Selasa, 26 April 2016

Kisah Toleransi KH Idham Chalid dan Buya Hamka Dalam Qunut Subuh

Ada sebuah kisah yang patut kita teladani sebagai umat Islam dalam menjaga ukhuwah. Kisah yang terjadi antara pemimpin Nahdlatul Ulama, KH Idham Cholid, dan pemimpin Muhammadiyah, Buya Hamka, yang ketika itu sedang melakukan Sholat Subuh berjama’ah di kapal laut ketika perjalanan ke tanah suci.
Di Indonesia, ada banyak organisasi yang berasaskan Islam yang dapat ditemukan seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis, Al Irsyad, dan lain sebagainya. Diantara organisasi itu, NU dan Muhammadiyah, adalah salah satu organisasi Islam terbesar yang banyak penganutnya di Indonesia. Perlu diketahui bahwa kedua organisasi ini sering disalah artikan sebagai suatu aliran dalam Islam seperti halnya aliran Mu’tazilah, Qadariyah, Jahmiyah, dan lain-lain. Padahal, keduanya hanyalah sebagai organisasi massa (ormas) yang lebih tepatnya disebut sebagai organisasi Islam.
Dan yang paling penting adalah tidak ada satu pun prinsip di dalam organisasi Islam tersebut yang bertentangan atau menyimpang dari ushuludin atau pokok-pokok ajaran agama Islam. Kesemuanya secara umum disatukan dalam satu ikatan aqidah yang dianut jumhur kaum muslimim sepanjang zaman, yang lazim dikenal Ahlusunnah wal Jama’ah. Kalau pun terdapat perbedaan pendapat yang terjadi, atau mengatasnamakan ormas-ormas tersebut, itu hanyalah masalah furu’iyyah atau hal ini bukanlah berarti mereka bisa dicap beda pemahaman.
Perbedaan yang ada, seperti dalam masalah furu’iyyah (cabang agama), metode dakwah, cakupan, dan sebagainya justru akan membuat ormas-ormas tersebut akan saling menguatkan dan menopang dakwah. Menjadi sarana berlomba-lomba dalam kebaikan sebagaimana yang telah diperintahkan dalam Al Qur’an surat Al-Baqarah ayat 148. Hanya saja, memang tidak bisa dipungkiri, adanya sebagian oknum yang picik pandangan, saling sikut dengan sesama saudaranya, bahkan saling hujat, hanya karena berbeda organisasi dan bendera dakwah. Orang-orang seperti ini harus segera disadarkan. Karena sadar atau tidak sadar dia telah melakukan kemungkaran besar, yang bukan saja akan berimbas pada dirinya, tetapi mudharatnya bisa menimpa jama’ah kaum muslimin pada umumnya.
Betapa indahnya hidup ini jika kita bisa mempererat tali ukhuwah diantara kita sehingga perbedaan yang terjadi tak akan mampu mempecah belah persaudaraan kita. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Al Hujurat ayat 10 yang menyatakan bahwa sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Dan Rasulullah SAW pun menambahkan bahwa orang mukmin itu ibarat satu tubuh, apabila ada anggota tubuhnya sakit maka seluruh tubuh akan merasakan sakitnya. Di hadits lain pun disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda barangsiapa yang hendak merasakan manisnya iman, hendaklah ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri. Sungguh indah persaudaraan Islam ini.
Ada sebuah kisah yang patut kita teladani sebagai umat Islam dalam menjaga ukhuwah. Kisah yang terjadi antara pemimpin Nahdlatul Ulama, KH Idham Cholid, dan pemimpin Muhammadiyah, Buya Hamka, yang ketika itu sedang melakukkan perjalanan ke tanah suci. Saat sedang dalam perjalanan menuju tanah suci di dalam sebuah kapal laut, waktu melakukan sholat subuh berjamaah, para pengikut Nadhlatul Ulama heran saat KH Idham Cholid yang mempunyai kebiasaan menggunakan doa qunut dalam kesehariannya, malah tidak memakai doa qunut tatkala Buya hamka dan sebagian pengikut Muhammadiyah menjadi makmumnya.
Demikian pula sebaliknya, tatkala Buya Hamka mengimami shalat subuh, para pengikut Muhammadiyah merasa heran ketika Buya Hamka membaca doa qunut karena KH Idham Cholid dan sebagian pengikut NU menjadi makmumnya.
KH Idham Cholid adalah tokoh pemimpin NU yang mempunyai kebiasaan membaca doa qunut dalam shalat shubuh. Namun, saat ditunjuk menjadi imam shalat subuh, beliau tidak membacanya demi menghormati sahabatnya Buya Hamka dan para pengikutnya. Padahal, dalam tradisi NU membaca doa qunut dalam shalat subuh adalah sunah muakkad. Sungguh ini adalah tindakan yang begitu arif dan bijak. Begitu pun sifat kearifan ditunjukan oleh pemimpin Muhammadiyah, Buya Hamka, yang kesehariannya tidak membaca doa qunut justru membaca doa qunut saat mengimami shalat subuh dengan alasan yang sama. Mereka malah berpelukan mesra setelah shalat, saling menghormati, dan saling berkasih sayang.
Inilah para pemimpin yang sebenarnya yang begitu dalam dan luas keilmuan dan wawasannya. Meskipun terdapat perbedaan pendapat tetapi tetap bersatu dalam persaudaraan. Mereka lebih mengedapankan ukhuwah Islamiyyah ketimbang masalah khilafiah yang tidak akan ada ujungnya. Mereka tidak mengenal istilah saling mencela, mengejek, atau saling menuduh sesama muslim yang berbeda pandangan yang justru akan menimbulkan suatu fitnah.
Namun, sayangnya banyak dari orang-orang yang mengaku menjadi pengikut pemimpin mereka malah tidak bisa mencontoh sifat kebesaran jiwa yang ditunjukan para pemimpinnya. Banyak diantara mereka saling meributkan, menyibukan diri dengan mencari-cari perbedaan, dan menyalahkan satu sama lain yang berbeda pendapat dan tidak jarang saling mengejek dan menghina bahkan sampai menyesatkan sesama muslim yang berseberangan dengannya. Mereka tidak sadar bahwa tindakan yang dilakukannya hanya memecah belah umat dan sungguh ini adalah perbuatan yang lebih hina di mata Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Ini adalah fakta dan memang benar adanya. Contoh yang paling nyata adalah menjamurnya tulisan-tulisan di berbagai media khususnya media online seperti blog atau website yang memaparkan pendapat-pendapat yang dianggap paling benar sendiri dan menyalahkan orang lain sesama muslim yang berbeda pendapat dengannya. Apa yang mereka utarakan sebenarnya hanyalah foto copy alias copy paste dan taqlid dari orang lain, bukan lahir dari keluasan ilmu, kefaqihan dan kealiman, apalagi dari kerendahan hatinya. Tapi sayangnya, sikap dan perilaku mereka, seolah mufti tertinggi. Tidak seperti para Imam Ahlus Sunnah yang sangat bijak dalam menyikapi khilafiyah khususnya dalam keragaman amal syariat.
Kenyataan ini memang sangat berbeda dengan sebagian manusia yang sangat ingin mengikuti mereka para imam Ahlus Sunah, tetapi tidak mampu meneladani akhlak para imamnya. Mencela dan mensesat-sesatkan sesama muslim menjadi pekerjaan tetap sebagian orang tersebut, cuma karena perbedaan furu’. Lucunya lagi adalah mereka yang mencela dan mensesat-sesatkan bukan ulama, hanyalah thalibul ilmi (penuntut ilmu) yang baru duduk di satu majelis –tanpa mau bermajelis dengan yang lain- tetapi sayangnya berperilaku seakan ulama besar dan ahli fatwa. Sungguh, mereka baru di tepian pantai, tapi sayangnya berperilaku bagai penjelajah lautan. Mereka baru dipermukaan, tapi sayangnya bertingkah bagai penyelam ulung. Nasihat bagi mereka selalu ditolak, kecuali hanya dari kelompoknya saja. Sungguh, sebenarnya mereka sangat layak dikasihani. Mereka tidak tahu bahwa kesalahan ijtihad tetap dihargai satu pahala oleh syariat, tetapi justru mereka menghargainya dengan tuduhan ‘sesat’, dan ‘bid’ah.’ Mereka menampilkan Islam dengan wajah yang keras, padahal itu adalah pengaruh dari kepribadian mereka sendiri, bukan Islam.
Cobalah saudaraku, berpikiran jernih dan dewasa, elegan dan bijak, dalam menghadapi khilafiyah fiqhiyah. Contohlah sikap para imam yang anda pegang, betapa kebesaran hati mereka mampu menjaga ukhuwah yang terjalin. Sikap seperti inilah yang seharusnya kita terapkan dalam menyikapi perbedaan diantara sesama kita sebagai umat Islam. Para imam adalah pemandu kita, kalau bukan mengikuti mereka, siapa lagi yang kita ikuti. Emosi dan hawa nafsu serta syetan laknatulloh?
Wallahu a’lam bishshawab
sumber: kisahislami.com

0 komentar:

Posting Komentar