Pada dasarnya bersalaman setelah shalat wajib tidak disyariatkan (ghairu
masyru’); tidak akan kita temukan tentang hal itu dalam Al Quran, As
Sunnah, dan Ijma’, baik dalam bentuk kata perintah wajib atau mustahab
(sunah). Sedangkan, wajib dan sunah adalah perkara yang mesti berasal
dari pembuat syariat bukan hawa nafsu manusia yang menyangka baik sebuah
perbuatan.
Di sisi lain, bersalaman adalah
perbuatan yang secara mutlak memang dianjurkan dilakukan sesama muslim,
dengan tanpa terikat oleh waktu, tempat, dan peristiwa tertentu. Kita
dapat melakukannya ketika pagi, siang, sore, dan malam, ketika berdiri,
duduk, dan berbaring, ketika diam atau berjalan, mukim atau musafir,
bertemu dan berpisah, di majelis dan di luar majelis, atau kapan pun,
termasuk juga setelah shalat, sebab hal itu termasuk lingkup
kemutlakannya.
Namun, masalah mulai timbul ketika
bersalaman setelah shalat telah menjelma menjadi adat dan tradisi
baru secara khusus, yang jika ditinggalkan oleh pelakunya, mereka merasa
ada sesuatu yang hilang, atau tidak nyaman, dan mereka baru tentram
dihati ketika bersalaman itu mereka lakukan kembali. Seakan bersalaman
adalah ibadah yang terkait dengan shalat itu sendiri.
Ini
benar-benar telah terjadi di sebagian fenomena masyarakat Islam.
Manakala ada manusia yang tidak mengikuti tradisi ini serta merta orang
tersebut dituduh dengan berbagai tuduhan yang jelek. Pada titik ini,
bersalaman setelah shalat telah menjadi wujud baru dalam ritual Islam
yang tidak ada dasarnya. Oleh karena itu, masalah ini sangat bersifat
kasuistis dan kondisional, tidak dibenarkan secara mutlak dan tidak
disalahkan secara mutlak pula. Sebab, memang ada orang yang bersalaman
setelah shalat telah menjadi tradisi baginya, setelah dia mengucapkan
salam langsung sibuk memutar badan kanan kiri dan belakang untuk
bersalaman, dan itu dilakukan lagi pada kesempatan shalat lainnya,
sehingga ada jamaah merasa terganggu. Ada pula yang bersalaman karena
memang dia baru berjumpa dengan sahabat di kanan kirinya, yang baru ada
kesempatan bersalaman setelah shalat. Ada juga yang bersalaman setelah
shalat karena dia diajak untuk bersalaman, dia bukan inisiatornya, dan
itu pun bukan kebiasaannya, yang jika dia tolak akan melukai hati
saudaranya. Nah, semua ini tentu tidak bisa dinilai secara sama.
Dalil-Dalil Umum Bersalaman
Dari Bara bin ‘Azib Radhialllahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مامن مسلمين يلتقيان، فيتصافحان، إلا غفر لهما، قبل أن يتفرقا
“Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu mereka
bersalaman melainkan Allah ampuni mereka berdua sebelum mereka
berpisah.” (HR. Abu Daud No. 5212, At Tirmidzi No. 2727, Ibnu Majah No.
3703, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam berbagai kitabnya, Al
Misykah Al Mashabih No. 4679, Shahihul Jami’ No. 5777, dan lainnya)
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
قلنا: يا رسول الله! أينحني بعضنا لبعض؟ قال ((لا)). قلنا: أيعانق بعضنا بعضا؟ قال ((لا. ولكن تصافحوا)).
Kami bertanya: “Ya Rasulullah! Apakah kami mesti membungkuk
satu sama lain?” Beliau menjawab; “Tidak.” Kami bertanya: “Apakah saling
berpelukan?” Beliau menjawab: “Tidak, tetapi hendaknya saling
bersalaman.” (HR. Ibnu Majah No. 3702, Abu Ya’ala No. 4287. Hadits ini
dihasankan Syakh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No.
3702)
Dari Anas pula:
كان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم إذا تلاقوا تصافحوا ، وإذا قدموا من سفر تعانقوا
“Adalah sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika
mereka berjumpa mereka saling bersalaman, jika mereka datang dari
bepergian, mereka saling berpelukan.” (HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al
Awsath, No. 97. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib
wat Tarhib No. 2719. Imam Al Haitsami mengatakan: rijalnya (para
perawinya) rijal hadits shahih. Lihat Majma’ Az Zawaid, 8/36)
Dari Ka’ab bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
دخلت المسجد، فإذا برسول الله صلى الله عليه وسلم، فقام إلي طلحة بن عبيد الله يهرول حتى صافحني وهنأني.
Saya masuk ke masjid, ketika bersama Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datanglah menghampiri saya Thalhah bin
‘Ubaidillah tergesa-gesa sampai dia menjabat tangan saya dan mengucapkan
selamat kepada saya. (HR. Bukhari No. 4156, Abu Daud No. 2773, Ahmad
No. 15789)
Berkata Qatadah Radhiallahu ‘Anhu:
قلت لأنس: أكانت المصافحة في أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم؟ قال: نعم.
Aku berkata kepada Anas: apakah bersalaman di lakukan para
sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Dia menjawab: “Ya.” (HR.
Bukhari No. 5908)
Dan masih banyak lainnya.
Berbagai riwayat dan atsar di atas menunjukkan masyru’-nya
bersalaman bagi sesama muslim yakni pria dengan pria, atau wanita
dengan wanita. Dan, hal ini mutlak kapan saja. Para ulama yang
menyunnahkan dan membolehkan berjabat tangan setelah shalat berdalil
dengan riwayat-riwayat ini, bagi mereka berbagai riwayat ini tidak
membatasi hanya saat pertemuan. Sedangkan, dalil ‘aam (umum) dan muthlaq
(tidak terikat) adalah menjadi dalil kuat yang mesti dipakai selama
belum ada dalil khash (spesifik) dan muqayyad (mengikat) yang
mengalihkan kemutlakannya. Nah, dalam bersalaman ini dalil-dalil
bersifat ‘aam di atas tetaplah dapat dijadikan dalil untuk bersalaman
kapan saja, karena memang tidak ada dalil khusus yang mengalihkannya.
Sedangkan bagi pihak yang memakruhkan bahkan
membid’ahkannya, mereka menilai bahwa yang terjadi adalah bersalaman
setelah shalat menjadi kebiasaan tersendiri di masyarakat yang mereka
sandarkan kepada agama dan ibadah, dan fakta inilah yang sesungguhnya
terjadi, oleh karena itu dibutuhkan dalil secara khusus untuk
mengukuhkannya, jika tidak ada, maka itu tertolak (baca: bid’ah).
Seperti yang telah kami sampaikan sebelumnya, masalah ini
tidak bisa digebyah uyah begitu saja karena sifatnya yang sangat
personal dan kasuistis. Oleh karena itu, mesti dilihat menurut rincian
sebagai berikut:
- Jika melakukannya karena si pelaku
menganggap bersalaman adalah bagian dari shalat, maka tidak syak lagi,
ini adalah bid’ah dhalalah, karena dia telah memasukkan dalam ritual
peribadatan yang bukan bagian darinya, walau pun ini hanya dilakukan
sekali.
- Jika melakukannya tidak dianggap bagian dari
shalat, tapi dilakukan berulang-ulang dan menjadi adat tersendiri
sehingga dipandang memiliki keutamaan tersendiri pula, yang jika
ditinggalkan mereka merasa bersalah, maka ini pun bisa berpotensi
menjadi bid’ah dalam ibadah. Sebaiknya ditinggalkan, sebab jika amaliah
yang benar-benar sunah saja nabi tidak terus menerus melakukan karena
khawatir dianggap wajib, apalagi perbuatan yang masih debatable para
ulama. Sungguh, keluar dari khilafiah adalah lebih baik.
-
Jika melakukannya dalam kondisi dia baru berjumpa dengan
saudaranya, maka itu tidak mengapa, bahkan bagus walau pun berasal dari
inisiatifnya sendiri, dan termasuk aplikasi hadits Bara bin ‘Azib:
Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu mereka bersalaman melainkan Allah
ampuni mereka berdua selama sebelum berpisah
- Jika
melakukannya bukan inisiatifnya, tetapi dia dalam keadaan berjamaah
shalat bersama kaum yang biasa melakukannya dan mereka mengajaknya
bersalaman, lalu dia sulit menghindar dan dapat melukai perasaan
saudaranya itu jika dia menghindar, maka tidak mengapa dia bersalaman.
Hal ini, demi menjaga perasaan sesama muslim, menyatukan hati, dan
menghindari kebencian satu sama lain. Dengan demikian dia menjalankan
mudharat demi menghindari mudharat yang lebih besar dan berkepanjangan.
Sikap ini merupakan ‘ibrah dari sikap elegan Imam Ahmad bin Hambal
Radhiallahu ‘Anhu yang membid’ahkan qunut subuh tetapi beliau tetap ikut
berqunut jika imam melakukannya, demi menjaga kesatuan hati, kesamaan
kata, dan menghilangkan permusuhan. Fa’tabiruu ..!
Dan, rincian inilah yang menjadi pegangan kami dalam memandang permasalah ini. Wallahu A’lam
Pandangan Para Ulama
Berikut ini adalah pandangan para imam ahlus sunnah yang
patut kita jadikan bahan pemikiran. Semua kami paparkan sebagai amanah
dan kejujuran ilmiah, bahwa memang perselisihan para ulama dalam hal ini
memang wujud (ada). Terlepas dari setuju atau tidaknya kita terhadap
pandangan salah satu dari mereka, yang jelas, pandangan mereka tidak
lepas dari menyunnahkan, membolehkan dan memakruhkan bahkan
membid’ahkan, dengan alasan masing-masing yang telah kami sebutkan di
atas.
Kami akan membagi dua kelompok, yakni ulama
yang menyetujui (baik mengataan sunah atau mubah) dan ulama yang
menolak (baik yang memakruhkan atau membid’ahkan).
Para Ulama Yang Menyetujui
Mereka adalah sederatan imam kaum muslimin yang nama
besar mereka menjadi jaminan kualitas pandangan dan keilmuannya.
Imam Abul Hasan Al Mawardi Asy Syafi’i Rahimahullah
Beliau mengatakan dalam kitabnya Al Hawi Al Kabir:
إِذَا
فَرَغَ الْإِمَامُ مِنْ صَلَاتِهِ فَإِنْ كَانَ مَنْ صَلَّى خَلْفَهُ
رِجَالًا لَا امْرَأَةَ المصافحة بعد الصلاة فِيهِمْ وَثَبَ سَاعَةَ
يُسَلِّمُ لِيَعْلَمَ النَّاسُ فَرَاغَهُ مِنَ الصَّلَاةِ
“Jika seorang imam sudah selesai dari shalatnya, dan jika yang
shalat di belakangnya adalah seorang laki-laki, bukan wanita, maka dia
bersalaman setelah shalat bersama mereka, dan setelah sempurna
waktunya, hendaknya dia mengucapkan salam agar manusia tahu bahwa dia
telah selesai dari shalat.” (Al Hawi Al Kabir, 2/343. Darul Fikr.
Beirut - Libanon)
Imam ‘Izzuddin (Al ‘Izz) bin Abdussalam Asy Syafi’i Rahimahullah (w. 660H)
Beliau memasukkan bersalaman setelah shalat subuh dan
‘ashar sebagai bid’ah yang boleh (bid’ah mubahah). Berikut
perkataannya:
والبدع المباحة أمثلة. منها: المصافحة عقيب الصبح
والعصر، ومنها التوسع في اللذيذ من المآكل والمشارب والملابس والمساكن،
ولبس الطيالسة، وتوسيع الأكمام.
“Bid’ah-bid’ah
mubahah (bid’ah yang boleh) contoh di antaranya adalah: bersalaman
setelah subuh dan ‘ashar, di antaranya juga berlapang-lapang dalam
hal-hal yang nikmat berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal,
melebarkan pakaian kebesaran ulama, dan melebarkan lengan baju.”
(Qawaid Al Ahkam fi Mashalihil Anam, 2/173)
Imam An Nawawi Asy Syafi’i Rahimahullah (w. 676H)
Beliau juga berpendapat mirip dengan Imam Ibnu
Abdissalam di atas. Namun, beliau menambahkan dengan beberapa rincian.
Berikut perkataannya:
وَأَمَّا هَذِهِ الْمُصَافَحَةُ
الْمُعْتَادَةُ بَعْدَ صَلَاتَيْ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ فَقَدْ ذَكَرَ
الشَّيْخُ الْإِمَامُ أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ عَبْدِ السَّلَامِ رحمه الله
أَنَّهَا مِنْ الْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ وَلَا تُوصَفُ بِكَرَاهَةٍ وَلَا
اسْتِحْبَابٍ، وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ حَسَنٌ، وَالْمُخْتَارُ أَنْ
يُقَالَ: إنْ صَافَحَ مَنْ كَانَ مَعَهُ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَمُبَاحَةٌ
كَمَا ذَكَرْنَا، وَإِنْ صَافَحَ مَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ قَبْلَهَا
فَمُسْتَحَبَّةٌ؛ لِأَنَّ الْمُصَافَحَةَ عِنْدَ اللِّقَاءِ سُنَّةٌ
بِالْإِجْمَاعِ لِلْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ فِي ذَلِكَ
“Ada pun bersalaman ini, yang dibiasakan setelah dua shalat; subuh
dan ‘ashar, maka Asy Syaikh Al Imam Abu Muhammad bin Abdussalam
Rahimahullah telah menyebutkan bahwa itu termasuk bid’ah yang boleh yang
tidak disifatkan sebagai perbuatan yang dibenci dan tidak pula
dianjurkan, dan ini merupakan perkataannya yang bagus. Dan, pandangan
yang dipilih bahwa dikatakan; seseorang yang bersalaman (setelah shalat)
dengan orang yang bersamanya sejak sebelum shalat maka itu boleh
sebagaimana yang telah kami sebutkan, dan jika dia bersalaman dengan
orang yang sebelumnya belum bersamanya maka itu sunah, karena bersalaman
ketika berjumpa adalah sunah menurut ijma’, sesuai hadits-hadits
shahih tentang itu.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/325. 1423H-2003M.
Dar ‘Aalim Al Kitab)
Dalam kitabnya yang lain beliau mengatakan;
واعلم
أن هذه المصافحة مستحبة عند كل لقاء، وأما ما اعتاده الناس من المصافحة
بعد صلاتي الصبح والعصر، فلا أصل له في الشرع على هذا الوجه، ولكن لا بأس
به، فإن أصل المصافحة سنة، وكونهم حافظوا عليها في بعض الأحوال، وفرطوا
فيها في كثير من الأحوال أو أكثرها، لا يخرج ذلك البعض عن كونه من المصافحة
التي ورد الشرع بأصلها.
“Ketahuilah, bersalaman merupakan
perbuatan yang disunahkan dalam keadaan apa pun. Ada pun kebiasaan
manusia saat ini bersalaman setelah shalat subuh dan ‘ashar, maka yang
seperti itu tidak ada dasarnya dalam syariat, tetapi itu tidak mengapa.
Karena pada dasarnya bersalaman adalah sunah, dan keadaan mereka
menjaga hal itu pada sebagian keadaan dan mereka berlebihan di dalamnya
pada banyak keadaan lain atau lebih dari itu, pada dasarnya tidaklah
keluar dari bersalaman yang ada dalam syara’.” (Al Adzkar, Hal. 184.
Mawqi’ Ruh Al Islam) Lihat juga dalam kitabnya yang lain. (Raudhatuth
Thalibin, 7/438. Dar Al Maktabah Al ‘ilmiyah)
Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki Asy Syafi’i (w. 974H)
Beliau
memfatwakan tentang sunahnya bersalaman setelah shalat walau pun shalat
id. (Al Fatawa Al Kubra Al Fiqhiyah ‘Ala Madzhab Al Imam Asy Syafi’i,
4/224-225. Cet. 1. 1417H-1997M. Darul Kutub Al ‘Ilmiah, Beirut -
Libanon)
Dalam kitabnya yang lain beliau berkata:
وَلَا
أَصْلَ لِلْمُصَافَحَةِ بَعْدَ صَلَاتَيْ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ وَلَكِنْ
لَا بَأْسَ بِهَا فَإِنَّهَا مِنْ جُمْلَةِ الْمُصَافَحَةِ ، وَقَدْ حَثَّ
الشَّارِعُ عَلَيْهَا
“Tidak ada dasarnya bersalaman setelah
shalat subuh dan ‘ashar, tetapi itu tidak mengapa, karena itu termasuk
makna global dari bersalaman, dan Asy Syaari’ (pembuat syariat) telah
menganjurkan atas hal itu.” (Tuhfatul Muhtaj, 39/448-449. Syamilah)
Imam Al Muhib Ath Thabari Asy Syafi’i Rahimahullah
Beliau termasuk ulama yang menyunnahkan bersalaman setelah shalat, dalilnya adalah hadits shahih riwayat Imam Bukhari berikut:
Dari Abu Juhaifah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
خَرَجَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْهَاجِرَةِ إِلَى
الْبَطْحَاءِ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ صَلَّى الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ وَالْعَصْرَ
رَكْعَتَيْنِ وَبَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةٌ قَالَ شُعْبَةُ وَزَادَ فِيهِ
عَوْنٌ عَنْ أَبِيهِ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ
كَانَ يَمُرُّ مِنْ
وَرَائِهَا الْمَرْأَةُ وَقَامَ النَّاسُ فَجَعَلُوا يَأْخُذُونَ يَدَيْهِ
فَيَمْسَحُونَ بِهَا وُجُوهَهُمْ قَالَ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ فَوَضَعْتُهَا
عَلَى وَجْهِي فَإِذَا هِيَ أَبْرَدُ مِنْ الثَّلْجِ وَأَطْيَبُ رَائِحَةً
مِنْ الْمِسْكِ
` “Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam keluar pada saat siang yang panas menuju Al Bath-ha’,
beliau berwudhu kemudian shalat zhuhur dua rakaat, dan ‘ashar dua
rakaat, dan ditangannya terdapat sebuah tombak.” Syu’bah mengatakan, dan
‘Aun menambahkan di dalamnya, dari ayahnya, dari Abu Juhaifah, dia
berkata: “Dibelakangnya lewat seorang wanita, lalu manusia bangun,
mereka merebut tangan nabi, lalu mereka mengusap wajah mereka dengan
tangan beliau. Abu Juhaifah berkata: aku pegang tangannya lalu aku
letakan tangannya pada wajahku, aku rasakah tangannya lebih sejuk dari
salju, lebih wangi dari wangi kesturi.” (HR. Bukhari No. 3360, Ad
Darimi No. 1367, Ahmad No. 17476)
Al Muhib Ath Thabari Rahimahullah mengomentari hadits ini;
ويستأنس بذلك لما تطابق عليه الناس من المصافحة بعد الصلوات في الجماعات
لا سيما في العصر والمغرب إذا اقترن به قصد صالح من تبرك أو تودد أو نحوه
“Demikian itu disukai, hal ini lantaran manusia telah
berkerumun untuk bersalaman dengannya setelah melakukan shalat
berjamaah, apalagi ‘ashar dan maghrib, hal ini jika persentuhannya itu
memiliki tujuan baik, berupa mengharapkan berkah dan kasih sayang atau
semisalnya.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 37/362. Maktabah
Al Misykah)
Imam Syihabuddin Ar Ramli Asy Syafi’i Rahimahullah
Dalam kitab Fatawa-nya tertulis:
(
سُئِلَ ) عَمَّا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ
الصَّلَاةِ هَلْ هُوَ سُنَّةٌ أَوْ لَا ؟ ( فَأَجَابَ ) بِأَنَّ مَا
يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ لَا أَصْلَ
لَهَا ، وَلَكِنْ لَا بَأْسَ بِهَا
(Ditanya) tentang apa yang dilakukan manusia berupa bersalaman setelah shalat, apakah itu sunah atau tidak?
(Beliau
menjawab): “Sesungguhnya apa yang dilakukan manusia berupa bersalaman
setelah shalat tidaklah ada dasarnya, tetapi itu tidak mengapa.”
(Fatawa Ar Ramli, 1/385. Syamilah)
Imam Abdurrahman Syaikhi Zaadah Al Hanafi Rahimahullah
Beliau berkata ketika membahas tentang shalat Id:
وَالْمُسْتَحَبُّ
الْخُرُوجُ مَاشِيًا إلَّا بِعُذْرٍ وَالرُّجُوعُ مِنْ طَرِيقٍ آخَرَ
عَلَى الْوَقَارِ مَعَ غَضِّ الْبَصَرِ عَمَّا لَا يَنْبَغِي
وَالتَّهْنِئَةِ بِتَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ ؛ لَا تُنْكَرُ
كَمَا فِي الْبَحْرِ وَكَذَا الْمُصَافَحَةُ بَلْ هِيَ سُنَّةٌ عَقِيبَ
الصَّلَاةِ كُلِّهَا وَعِنْدَ الْمُلَاقَاةِ كَمَا قَالَ بَعْضُ
الْفُضَلَاءِ
“Disunahkan keluar menuju lapangan dengan berjalan
kecuali bagi yang uzur dan pulang melalui jalan yang lain dengan
berwibawa dan menundukkan pandangan dari yang dilarang, dan menampakan
kegembiraan dengan ucapan: taqabballallahu minna wa minkum, hal ini
tidaklah diingkari sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al Bahr, demikian
juga bersalaman bahkan itu adalah sunah dilakukan seusai shalat
seluruhnya, dan ketika berjumpa sebagaimana perkataan sebagian
orang-orang utama.” (Majma’Al Anhar fi Syarh Multaqa Al Ab-har, A2/59.
Mawqi’ Al Islam)
Imam Al Hashfaki Al Hanafi Rahimahullah
Beliau mengatakan;
أي
كما تجوز المصافحة لانها سنة قديمة متواترة لقوله عليه الصلاة والسلام: من
صافح أخاه المسلم وحرك يده تناثرت ذنوبه وإطلاق المصنف تبعا للدرر والكنز
والوقاية والنقاية والمجمع والملتقى وغيرها يفيد جوازها مطلقا ولو بعد
العصر، وقولهم إنه بدعة: أي مباحة حسنة كما أفاده النووي في أذكاره
“Yaitu sebagaimana dibolehkannya bersalaman, karena itu
adalah sunah sejak dahulu dan mutawatir, berdasarkan sabda Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: Barangsiapa yang bersalaman dengan
saudaranya muslim dan menggerakan tangannya maka dosanya akan
berguguran. Penulis telah memutlakan kebolehannya sebagaimana pengarang
Al Kanzu, Al Wiqayah, An Niqayah, Al Majma’, Al Multaqa dan selainnya,
yang membolehkan bersalaman secara mutlak walau setelah ‘ashar, dan
perkataan mereka: bid’ah, artinya adalah boleh lagi baik sebagaimana
yang dijelaskan An Nawawi dalam Al Adzkarnya.” (Imam Al Hashfaki, Ad
Durul Mukhtar, 5/699. Mawqi’ Ya’sub)
Syaikh ‘Athiyah Shaqr (mantan Mufti Mesir)
Beliau
menjelaskan bahwa pada dasarnya bersalaman adalah sunah ketika seorang
muslim bertemu muslim lainnya, berdasarkan hadits-hadits nabi yang bisa
dijadikan hujjah. Namun bersalaman setelah shalat tidaklah dilakukan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat. Lalu
beliau memaparkan perbedaan ulama tentang masalah ini, antara yang
membid’ahkan, menyunnahkan, dan membolehkan; seperti pendapat Imam Ibnu
Taimiah, Imam Al ‘Izz bin Abdissalam, Imam An Nawawi, dan Imam Ibnu
Hajar. Lalu beliau menyimpulkan:
والوجه المختار أنها غير محرمة ،
وقد تدخل تحت ندب المصافحة عند اللقاء الذى يكفر الله به السيئات ، وأرجو
ألا يحتد النزاع فى مثل هذه الأمور ….
“Pendapat yang dipilih adalah
bahwa hal itu tidaklah haram, dan hal itu telah termasuk dalam anjuran
bersalaman ketika bertemu yang dengannya Allah Ta’ala akan menghapuskan
kesalahannya, dan saya berharap perkara seperti ini jangan terus menerus
diributkan. … (Fatawa Dar Al Ifta’ Al Mishriyah, 8/477. Syamilah)
Dan masih banyak ulama lainnya.
Para Ulama Yang Menolak
Mereka juga merupakan imam agama yang menjadi kecintaan dan rujukan umat ini. Di antaranya:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Al Hambali Rahimahullah (w. 728H)
Berikut ini dari kitab Majmu’ Fatawa-nya:
وسئل : عن المصافحة عقيب الصلاة : هل هي سنة أم لا ؟
فأجاب :
الحمد للَّه، المصافحة عقيب الصلاة ليست مسنونة، بل هي بدعة . والله أعلم .
Beliau ditanya tentang bersalaman sesudah shalat, apakah dia sunah atau bukan?
Beliau
menjawab: “Alhamdulillah, bersalaman sesudah shalat tidak disunahkan,
bahkan itu adalah bid’ah.” Wallahu A’lam (Majmu’ Fatawa, 23/339)
Imam
Ibnu Taimiyah termasuk ulama yang menolak pembagian bid’ah menjadi
bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, apalagi pembagian bid’ah menjadi
lima; bid’ah yang wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Baginya semua
bid’ah adalah dhalalah (sesat). Maka, maksud bid’ahnya salaman
berjamaah dalam fatwanya di atas adalah bid’ah yang sesat.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Al Hambali Rahimahullah (w. 1420H)
Beliau
ditanya tentang sebagian manusia yang setelah shalat menjulurkan tangan
untuk bersalaman ke kanan dan ke kirinya, beliau menjawab:
المصافحة بعد سلام الإمام ليس لها أصل بل إذا سلم يقول…
“Bersalaman
setelah salamnya imam tidaklah memiliki dasar, justru jika usai salam
hendaknya mengucapkan ..(lalu beliau memaparkan cukup panjang berbagai
dzikir setelah shalat yang dianjurkan syara’ ).
Lalu beliau melanjutkan:
وأما رفع اليدين بعد السلام فليس له أصل لا الإمام ولا المأموم ، لا يرفع يده بالدعاء ولا يصافح إذا سلم ، لكن يأتي بالذكر الشرعي….
“
Ada pun mengangkat kedua tangan setelah salam tidaklah memiliki
dasar, baik bagi imam dan makmum, tidak mengangkat tangan ketika doa,
dan tidak bersalaman (berjabat tangan) setelah salam, tetapi hendaknya
dia berdzikir dengan dzikir sesuai syara’…..” (Majmu’ Fatawa wal
Maqalat, 29/309-310. Ar Riasah Al ‘Aamah Lil Buhuts Al ‘ilmiyah wal
ifta’)
Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim Al ‘Ashimi An Najdi Al Hambali Rahimahullah (w. 1392H)
Beliau berkata:
والمصافحة
بعد السلام من الصلاة لا أصل لها، لا بنص ولا عمل من الشارع وأصحابه، ولو
كانت مشروعة لتوفرت الهمم على نقلها، ولكان السابقون أحق بذلك، وقال الشيخ:
بدعة باتفاق المسلمين أما إذا كانت أحيانا لكونه لقيه عقب الصلاة، لا لأجل
الصلاة فحسن، لكن عند اللقاء فيها آثار حسنة.
“Berjabat tangan setelah salam shalat tidaklah memiliki dasar, tidak
dalam nash, tidak pada perbuatan syaari’ (Rasulullah) dan sahabatnya,
dan seandainya itu disyariatkan niscaya hal itu akan dijaga dan begitu
berhasrat untuk mengambilnya, tetapi orang-orang terdahulu lebih layak
untuk melakukannya. Syaikh berkata: bid’ah menurut kesepakatan kaum
muslimin, ada pun jika dilakukan kadang-kadang saja. Karena memang
berjumpa setelah shalat, bukan karena shalatnya itu sendiri maka itu
bagus, bersalaman ketika berjumpa maka itu memilki dampak yang baik.”
(Hasyiah Ar Raudh Al Maraba’, Juz. 2. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Para Ulama di Lajnah Daimah Kerajaan Saudi Arabia
Berikut kami kutip dari Fatawa Islamiyah:
ما حكم الشرع في المصافحة عقب الصلاة ، هل هي بدعة أم سنة ، وبيان أدلة الحكم ؟
ج
المصافحة عقب الصلاة بصفة دائمة لا نعلم لها أصلاً ، بل هي بدعة وقد ثبت
عن رسول صلى الله عليه وسلم أنه قال " من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد "
. وفي رواية " من أحدث في أمرنا هذا ما ليس فيه فهو رد " .
اللجنة الدائمة
“Apakah hukum syara’ tentang bersalaman seusai shalat, apakah itu bid’ah atau sunah, dan jelaskan dalil hukumnya?”
Jawab:
“Bersalaman setelah shalat dengan keadaan yang dilakukan
terus menerus kami tidak ketahui dasar dari perbuatan itu, bahkan itu
adalah bid’ah. Telah shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bahwa dia bersabda: Barang siapa yang beramal yang tidak kami
perintahkan maka itu tertolak.” Dalam riwayat lain: Barang siapa yang
mengada-ada dalam urusan agama kami ini yang bukan berasal darinya maka
itu tertolak.” Lajnah Daimah (Fatawa Islamiyah, 1/ 268. Dikumpulkan dan
disusun oleh; Muhammad bin Abdul Aziz Al Musnid )
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah (w. 1421H)
Dalam fatwanya beliau berkata:
المصافحة
بين الرجل وأخيه سنة عند الملاقاة فقط وأما بعد السلام من الصلاة المفروضة
فإنها ليست بسنة إذ لم ينقل عن الصحابة رضي الله عنهم أنهم كانوا إذا
سلموا من الفريضة صافح بعضهم بعض وأما بعد السلام من النافلة فهي سنة إذا
كان ذلك من الملاقاة مثل أن يأتي رجل فيقف في الصف فيصلى تحية المسجد فإذا
سلم من الصلاة صافح من على يمنه ويساره فإن هذا يدخل في المصافحة عند
الملاقاة ولا يعد هذا بدعة
“Bersalaman antara seorang
laki-laki dengan saudaranya adalah sunah ketika bertemu saja, ada pun
setelah salam dari shalat wajib, maka itu bukan sunah. Karena tidak ada
riwayat dari sahabat –radhiallahu ‘anhum- bahwa mereka jika setelah
salam dari shalat shalat wajib bersalaman satu sama lain. Ada pun
setelah shalat sunah maka itu sunah jika hal itu terjadi karena
pertemuan. Misal seseorang datang dan dia berdisi di shaf lalu shalat
tahiyatul masjid, setelah salam dari shalat dia bersalaman dengan orang
di samping kanan dan kirinya, maka ini termasuk dalam kategori
bersalaman ketika bertemu dan janganlah mengira ini bid’ah.” (Fatawa
Nur ‘Alad Darb Lil Utsaimin, pertanyaan No. 780. Syamilah)
Imam Ibnu ‘Abidin Al Hanafi Rahimahullah
Beliau
salah seorang tokoh Hanafiyah muta’akhirin. Pada bagian ini kita
melihat bahwa yang menolak bersalaman setelah shalat biasanya adalah
dari kalangan Hambaliyah. Tetapi, beliau mengisyaratkan –paling tidak
dirinya sendiri- bahwa dari kalangan Hanafiyah ada yang tidak
menyukainya.
Beliau mengatakan:
لَكِنْ قَدْ يُقَالُ إنَّ
الْمُوَاظَبَةَ عَلَيْهَا بَعْدَ الصَّلَوَاتِ خَاصَّةً قَدْ يُؤَدِّي
الْجَهَلَةِ إلَى اعْتِقَادِ سُنِّيَّتِهَا فِي خُصُوصِ هَذِهِ
الْمَوَاضِعِ وَأَنَّ لَهَا خُصُوصِيَّةً زَائِدَةً عَلَى غَيْرِهَا مَعَ
أَنَّ ظَاهِرَ كَلَامِهِمْ أَنَّهُ لَمْ يَفْعَلْهَا أَحَدٌ مِنْ السَّلَفِ
فِي هَذِهِ الْمَوَاضِعِ
“Tetapi telah dikatakan, bahwa menekuni
hal itu (bersalaman) setelah shalat secara khusus telah membawa orang
bodoh meyakininya sebagai perbuatan yang disunahkan secara khusus pada
waktu-waktu tersebut. Dan, sesungguhnya pengkhususan itu merupakan
penambahan atas selainnya yang saat bersamaan zahir ucapan mereka
sendiri menunjukkan bahwa perbuatan ini tidak dilakukan seorang pun dari
kalangan salaf yang mengkhususkan dilakukan pada waktu-waktu tersebut.”
(Raddul Muhtar, 26/437. Mawqi’ Al Islam)
Imam Ibnu Al Hajj Al Maliki Rahimahullah
Beliau mengatakan:
هذه
المصافحة من البدع التي ينبغي أن تمنع في المساجد ، لأن موضع المصافحة في
الشرع إنما هو عند لقاء المسلم لأخيه لا في أدبار الصلوات الخمس ، فحيث
وضعها الشرع توضع ، فينهى عن ذلك ويزجر فاعله ، لما أتى من خلاف السنة
“Bersalaman ini termasuk bid’ah-bid’ah yang mesti
dilarang terjadi di masjid, karena tempat bersalaman menurut syariat
adalah hanyalah pada saat bertemunya seorang muslim dengan saudaranya,
bukan pada saat selesai shalat lima waktu, maka manakala syariat telah
meletakkannya maka hendaknya diletakkan semestinya, dan yang demikian
itu mesti dicegah dan pelakunya mesti ditegur secara keras, karena dia
telah mendatangkan sesuatu yang bertentangan dengan sunah.” (Al
Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 37/363. Maktabah Al Misykah)
Dan masih banyak ulama lainnya.
Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam
Sabtu, 09 April 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar