Sebelum sempat turun dari mobil, pria berbadan kekar itu meminta waktu dua menit untuk istirahat sejenak. Beberapa penerima tamu dari fasilitator Latihan Kader Utama (Lakut) PW IPNU-IPPNU Jawa Tengah, menunggunya disamping mobil berplat AB itu. Tak lama kemudian, ia turun dari mobil dengan napas terengah, berjalan menuju ruang pemateri di gedung diklat milik Kemenag Provinsi Jawa Tengah.
Namanya Kiai Ahmad Muwaffiq. Orang biasa memanggilnya Gus Muwaffiq atau Cak Afiq. Ia merupakan tokoh NU yang banyak mengader anak-anak muda NU, khususnya IPNU-IPPNU dan PMII. Siang itu, ia masih seperti biasanya: berambut gongdrong dengan kopiah putih, memakai jubah dan sorban hijau keabu-abuan. Suaranya sedikit serak, setelah beberapa hari ini sibuk keliling Jateng, Jatim dan beberapa titik di luar Jawa untuk memenuhi berbagai undangan ceramah, seminar dan pengisian kanuragan Pagar Nusa, salah satu badan otonom NU yang mengonsolidasikan para pendekar. Kali ini, di tengah kesibukannya, ia menyelakan waktu untuk datang ke Semarang, mengisi pengaderan generasi muda NU yang digelar selama empat hari, 24–27 Maret 2016.
Tak lama berselang, ia memasuki forum. Dengan muka sedikit pucat dan suara serak-serak karena jarang tidur kecuali di mobil, ia menyampakan materi. Sedikitnya 50 peserta menyimak dengan seksama, paparan dari mantan asisten Gus Dur ini. Beberapa panitia dan fasilitator pun turut menyimak. Di pojok kanan forum, seorang panitia yang menjadi notulen, sibuk mencatat apa-apa yang disampaikan.
“Kalian semua ini telah memilih untuk menjadi orang gila, tak normal dan tak wajar. Wajarnya pemuda-pemudi hari ini ya tidak begini, tidak di tempat yang seperti ini, tapi di mall, kafe, jalan-jalan, tempat pacaran, dan berselfie ria atau berbagai kemewahan lain yang dunia modern tawarkan. Dan kalian tidak memilih itu. Kalian memilih menjadi orang yang gila, terasing dan beda dari generasi yang ada,” papar Cak Afiq, usai membuka dengan salam.
Lebih lanjut Cak Afiq memaparkan bahwa Iblis sekarang bingung, karena metodologinya dalam menggoda manusia berupa kejahatan sudah dipakai oleh manusia itu sendiri. Namun, sesuai kesepakatannya dengan Tuhan, ia tak berhenti menggoda untuk menyesatkan dan menjerumuskan manusia. “Kalau dulu alat Iblis adalah kemungkaran, sekarang memakai alat kesalehan,” katanya.
“Kalian, yang cowok-cowok, saya yakin tidak mau dengan wanita yang memakai baju terbuka, apalagi tatoan. Kemudian Iblis menawarkan cewek yang berkerudung, sampai kemudian pacaran dan dengan tanpa sadar pegang-pegangan, dan lain-lain. Itu sama saja, hanya bungkusnya yang berbeda. Sesama Muslim enggan mengkafirkan (memvonis kafir), maka kemudian Iblis memakaikan jubah dan sorban, sampai akhirnya orang itu merasa benar sendiri, menganggap yang lain salah lalu mengkafirkan. Itu sama saja. Iblis tidak lagi menggiring ke arah maksiat dengan keburukan, namun dengan kebaikan,” imbuhnya menasehati para generasi muda.
“Kalian memilih menjadi manusia yang penuh dengan derita, yaitu memikul tanggung jawab keumatan. Kalian memilih menjadi yang tegak di antara tongkat-tongkat yang bengkok. Kalian memilih melewati jalan yang ditempuh oleh para ulama dan pelayan umat. Jika bisa istiqamah, kalian kelak akan menjadi sandaran tongkat-tongkat yang bengkok itu, karena kalian lurus. Namun ini berat, teramat berat. Bisa jadi, di antara 50 peserta ini, satu persatu akan jatuh berguguran, hingga nanti mungkin yang masih istiqamah tinggal lima. Namun saya doakan semoga semuanya kuat,” imbuhnya, menyadarkan posisi dan tanggung jawab peserta. Masih dengan nada rendah, ia kembali melanjutkan.
“Menjadi pelayan agama dan umat itu tidak mudah, harus rela mengorbankan kepentingan, kesenangan dan waktu diri sendiri dan bahkan keluarga untuk orang lain. Dulu anak-anak Gus Dur bahkan pangkling dengan bapaknya, karena saking jarangnya bertemu. Usai ada tamu, ada acara keluar, ada seminar, ada menghadiri pertemuan, sampai anaknya pernah mengeluh: ‘Pak, tolong beri aku selimut, aku dingin lama ditinggal Bapak’, dan Gus Dur menjawab, ‘Kita dahulukan dulu kepentingan umat’. Begitu juga dengan keadaan hidup para kiai dan ulama, siapa saja datang kepada mereka: mulai dari orang terbelit hutang, orang minta doa cepat dapat jodoh, ibu melahirkan, orang sunat, orang menikah, orang meninggal, orang punya masalah, pejabat, calon anggota dewan, pencuri, gali maling semua diterima oleh kiai bahkan masing-masih diberi (ayat) Al-Quran (sebagai doa),” paparnya panjang lebar.
Tak terasa, aku yang memoderatorinya terenyuh, mataku berkaca-kaca. Kulihat, beberapa peserta sejenak tertunduk. Suasana di siang itu begitu hening.
“Lihat makam para wali itu, sudah meninggal ratusan tahun saja, orang-orang masih berduyun-duyun datang kesana. Kita bisa bayangkan bagaimana dulu hidupnya, menjadi tempat sandaran banyak orang. Itu baru para wali, bagaimana dengan Baginda Nabi Muhammad SAW, ketika semua orang dulu bengkok, beliau menjadi satu-satunya orang yang lurus dan menjadi tempat bersandar banyak orang. Semua orang mendatanginya, minta petunjuk, pencerahan, pengayoman, lindungan dan solusi atas pelbagai persoalan.”
Untuk menghadapi tanggungjawab itu semua, katanya, jangan kebanyakan tidur. Seburuk-buruk orang itu ialah banyak tidurnya. “Nabi Muhammad mendapat Islam itu mau melek 15 tahun. Syekh Abdul Qodir Al-Jilani mendapat thariqah itu melek 25 tahun. Sunan Kalijaga mendapat derajat kewalian itu menjaga tongkat 3 tahun. Syekh Hasan Syadzili melek 20 tahun. Mbah Hasyim sebelum mendirikan NU berjalan tiga tahun di Kali Brantas, dari hilir sampai hulu. Ibu Nyai Dlomroh, istri kyai Manap(KH Abdul Karim, Pendiri Pondok Pesantren Lirboyo), 7 tahun tidak pernah tidur. Kalau sekarang Lirboyo besar seperti itu ya wajar. Ibu Nyai Chudlori Tegalrejo, malamnya tidak pernah tidur.” Ungkapnya, membuat para beberapa peserta yang kantuk tergugah semangat. Aku sendiri menjadi begitu malu kepada generasi terdahulu. Dengan fasilitas seadanya, orang dulu begitu hebat dan banyak melahirkan pemikiran dan karya yang bermanfaat.
Kemudian ia menjelaskan, bahwa hari ini semua amaliyah kita orang NU diinvestigasi. Namun karena metodologinya tidak pas, maka semua investigasi itu tidak nyambung. “Al-Qur’an itu ibarat sumur, ibarat air sumur: bisa dibikin es-teh atau sirup. Mencari es-teh tidak bisa ke sumur karena itu produk olahan air sumur. Maka mencari Pancasila di dalam Al-Qur’an jelas sia-sia karena tidak ada,” ungkapnya memberi logika.
Cak Afiq lalu memetakan bahwa sebenarnya gerakan-gerakan di luar NU (pada hakikatnya) tidak begitu mengganggu NU, karena mereka justru menghancurkan diri sendiri secara nilai dan ideologi mereka, yang tidak sesuai dengan ajaran baginda Nabi Muhammad SAW. “Seperti ketika dulu mereka tidak mau tahlilan karena menganggap itu bukan ajaran Islam. Baru ketika mereka menemukan dalilnya, mereka sedikit naik pangkat namun penuh gengsi: mau tahlil namun tidak mau tahlilan. Padahal, orang Jawa: apapun yang sudah dipakai atau dilaksanakan akan diberi akhiran ‘an’. Tahlil – tahlilan, yasin – yasinan, sarung – sarungan, dan lain sebagainya. Jadi, kalau mau tahlil tapi tidak mau tahlilan, ibarat orang punya celana tapi tidak mau memakainya,” jelasnya disambut gerrrr dari peserta.
“Maaf, pada kesempatan kali ini, saya baru menyampaikan muqaddimah. Karena minimnya waktu, saya tidak bisa menjelaskan panjang-lebar terkait dengan gerakan aswaja. Silakan cari waktu lain yang saya longgar, insyaallah saya siap menjelaskannya. Satu atau dua hari, insyaallah akan lebih tuntas,” imbuhnya. Tak lama kemudian, Cak Afiq berpamit meninggalkan forum dan berangkat menuju Magetan, Jawa Timur.
Usai acara Lakut selesai, para peserta dalam Rencana Tindak Lanjut bersepakat untuk mengundangnya kembali. Adapun tempat tuan-rumahnya adalah di IPNU-IPPNU Kabupaten Klaten, dengan tentatif waktu sebelum bulan puasa. Semoga pemaparan yang lebih dalam lagi dengan mantan Sekjend Mahasiswa Islam se-Asia Tenggara itu ke depan bisa terwujud. Amin.
Sumber : http://www.muslimoderat.com/
Selasa, 29 Maret 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus