :
إِذَا دَخَلَ العَدُوُّ بِلاَدَ الْإِسْلاَمِ فَلاَ رَيْبَ أَنَّهُ يَجِبُ دَفْعُهُ عَلَى الْأَقْرَبِ فَالْأَقْرَب، إِذْ بِلاَدُ الْإِسْلاَمِِ كُلُّهَا بِمَنْزِلَةِ البَلْدَةِ الْوَاحِدَةِ، وَأَنَّهُ يَجِبُ النَفِيْرُ اِلَيْهِ بِلاَ إِذْنِ وَالِدٌ وَلاَ غَرِيْمٌ
Jika musuh telah masuk negeri Islam, maka tidak diragukan lagi wajib untuk menolaknya dimulai dari yang dekat. Karena semua negeri Islam kedudukannya sebagaimana satu negeri. Dan bahwasanya wajib untuk pergi kemedan jihad tanpa izin orang tua,orang hutang pada yang dihutangi. [ Majmu’ fatawa 4/608 ].
Inilah yang disebut cinta tanah air Islam. Yaitu dengan membelanya jika diserang, membangun negerinya dengan amar ma’ruf dan nahyu munkar, serta selalu menasehati pemimpinnya jika menjauh dari syari’at islam. Jadi standartnya bukan sebuah isme tertentu, dengan menuduh orang yang tidak cocok dianggap tidak cinta tanah air, jelas ini adalah pemikiran picik. Akan tetapi standartnya adalah syari’at Islam.
Siapa yang cinta dan perusak tanah air
Kalau kita perhatikan di sekeliling kita justru yang merusak tanah air sebenarnya orang-orang yang menggembar – gemborkan paham nasionalis. Yaitu mereka yang menyatakan dirinya sebagai pembela tanah air, pembela persatuan dan kesatuan. Bukankah kesyirikan dan kemaksiatan, kasus korupsi, proyek pembabatan hutan, pencemaran lingkungan, penindasan, kesewenang-wenangan dan yang lainnya dilakukan oleh mahluk yang menamakan dirinya nasionalis?, yang tiap tanggal 17 agustus khidmat merayakan hari kemerdekaan. Politikus yang gigih membela paham cinta tanah air. Padahal cinta tanah air tanpa didasari ilmu yang benar hanya akan menimbulkan kerusakan. Allah Ta’ala berfirman :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). [ QS. Ar Ruum : 41 ]
Imam At Tobari menjelaskan : Telah nampak kemaksiatan dimuka bumi dan lautnya disebabkan tangan manusia melanggar apa yang telah Allah larang darinya. [ Tafsir At Tobari pada ayat tersebut ].
Maka jelaslah, mereka bukan pencinta tanah air tetapi pecinta sistem yang berlaku pada tanah air tersebut.. Karena sistem yang mereka cintai memeberikan keleluasaan untuk melakukan apa saja yang mereka inginkan dengan hukum yang berpihak pada kerakusan. Dengan penegak-penegak hukum yang bisa disogok. Mereka menyerukan pada rakyat untuk mencintai negeri ataupun negara dengan paham nasionalismenya, menyerukan persatuan, sampai menyebarkan hadis palsu. Tujuannya bukan kesejahteraan dan keadilan rakyat tapi keuntungan pribadi, kelompok atau golongan. Nasionalisme hanya dijadikan alat saja.
Sementara itu penegak-penegak syariat Islam dianggap sebagai perusak, pemecah persatuan, pengacau dll. Padahal menegakan syariat adalah refleksi dari cinta kepada Allah sekaligus refleksi rasa cinta pada manusia. Manusia sebagai mahluk yang bermartabat tidak boleh ditindas, dizahalimi. Manusia harus diselamatkan baik dalam kehidupan dunia dan akhirat. Juga refleksi dari cinta pada bumi tempat berpijak agar terpelihara dari kerusakan dan azab Allah. Allah sebutkan mereka itu dalam alqur’an
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ (*) أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ
Dan bila dikatakan kepada mereka:”Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.”Ingatlah, Sesungguhnya mereka Itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. [ QS. Al Baqarah : 11-12].
Yang dimaksud kerusakan disini, ditafsirkan oleh Ibnu katsir dengan kekufuran dan perbuatan maksiat. Maka alasan orang-orang nasionalis untuk menyejahterakan Indonesia dengan melanggengakan berbagai kekufuran, kesyririkan dan kemaksiatan melalui dinas pariwisata dan yang lainnya, jelas tidak akan menjadi baik. Bahkan sebaliknya akan bertambah sengsara karena mereka telah melanggar aturan-aturan Allah Ta’ala.
Manusia diturunkan ke muka bumi untuk menjadi Khalifah, ia wajib menjadi pengatur dan pengelola bumi. Setiap muslim di manapun tinggal di bumi ini harus menunjukkan cintanya pada bumi tempat mereka berpinjak. Cinta pada tanah air tidak identik dengan acara cium mencium bendera atau upacara bendera. Tetapi harus dibuktikan dengan kerja nyata. Dalam kehidupan sehari-hari muslim yang mencintai tanah air akan selalu menjaga lingkungannya baik di darat, di laut maupun udara dari keruksakan. Ajaran Islam melarang umatnya untuk merusak hidup dan kehidupan.
Cinta tanah air Indonesia bukan dengan selalu melantunkan nyanyian “padamu negeri” atau “indonesia raya” dan yang lainnya. Atau dengan memeriahkan peringatan 17 Agustus yang kadang bertentangan dengan syari’at Islam. Atau dengan menangis-nangis saat pengibaran bendera merah putih. Tetapi cinta tanah air hanya dengan mengembalikan aturan hidup pada aturan Allah Ta’ala saja. Dengannya perdamain, keadilan, kesejahteraan, dan kebahagiaan pasti akan terwujud. Tanpanya hanya akan terjadi kesengsaraan yang takpernah ada ujungnya.

Alasan-Alasan Pokok Menolak Khilafah di Indonesia

Islamic_Khilafah_Unite_as_One_Ummah__

Ide khilafah menyala kian terang kembali di Indonesia seiring lahirnya reformasi 1998. Jika reformasi menandai berlayarnya kapal demokrasi Pancasila Indonesia yang penuh keterbukaan itu, aktivis khilafah dengan jitu memanfaatkan pintu kapal yang terbuka bagi siapa pun itu, menumpanginya, bukan untuk bersama-sama mengarungi samudra demokrasi, melainkan khilafah. Khilafah Islamiyah. Pemerintahan Islam. Soal khilafah jelas-jelas head to head dengan demokrasi, siapa yang bisa membantahnya.
Baiklah, secara historis, gagasan khilafah ini aslinya telah sangat usang dan tuntas di era awal pembentukan NKRI. Perdebatan M. Natsir yang mewakili kubu religius dengan Soekarno yang mewakili kubu nasionalis telah mengerucut purna. Hasilnya adalah kubu Islam menerima Pancasila sebagai telah sesuai dengan prinsip amar makruf nahi munkar dan hiratsah al-din wa siyasah al-dunya. Indonesia diterima sebagai negeri islami.
Ya, memang, akan selalu ada riak di telaga setenang apa pun. Riak itu bernama khilafah.
Ada satu peristiwa sejarah di awal pembentukan NKRI yang selalu diungkit oleh para pejuang teokrasi, yakni penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tentu, dengan nada penuh penyesalan. Impian pun tersulur ke langit Indonesia, kalau saja 7 kata itu tidak dihapus, pastilah Indonesia akan menjadi bangsa yang sesuai dengan syariat Islam. Menjadi negara Islam. Tanpa ampun, tudingan dosa digebukkan kepada lima anggota PPKI yang dianggap paling bertanggung jawab.
Kita tahu, penghapusan 7 kata yang amat dirindukan itu bermula pada tanggal 17 Agustus 1945 petang, kala beberapa elemen Indonesia Timur mengajukan keberatan kepada para founding fathers atas 7 kata di sila pertama  Piagam Jakarta itu. Esoknya, Moh. Hatta, K.H. Wachid Hasyim, Ki Bagus Hadikusuma, Kasman Singodimejo, dan Teuku M. Hasan membahas hal tersebut dan bersepakat mengubah sila pertama menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Siapakah yang tega meragukan kapasitas ilmu dan kecintaan mereka kepada Islam dan bangsa Indonesia? Spirit mereka cuma satu: merangkul seluruh elemen bangsa dalam NKRI. Pretensi halal/haram, dosa/pahala, atau religius/sekular, diletakkan di bawah spirit besar itu.
Apakah sejarah penghapusan 7 kata itu layak untuk selalu disebut tragedi sejarah bagi umat Islam Indonesia sehingga perlu disesalkan sampai kiamat?
Anda pasti tahu Perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian antara Nabi Muhammad dan kaum Quraisy Mekkah itu terjadi di bulan Maret 628 M. Dalam negosisasi itu, Suhail bin Amr (wakil Quraisy) meminta dihapuskan 7 kata pula. Ya, 7 kata, persis penghapusan 7 kata Piagam Jakarta. Nabi memenuhi keinginan Suhail dan menghapuskan 7 kata dari perjanjian itu, yakni “bi, ismi, Allah, ar-rahman, ar-rahim, rasul, dan Allah”.
Usai gentleman agreement yang ditulis Ali bin Abi Thalib itu, yang sedari awal ditentang tegas oleh Umar bin Khattab, Rasulullah menjelaskan kepada para sahabat bahwa sikap komprominya dimaksudkan untuk meraih tujuan yang lebih besar: (1) Diakuinya keberadaan kaum muslimin Madinah oleh kaum Quraisy Makkah, dan (2) Menjaga umat Islam yang hendak berhaji dari gangguan kaum Quraisy.
Mari garis bawahi satu pesan moralnya di sini: mencapai tujuan yang lebih agung dan luhur berwajah perdamaian, persatuan, dan persaudaraan jauh lebih diutamakan oleh Rasulullah Saw.
Hari ini, kita bisa melihat getolnya kawan-kawan HTI, Tarbiyah, hingga PKS yang dengan perspektif dan strategi berbeda, kultural dan struktural, bergerak efektif ke arah khilafah. PKS memang menerima demokrasi Pancasila, tetapi jelas itu bukan sikap ideologis, melainkan politis, sebuah strategi perjuangan ideologis jangka panjang. Persis penumpang kapal demokrasi Pancasila tadi.
Jagat virtual, utamanya sosial media,  menjadi wadah promosi paling empuk bagi gerakan khilafah ini: berkampanye demi mengeduk simpatisan, dengan cara getol memanggungkan narasi-narasi tekstual-dogmatis hingga mementaskan romantika-romantika sejarah kekhalifahan di masa lalu. Nama khalifah Umar bin Abdul Aziz, Abdurrahman III, dan Al-Fatih, selalu dijadikan ikon romantik terkudusnya. Tentu, sembari mengabaikan sosok Yazid bin Muawiyah bin Abu Sufyan dan Al-Qadir Billah. Pula sejarah pembantaian para pangeran Umayyah di era akhir kekuasaan khalifah Hisyam bin Abdul Malik oleh penguasa baru, kekhalifahan Abbasiyah, yang memaksa salah satu pangeran Umayyah yang selamat, Abdurrahman, melarikan diri dengan berjalan kaki dan menumpang kapal hingga ke Afrika Utara.
Namanya kampanye, kita mafhumlah, yang baik-baik yang memang ada dalam sejarah kekhalifahan diberi panggung seluas-luasnya dan yang buruk-buruk yang memang ada dalam sejarah kekhalifahan ditimbun sedalam-dalamnya. Baitul Hikmah karya khalifah Harun Ar-Rasyid di Baghdad dan Madinah az-Zahra karya khalifah Abdurrahman III di Kordoba dihikayatkan sembari tragedi Karballa dan pertikaian mengerikan dua putra mahkota Harun Ar-Rasyid (Al-Amin dan Al-Ma’mun yang disokong Mu’tashim) dihanyutkan sejauh-jauhnya.
Sekali lagi, mafhumilah.
Lanjut. Secara tekstual, sudah jamak diketahui dan diteliti para akademisi muslim, dan saya pernah terlibat intensif dalam riset demikian selama 3 tahun, bahwa di Alqur’an tidak ada satu pun ayat yang secara muhkamat (terang, tekstual, mutlak maknanya) memerintahkan umat Islam mendirikan kekhalifahan.
Bahwa di Alqur’an memang ada ayat tentang perintah mengangkat imam (pemimpin), itu tabik benar. Namun, pertama, bila lantas definisi imam disekatkan hanya sebagai “khalifah”, ini jelas hanya sebuah tafsir yang problematis, tendensius. Para ulama terdahulu, sebutlah Ibu Khaldun, An, Nawawi, Imam Al-Juwayni, hingga Imam Ghazali, tidak menyatakan imam dimaksud sebagai “khalifah” seperti yang Anda definisikan kini.
Imam sama sekali bukan hanya untuk makna konkret khilafah, hanya khalifah. Imam hanya adalah pemimpin dan kepemimpinan, yang di depan, fil amam. Demikian saja episteme asalnya. Menjadi problematis benar saat kini tafsir imam dicokokkan hanya pada kata khilafah seperti kekhalifahan Umayyah atau Abbasiyah.
Saya perjelas sebuah contoh di sini. Imam Al-Juwayni dalam kitab Ghiyats al-Umam, misal, ketika mengatakan “telah menjadi ijma’ ulama untuk mengangkat khalifah yang mengatur kehidupan manusia….”, kata khalifah di situ sama sekali tidak relevan dan otoritatif untuk dicangkokkan sebagai hanya berformat kekhalifahan macam khalifah Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Konteks kata khalifah Al-Juwayni itu hanyalah “pemimpin” atau “kepemimpinan”. Dan khalifah adalah salah satu belaka dari keragaman format kepemimpinan yang dikenal dan bisa kita ambil, seperti presiden, raja, perdana menteri, dan sebagainya.
Kedua, karenanya, perintah mengangkat imam itu sama sekali tidak memadai untuk direngkuh dalam penyimpulan kewajiban menegakkan kekhalifahan Islam. Perintah ini sama sekali tidak bicara apa-apa tentang sistem pemerintahan. Dan Alqur’an memang tak menyediakan sama sekali formulasi tata pemerintahan Islam, sehingga aktualisasinya diberikan kepada manusia secara bebas. Alqur’an hanya menyediakan pesan-pesan moral-etiknya, yakni menegakkan ‘adalah (keadilan), musawah (persamaan), syura (musyawarah), dan ta’awun (tolong-menolong). Sudah, itu saja.
Oleh karenanya, berdasar fakta Alqur’an tersebut, menjadikan ayat (misal) “Siapa yang tidak menghukum dengan hukum Allah” dan “Umpama penduduk negeri beriman dan bertakwa, maka Kami akan bukakan kepada mereka pintu berkah dari langit dan bumi” (QS. 7: 96), dua ayat yang gemar sekali disitir oleh aktivis khilafah, sebagai landasan kewajiban menegakkan khilafah sangat rentan ikhtilaf. Penyebabnya tak lain karena dua ayat tersebut bersifat dzanniyah (samar, multi-tafsir), bukan muhkamat. Segala ayat yang tidak muhkamat, kata ijma’ ulama tafsir, mensahihkan multi tafsir. Dari tafsir yang relevan-otoritatif hingga tafsir yang sangat dipaksakan karena politis, macam pandangan para pejuang khilafah itu. Demikian pula dalam teks hadits Nabi dan Piagam Madinah.
Dalam literatur fiqh siyasah (politik), konsep khilafah dimulai sejak terbitnya kitab Al-Ahkam al-Sulthaniyyah karangan Al-Mawardi, yang hidup di era Abbasiyah. Al-Mawardi menyatakan bahwa khilafah adalah kepemimpinan politik yang berperan menggantikan Nabi; sistem politik yang dirancang oleh Tuhan demi menjaga fondasi agama (qawa’id al-millah) dan kemaslahatan umat (mashalih al-ummah).
Tetapi harap dicatat segera bahwa konteks kelahiran kitab Al-Ahkam al-Sulthaniyyah itu, yang diposisikan sebagai kitab utama oleh para pejuang khilafah, tak lepas dari posisi Al-Mawardi sebagai ulama penasihat Khalifah Al-Qadir Billah. Al-Mawardi adalah ulama istana. Logis bila karyanya mempersembahkan legitimasi afektif kepada kekhalifahan Dinasti Abbasiyah untuk mengail ketaatan rakyat kepada sang sultan. Sebuah kitab indoktrinasi tentunya.
Beberapa tahun berselang, lahir kritik kepada kitab Al-Mawardi dari Imam al-Juwayni, guru Imam Ghazali, yang bergelar Imam Haramain, dalam kitabnya, Ghiyats al-Umam. Al-Juwayni menekankan bahwa urusan politik/kepemimpinan Islam hanya berlandas pada perkara prinsip kifayah (kapasitas), sehingga siapa pun pemimpinnya, apa pun formulasinya, asalkan mampu “memelihara agama dan mengatur dunia” (hiratsah al-din wa siyasah al-dunya), maka ia sudah islami. Ini sekaligus berarti bahwa apa pun sistem politik dan pemerintahan yang diambil sebuah negara, sepanjang berasas pada prinsip-prinsip moral-etik yang diajarkan Alqur’an tadi, ia sudah sesuai dengan spirit Alqur’an. Termasuk di Indonesia dengan demokrasi Pancasila-nya.
Perkara di Indonesia, misal, prinsip ‘adalah (keadilan), musawah (persamaan), syura (musyawarah), dan ta’awun (tolong-menolong) belum sepenuhnya tegak perkasa, hal itu tidak sahih diklaim serentak dan general sebagai bukti buruknya sistem non-khilafah, sebutlah demokrasi Pancasila. Kecompang-campingan itu jelas sepenuhnya “problem manusia” yang melaksanakan sistem politik tersebut. Argumen ini serupa benar dengan argumentasi para pejuang  khilafah bahwa noda-noda hitam sejarah kekhalifahan yang ada tidaklah sahih dijadikan alasan menolak sistem khilafah. Itu problem manusia yang menjalankannya.
Ternyata, jika di sini saja sudut pandangnya, pembelaan para pejuang khilafah juga relevan dijadikan argumen oleh para pembela demokrasi Pancasila.
Pembedanya kemudian bergeser kepada nalar kritis ini: “Jika compang-campingnya praktik demokrasi Pancasila adalah pure problem manusia pelaksananya, setamsil khilafah, lalu logika macam apa yang mendorong Anda berani memilih menanggung tumbal-tumbal politik yang niscaya tumpah serta merta akibat memaksakan sistem khilafah menggantikan sistem demokrasi Pancasila yang telah dipilih secara kolektif oleh para founding father bangsa ini sejak lama?”
Begini analogi sederhananya agar Anda lebih benderang. Apa alasan logis untuk berani menanggung risiko tenggelam di sebuah sungai yang pasti terjadi lantaran tak bisa berenang hanya demi menangkap ikan yang berenang di permukaan yang Anda pikir sangat lezat untuk disantap nanti malam?
Inilah penalaran proficiat yang sulit dibantah oleh mereka yang mendesak mengganti demokrasi Pancasila dengan khilafah, setangguh apa pun mereka berkampanye bahwa hanya khilafahlah yang bisa menegakkan ‘adalah (keadilan), musawah (persamaan), syura (musyawarah), dan ta’awun (tolong-menolong).
Sejarah mengisahkan, sebutan Khalifatullah baru muncul di era Muawiyah bin Abu Sufyan dari Dinasti Umayah yang sekaligus menandai lahirnya sistem monarki. Khulafaur Rasyidin tidak pernah menggunakan sistem monarki ini. Khulafaur Rasyidin pun tidak pernah menggunakan pangkat Khalifatullah, tetapi Khalifatu Rasulillah—pengganti Rasulullah di luar risalah kenabiannya.
Muawiyah lalu digantikan putranya, Yazid bin Muawiyah, yang kita tahu memiliki jejak rekam yang buruk sekali. Jangan harapkan di era itu tegak prinsip kepemimpinan Islam; ‘adalah (keadilan), musawah (persamaan), syura (musyawarah), dan ta’awun (tolong-menolong). Kekhalifahan berjalan secara tiranistik.
Kekhalifahan Umayah mencapai masa emasnya di tangan khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang sayangnya berusia pintas. Gebrakan pertama beliau ialah memangkas anggaran birokrasi yang boros, menjual asset-aset mewah istana yang tidak diperlukan, dan mengembalikan semua hasilnya kepada kas negara. Di era ini, prinsip ‘adalah (keadilan), musawah (persamaan), syura (musyawarah), dan ta’awun (tolong-menolong) ditegakkan sepenuh hati.
Kita kemudian tahu bahwa dinasti Umayah diakhiri melalui kudeta oleh dinasti baru, Abbasiyah. Harap dicatat baik-baik bahwa di era Abbasiyah yang menganut teologi Mu’tazilah, banyak alim ulama yang berbeda paham dan ajaran diintimidasi dan dipenjara. Di antaranya adalah imam mazhab yang agung, Imam Hanbali. Di era ini pulalah kitab Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, dibuat dan melegitimasi kekuasaan itu. Biar adil, di era Abbasiyah pula berdiri tegak Baitul Hikmah yang kesohor, yang digagas khalifah Harun Ar-Rasyid.
Kini mari kritisi masalah berikut ini: rule model sistem pemerintahan khilafah macam apa dan dari mana yang bisa kita terapkan di Indonesia jika khilafah diumbulkan sebagai solusi compang-campingnya demokrasi Pancasila?
Anda akan kesulitan sekali untuk menunjukkannya dengan lugas, tegas, dan benderang. Sebab memang tidak pernah ada rule model konkret apa pun yang kita warisi.
Mau kitab warisan Al-Mawardi ataupun Abul A’la al-Maududi, semuanya “sekadar” hasil tafsir yang kebak latar politis yang melingkupi masa terkait. Demikian pula konsep politik Ibnu Taimiyah sangat dilingkupi faktor sosial-politik masa itu yang kita tahu diselubungi awan gelap perang berkepanjangan dengan pasukan Salib. Kita boleh setuju atau tidak terhadap sebuah tafsir, wacana, persis ketidaksetujuan Al-Juwayni yang rapat kepada latar Seljuk kepada Al-Mawardi yang karib dengan latar Abbasiyah.
Tegasnya, sama sekali tidak ada panduan teknis-manajerial dari Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin tentang bagaimana pemerintahan dan birokrasi islami itu mestinya dijalankan, aspirasi rakyat diakomodir, atau ahlul halli wal aqdi (majelis syura) didudukkan. Sejarah panjang kekhalifahan Islam ala dinasti Umayah, Abbasiyah, hingga Turki Ustmani, yang Anda perjuangkan di Indonesia kini, adalah sejarah praktik monarki, yang juga pernah dijalankan di Romawi, Persia, atau Mongolia.
Demikianlah problematika sejarah dan doktrin khilafah untuk ditampilkan di masa kini, di Indonesia. Sekali lagi, secara doktrin tekstual, khilafah tidak  memiliki landasan absolut (muhkamat) dalam Alqur’an dan hadits, sehingga ia secara hukum Islam (syariat) boleh berkembang dikreasikan, ditafsirkan, dan diformulasikan dalam ragam praktik.
Perintah syariat untuk menegakkan keimaman (kepemimpinan) sepenuhnya mengaras pada penegakan prinsip-prinsip moral politik Islam  itu. Ia secara  proficiat tidaklah otoritatif sama sekali untuk disimpulkan sebagai kewajiban menegakkan khilafah secara legal-formal. Tetapi jikapun khilafah yang legal-formal itu bisa ditegakkan, hal itu sahih saja dilakukan. Karenanya, mau berbentuk demokrasi, monarki, khilafah, federasi, dan lainnya, sepanjang prinsip ‘adalah (keadilan), musawah (persamaan), syura (musyawarah), dan ta’awun (tolong-menolong) bisa diembuskan, ia sudah islami; sudah sesuai ajaran Alqur’an.
Sekarang mari cek situasi bangsa ini. Di Indonesia yang plural, jelas sangat sensitif untuk mengganti Pancasila dengan kekhalifahan. Istilah “jizyah”, misal, dalam praktik khilafah dulu, yakni mengutip dana dari kelompok nonmuslim untuk jaminan rasa aman, niscaya akan memantik kemelut sosial-politik-ekonomis yang sangat mahal ongkosnya. Tak sanggup dibayangkan hal-hal diskriminatif demikian diangkut ke negeri ini. Disintegrasi bangsa niscaya tak terbendung. NKRI sungguh terlalu agung untuk dipertaruhkan koyak lagi moyak oleh sekadar sebuah ekspektasi pada sebuah sistem politik. Apa pun itu. Dan inilah yang sedari dulu diantisipasi oleh para founding father, dengan menerima Pancasila sebagai dasar negara, demi merawat pluralitas bangsa ini, demi terpiaranya keutuhan NKRI.
Demi keutuhan bangsa itu, sesuai kaidah Ushul Fiqh “menghindarkan terjadinya keburukan harus lebih diutamakan daripada menyerukan kebaikan”, Anda bisa membacanya “menyerukan khilafah yang Anda nilai baik harus ditinggalkan demi menghindarkan retaknya NKRI”, segala bentuk perjuangan khilafah di Indonesia sahih untuk difatwa subversif. Segala yang subversif adalah bughat. Segala yang bughat adalah tercela.
Mau landasannya? Ini satu contoh ayat: “Patuhlah kalian kepada Allah dan rasulNya dan ulil amri di antara kalian.Ulil amri adalah pemimpin, presiden, dan pemerintahan yang sah. Ini satu haditsnya: “Barang siapa yang meninggalkan ketaatan dan keluar dari jamaah, lalu mati, maka jenazahnya adalah jenazah jahiliyah.”
Penolakan khilafah ini harus dimaklumi bukan sebagai antidot Alqur’an, hadits, dan sejarah agung para sahabat Nabi. Tidak. Penolakan khlafah ini menjadi relevan, urgen, dan kontekstual bagi Indonesia dengan semata melihat betapa agungnya kewajiban semua kita untuk memelihara NKRI sampai mati. Dan NKRI telah diakomodir, dijamin, dan diuji sejak lama oleh demokrasi Pancasila, bukan khilafah.
Inilah situasi riil terbaik bangsa yang bisa kita miliki. Saya ingin memperjelas posisi saya di sini bahwa saya bukanlah pembela buta demokrasi, antek Amrika, sebab sangatlah sering saya mengkritisi sebagian ambiguitas demokrasi dan standar ganda Amerika. Saya pun bukanlah antidot khilafah. Sebab saya sangat mengagumi Umar bin Abdul Aziz, Harun Ar-Rasyid, dan Muhammad Al-Fatih. Saya hanyalah segerbong sama jutaan rakyat Indonesia yang bangga mewarisi keutuhan dan kedamaian bangsa ini dengan memekik bahwa NKRI adalah harga mati. Secara rasional saya membanggakan NKRI dan secara dogmatis saya meneguhkan bahwa merawat nasionalisme itu berpahala besar.
Sekali lagi, perkara praktik demokrasi Pancasila di NKRI tercinta ini masih compang-camping, saya tidak perlu menutup mata; justru itu menjadi tugas kita bersama untuk memperbaikinya dari waktu ke waktu. Bukan segrusa-grusu menggantinya dengan sistem khilafah yang belum tentu pula tidak lebih compang-camping dan sudah pasti bakal meremukkan persatuan dan persaudaraan bangsa. Nangkanya belum tentu didapat, getahnya sudah pasti menyambut. Masihkah logis untuk diperjuangkan?
Lur, almarhum Abah saya pernah berpesan begini: “Cong, jika kamu kelak menikah, lalu suatu hari bertengkar hebat sama istrimu, bukan pernikahan itu yang harus kamu hancurkan, sebab pernikahan tak pernah salah, atau mengganti istrimu dengan perempuan lain yang kamu pikir takkan pernah membuatmu kecewa, tetapi suami-istri itulah yang harus berbenah bersama-sama. Pernikahan yang sakinah, mawaddah, wa rahmah harus dibenahi bersama-sama segala masalah dan kekurangannya.”
Mengendalikan perasaan cinta pada seorang gadis cantik yang asing di malam buta jauh lebih baik daripada Anda memburunya dengan meyakininya lebih istimewa dari pasangan yang ada di sebelah Anda sehingga sejak saat itu pula Anda kehilangannya untuk kemudian gadis cantik itu menoleh pada Anda sembari berkata: “Mas, saya sundel bolong, lho….”