Makam Mbah Nuh di dekat Jalan Raya / Tugu kertomulyo |
Mbah Nuh
begitulah panggilan akrabnya dari generasi ke generasi, bahkan suatu ketika
dulu karena keakrabannya nama itu, Kertomulyo biasa desebut dengan Nggeneng
Mbah Nuh, demikian menurut saksi-saksi sejarah yang telah kami jumpai, Mbah Nuh
adalah tokoh yang santun, tawadhu’ dan disiplin. Beliau telah menghiasi seluruh
pemikirannya dengan idiologi uluhiyyah dan membangun akhlaq atau tingkah
lakunya dengan amalan robbaniyah. Cita-citanya hanya satu, bisa dekat dan kenal
dengan Allah, karena ridhonya, tak mengherankan jika sepanjang hidupnya ia
adalah sosok yang tenang dan tabah menghadapi pahit getirnya hidup, syukur dan
bahagia menerima apa yang ada, sabar dalam setiap kekurangan, ia adalah figur
yang senantiasa meyakini bahwa : akheratlah rumah kebahagiaannya yang abadi,
sepanjang hidupnya penuh dengan jalan perjuangan untuk dirinya, keluarganya,
serta ummat secara umum, maka tidak ada satu sejarah pun yang mengatakan bahwa
ia adalah orang yang roukhah ( merasa cukup dengan kelapangan materi, dan
bersahaja dalam amal ibadah ), dan ketika pemikirannya, ucapannya visi dan cara
hidupnya, berbuah menjadi mutiara ibadah dan namanya harum dikenal masyarakat,
ia tetap pada kepribadiannya yang tenang dan tawadlu’.
Mbah Nuh
dilahirkan pada tahun 1868 M, dipenghujung abad 18 itu merupakan kado sejarah
yang besar bagi masyarakat Nggeneng Kertomulyo dan sekitarnya, betapa tidak...?
Jika pada tahun itu hadir sosok generasi yang tsiqoh dan berakhlak mulia yang
darinya ada ketauladanan hidup didalam menjalin hubungan ilahiyah, ia adalah
generasi masa lalu yang menempuh arah hidupnya diatas falsafahnya ترك
الدنيالاجل الاخرة (meninggalkan kemewahan dunia, karena
kehidupan akhirat) karenanya sepanjang hidupnya Mbah Nuh sangat identik dengan
kemiskinan dan kekurangan, namun kemiskinan dan kekurangan justru menjadi
wasilah antara ia dengan Allah, maka tidak berlebihan jika akhlaknya patut dicontohi,
dan tidak berlebihan jika kelahirannya lebih besar dari sejarah itu sendiri,
mungkin harus seperti itulah kondisi hamba-hamba Allah yang solih, yang ikhlas
mengabdi kepadaNya.
Sosok Mbah
Nuh adalah contoh terdekat bagi kita sebagai i’tibar bahwa kesungguhan
bermuqorobah kepada Allah dengan segala konsekuensinya adalah jalan yang pahit
dan penuh pengorbanan. Suluk ... begitu kata yang sering dipakai banyak orang
untuk memberikan takhassus ketika hendak menempuh maqom muroqobah kepada Allah,
dalam suluknya Mbah Nuh benar-benar melupakan rasa lapar dan gemerlapnya
duniawi dan juga rela memegang pahitnya kejujuran, menahan kepayahan fisik,
karena harus menempatkan sebagian besar waktunya dalam zikir dan tafakur kepada
Allah, mengedepankan prinsip-prinsip uluhiyyah ketimbang prinsip-prinsip
insaniyyah yang lebih banyak membelokkan pemikiran kearah ghurur, dalam kata
lain Mbah Nuh adalah sosok yang hidup dalam keterasingan, karena bukan materi
yang menjadi tujuan. Kini setelah 60 tahun terbaring dipusarannya, Allah tetap
memberikan penghormatan kepadanya meski 56 tahun nama besarnya nyaris hilang
karena kesuraman akhlaq zduriyyahnya dan karena sejarahnya yang kadag tidak
dikehendaki sebagian orang akan keberadaannya, kalau boleh berkata maka
nyatalah i’tibar itu kini, bahwa nilai kebaikan itu tidak akan pernah hilang
karena kesenjangan waktu, dan penghormatan Allah tidak akan terhalang oleh tipu
daya manusia, karena sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik pembuat tipudaya والله خير
الما كرين
SEORANG PENDIDIK
Jika pola
dan metode tidak membedakan i’tirof (pengakuan) didalam mengajarkan suatu
pengetahuan didalan kurun dan abad yang berbeda dan hanya memandang kesamaan
dasar-dasarnya saja maka Mbah Nuh adalah seorang معلم dan مؤدب ia adalah seorang pendidik
masa lalu, tentunya dengan definisi yang sederhana karena cara hidup yang masih
jauh berbeda antara abad 18 dengan akhir abad 19 dan awal abad 20. abad 18
adalah kehidupan jaman Belanda, dimana pendidikan formal adalah sesuatu yang
sangat mahal, namun dengan metode dan caranya Mbah Nuh, senantiasa memberikan
tuntunan (pengajaran) hidup kepada umat didalam memahami pengetahuan
rububiyyah, dan bukan hanya dengan teori qoulinya saja, Mbah Nuh juga mengajar
dan memberikan didikan jauh bernilai dengan menghayati dan memberikan contoh
dari setiap apa yang diajarkan. Suatu ketika KH. Abd Hadi berkata : saya mudah
sekali mencari kyai dimanapun, tetapi saya sangat langka menjumpai sosok
seperti Mbah Nuh. Jika setiap orang bisa memahami dari apa yang disampaikan
oleh beliau, maka natijahnya adalah adanya perbedaan tujuan dan niat serta
keyakinan dari masing-masing figur dan pribadi di dalam amal ibadah, sehingga
apa yang dilakukan Mbah Nuh didalam beribadah yang didasari dengan rasa
ketulusan, membedakannya dengan sosok yang lain, itu mungkin yang dimaksud
dengan kelangkaan ala KH. Abd Hadi Kurdi.
Pertanyaan
akan tetap ada, antara Mbah Nuh benar-benar seorang pendidik atau hanya sekedar
contoh dari laku yang baik, jawabnya hanya apabila hati bisa : tawadlu’ dan
tidak oportunis dalam menerima realita sejarah dan setiap momen hidup Mbah Nuh,
maka akan jelas bahwa beliau adalah seorang tokoh pendidik masa lalu yang
berjalan sesuai dengan jaman dan buaya hidup masyarakat waktu itu untuk saat
ini mungkin kebanyakan orang akan lebih kenal sejarah Mbah Nuh ketika mengobati
seseorang ketimbang sisi hidupnya yang lain, sehingga kadang-kadang ketika
membuat kesimpulan kesannya hanya Mbah Nuh adalah seorang dukun, tetapi
memungkinkan orang-orang besar seperti Mbah Salam (ayah Mbah Abdullah Salam)
Kajen Margoyoso, Mbah Mahfudz (ayah KH Sahal Mahfudz), Mbah Wi (adik dari Mbah
Salam). Kyai Aly Akhmadi (Ngagel) dan Kyai Jamaludin (Batangan) yang sering
sowan bersilaturahim dirumah Mbah Nuh juga datang sebagai kapasitasnya orang
yang merdukun ? hanya Allah Yang Maha Tahu. Kami sangat menyadari mengungkap
fakta sejarah Mbah Nuh berarti bertembung dengan emosional diffance atau emosi
yang tertahan, tetapi sekali lagi sejarah adalah sejarah yang akan muncul
kepermukaan dengan dua sisi nilai, baik atau buruk dari pelaku sejarah itu
sendiri, dan inilah kisah hidup yang memang pernah dilalui dan dijalani oleh
Mbah Nuh sebagai bingkai sejarah masa lalu untuk masa kini, yang sudah muncul
kepermukaan karena ungkapan para saksi, kalau KH. Abd Hadi Kurdi pernah berkata
bahwa munculnya peringatan Khaul Mbah Nuh mengapa harus diera pemilu yang
menjadi lambang perebutan kekuasaan dan mengapa harus muncul diera orang sedang
dilanda penyakit حب الدنيا (suka mementingkan dunia) sedangkan itu
jelas dan sangat bertentangan dengan cara hidup Mbah Nuh, mungkin jawabnya
adalah itu pesan moral bahwa Mbah Nuh hidup kembali dalam ruh ta’lim dan
ta’dibnya agar masyarakat tidak lepas kontrol dalam ambisi harta dan jabatan.
SOSOK YANG JUJUR DAN WARO’ (senantiasa menjaga diri dari barang syubhat)
Mengenang
dan menghidupkan kembali ketauladanan Mbah Nuh berarti bertarung dalam sifat
jujur dan waro’nya yang melegenda sehingga ketika pertama kali Mbah Joyo Pardi
menerangkan sifat kepribadian Mbah Nuh, menegaskan bahwa Mbah Nuh adalah simbol
kejujuran, boleh jadi kejujuran itu tidak hanya menjaga kebenaran ketika
berbicara, akan tetapi juga bersifat benar dan berlaku apa adanya apabila
menerima amanat dari orang lain, dalam hal ini nama Mbah Nuh sangat identik
dengan kejujuran itu sendiri, baik ketika berbicara dan jujur dalam menjalankan
amanah yang diterima. Diantara kisah-kisah kejujuran dan sifat waro’ Mbah Nuh
adalah : suatu ketika bapak petinggi (kepala desa) Kalikalong Kec. Tayu,
ngaturi rawuh Mbah Nuh untuk menikahkan putranya ...ketika majlis berakhir dan
saatnya Mbah Nuh pamitan pulang ... Bapak kepala desa memberikan sejumlah uang
dengan pesan untuk ongkos kendaraan, selanjutnya sesuai dengan amanah ...
sejumlah uang tersebut diberikan kepada kusir (kusir dokar) tanpa sisisakan
sedikitpun (diberikan semua).
Selang beberapa hari Bp. Kepala Desa Kalikalong datang ke rumah Mbah Nuh
bersilaturrahmi, dengan membawa beberapa karung berisi jagung pipilan, untuk
diberikan Mbah Nuh, sayang pesan yang disampaikannya agak basa basi : Mbah
puniko jagung kangge pakan peksi doro (Mbah Nuh dulu mempunyai piaraan burung
merpati yang sangat banyak dan beberapa ekor kambing yang diambil susunya untuk
minum yang dicampur dengan santan, gula dan beberapa potong ketela pohon
sebagai makanan, konon itulah makanan pokok Mbah Nuh. Kemudian Mbah Nuh
menjawab ... kono sok emper (taruh dihalaman) Bapak Kepala Desa kemudian
menaruh jagungnya diemperan rumah sesuai perintah Mbah Nuh, kemudian sesuai
amanat yang diberikan bapak lurah kepadanya Mbah Nuh pun segera memberikan
jagung itu kepada burung merpati (doro) tanpa disisakan sedikitpun. Berkata
kepada saya bapak Kusnan Almarhum (Sambilawang) dulu bapak suka sekali bila
kebetulan mengantar Mbah Nuh kesebuah undangan, istimewanya bila Mbah Nuh
mendapat sangu dari pengundang dan dipesan sangu tersebut untuk ongkos pulang
maka oleh Mbah Nuh uang tersebut diberikan semuanya tanpa disisakan sedikitpun,
tapi bapak sudah terbiasa dengan tabi’at Mbah Nuh yang seperti itu jadi begitu
sampai dirumah sisanya diberikan kepada keluarga dan bapak hanya mengambil
sepantasnya saja.
Ada lagi sifat Waro’ Mbah Nuh yang sangat terpuji, berkata kepada saya bapak
Kasiru (Rejoagung) dulu di Rejoagung ada orang yang cukup kaya dan terpandang namanya
Mbah Masijah, suatu hari beliau ingin ikrom pada Mbah Nuh kemudian beliau
menumbuk padi ketan untuk diberikan kepada Mbah Nuh, pada waktu itu untuk
mendapatkan beras yang bagus dan putih padi itu harus ditumbuk dengan mengulang
hingga empat kali, namun karena ikromnya Mbah Masijah menumbuk padi tersebut
dengan tangannya sendiri. Beras sudah siap diantar, Mbah Masijah segera
memanggil pembantunya yang bernama Mbah sarwi untuk segera mengantar beras
tersebut ke Kertomulyo, sebelum berangkat Mbah Masijah memberikan pesan dan
wanti-wanti pada Mbah Sarwi agar jangan sampai salah matur ketika menyerahkan
beras itu pada Mbah Nuh, tapi taqdir Allah lain dengan yang diharapkan Mbah
Masijah, sesampainya di Kertomulyo dan berhadapan dengan Mbah Nuh entah karena
apa Mbah Sarwi salah matur, katanya ... ! Mbah Meniko wos ketan saking Mbah
Masijah kangge pakan peksi, Mbah Nuh menyahut hiyo sok emper kono ... anehnya
Mbah Sarwi bungkam tidak membantah atau paling tidak memberikan keterangan yang
dia salah matur, diceritakan lagi oleh bapak Siru, ketika Mbah Sarwi pamitan
pulang dan melangkah untuk beberapa lama, kemudian Mbah Sarwi tak kuasa menahan
tangis mengingat kesilapannya, kondisi seperti itu terus berlangsung hingga ia
sampai kerumah Mbah Masijah, begitu melihat kedatangan pembantunya Mbah Masijah
memang sudah berharap-harap cemas, Sarwi kamu tidak salah matur kan ... ?
mendengar pertanyaan itu Mbah Sarwi tidak menjawab dan hanya menangis, melihat
pembantunya Mbah Masijah sudah tahu bahwa pembantunya sudah salah matur, maka
ketika itu pula Mbah Masijah ikut menangis, ingat jerih payahnya tidak jadi
didahar oleh Mbah Nuh dan ikromnya seakan tak kesampaian.
Suatu hari datang seorang perempuan dari desa Jetak Kec. Wedarijaksa,
dengan maksud akan mencarikan obat untuk anaknya yang sedang sakit, wanita itu
membawa gula sebagai oleh-oleh (dihaturkan) pada Mbah Nuh, begitu diserahkan
Mbah Nuh berkata ” gowo balik wae gulamu, yen arep rene nggowo oleh-oleh,
ora usah utang-utang, wis mulyo insya Allah anakmu mari ”. Setelah
perempuan tadi sampai di rumah ternyata anaknya sudah sembuh atas izin Allah,
begitulah kepekaan jiwa Mbah Nuh. Tidak bisa menerima sesuatu yang dihasilkan
dari menghutang dan memberatkan orang lain. Mbah Nuh adalah tipe orang yag
sangat memperhatikan nilai-nilai halal dan haram.
KAROMAH
Sebagian dari beberapa karomahnya adalah : suatu hari Mbah Rajik datang kerumah
Mbah Nuh, begitu sampai di rumah Mbah Nuh, terpikir olehnya bahwa nanti harus
pulang berjalan kaki, karena dikantongnya hanya mempunyai uang 2 (dua) sen,
Mbah Rajik duduk dan mendapat suguhan kopi, ketika Mbah Rajik mengangkat
cangkir hendak meminum kopinya, dengan izin Allah di bawah lapak / cawik
terdapat uang sebanyak 3 sen, ketika bercerita Mbah Rajik tersenyum dan tertawa
teringat kepuasan hatinya ketika itu.
Suatu ketika
Mbah Nuh sedang duduk-duduk dengan Mbah Kopsah (istri Mbah Nuh) ada seorang
perempuan lewat bernama Hj. Ngaisah (orang kaya) memakai perhiasan emas yang
lengkap, sehingga terucap oleh Mbah Kopsah sepatah dua patah kata keinginan
hatinya kepada Mbah Nuh. Mbah Nuh mendengar dan memahami hasrat seorang wanita.
Kemudian Mbah Nuh bertanya ” bener kowe kepingin ...? enggih jawab istrinya,
lalu Mbah Nuh berkata ” la iku nek ngisor kloso ono emas... jupuken lan nggonen
yen kowe kuat nganggo yen ora kuat yo ojo ” (dibawah tikar ada emas, boleh
dipakai kalau kamu mampu memakainya, kalau tidak mampu ya jangan diambil), maka
Mbah Kopsah segera membuka tikar yang dimaksudkan Mbah Nuh, begitu tikar dibuka
Mbah Kopsah sangat terkejut, karena tampak emas yang sangat banyak berserakan
di bawah tikar. Entah karena takut atau karena apa, Mbah Kopsah berubah pikiran
dan mendadak semua keinginannya menjadi hilang terhadap emas-emas itu, setelah
menyampaikan kepada suaminya keadaan itu, Mbah Nuh memerintahkan menutup
kembali tikarnya. Diantara karomahnya lagi : diceritakan oleh Hj. Asfiyah
(Guyangan), pada suatu malam ketika ia sedang berziarah di makam Mbah Nuh
bersama-sama dengan 6 orang peziarah lainnya, ketika sudah tengah malam,
tiba-tiba turun hujan dengan cukup lebat, pada saat itu terjadi
keanehan-keanehan. Ketika air hujan membasahi sekitar makam, atas kehendak
Allah air hujan tidak turun di makam Mbah Nuh (waktu itu makam belum diberi
atap).
Artikel yang sangat mengesankan....goodjobs
BalasHapusBukan dari artikelnya, tapi dari tokohnya yang memiliki kisah hidup seorang sufi
Hapus