Peringatan Maulid Nabi
pada dasarnya adalah ungkapan rasa senang dan gembira dengan Nabi Kita Muhammad
SAW, sebab rasa senang dan gembira itu sendiri merupakan perintah Allah:
﴿قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ
فَبِذٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ﴾ (يونس: 58)
“Katakanlah: “Dengan
kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia
Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
(QS. Yunus: 58)
Dalam ayat ini, Allah
memerintahkan kepada kita agar bergembira dengan karunia dan rahmat-Nya,
sedangkan Nabi Muhammad adalah rahmat terbesar yang diberikan oleh Allah:
﴿وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ
رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ﴾ (الأنبياء: ١٠٧)
“Dan tiadalah Kami
mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS.
Al-Anbiya’: 107)
Rasa senang dan gembira
ini sebagaimana yang telah Nabi contohkan sendiri dengan cara berpuasa pada
hari kelahiran beliau. Dalam sebuah hadits diriwayatkan:
عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ اْلأَنْصَارِيِ
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ اْلإِثْنَيْنِ فَقَالَ: فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ
أُنْزِلَ عَلَيَّ» (رواه مسلم: 1978)
Diriwayatkan dari Abû
Qatâdah al-Anshâri: “Bahwa Rasulullah pernah ditanya tentang puasa Senin. Maka
beliau menjawab, Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan
kepadaku.” (HR. Muslim: 1978)
Walaupun dengan tata
cara yang bebeda, tetapi apa yang dilakukan Rasul dan perayaan maulid yang
dilaksanakan oleh umat islam saat ini mempunyai esensi yang sama. Yakni sebagai
suatu nikmat yang amat besar.
Dalam peringatan Maulid
Nabi terdapat dorongan kuat untuk membaca shalawat dan salam kepada beliau
sebagaimana firman Allah :
﴿إِنَّ اللهَ وَمَلاٰۤئِكَتَهُ
يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَاۤ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ
وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا﴾ (الأحزاب: ٥٦)
“Sesungguhnya Allah dan
malaikat-malaikatNya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman,
bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
(QS. al-Ahzab: 56)
Segala sesuatu yang
menjadi dorongan untuk melakukan perbuatan yang dianjurkan oleh syara’, berarti
dianjurkan pula dalam syara’. Dan segala sesuatu yang menjadi dorongan
melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh syara’, berarti diperintahkan pula
dalam syara’. Hal ini sesuai dengan kaidah ushuliyah:
مَا لاَ يَتِمُّ الْواَجِبُ
إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ (الأشباه والنظائر، ج: 2، ص: 90)
“Sesuatu yang tidak
dapat sempurna sesuatu yang wajib kecuali dengannya, maka sesuatu tersebut juga
berhukum wajib.”
Sekitar lima abad yang
lalu Imam Jalâluddin al-Suyûthi (849-901 H/1445-1505 M) pernah menjawab polemik
tentang perayaan Maulid Nabi ini. Di dalam al-Hâwi li al-Fatâwi beliau
menjelaskan:
فَقَدْ وَقَعَ السُّؤَالُ
عَنْ عَمَلِ الْمَوْلُوْدِ النَّبَوِيِّ فِيْ شَهْرِ رَبِيْعِ اْلأَوَّلِ، مَا حُكْمُهُ
مِنْ حَيْثُ الشَّرْعِ، وَهَلْ مَحْمُوْدٌ أَوْ مَذْمُوْمٌ، وَهَلْ يُثَابُ فَاعِلُهُ
اَوْ لاَ؟ قَالَ: اَلْجَوَابُ عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوْلُدِ الَّذِيْ هُوَ
اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاۤءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآٰنِ وَرِوَايَةُ اْلأَخْبَارِ
الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ
وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ اْلآٰيَاتِ ثُمَّ يَمُدُّ لَهَمُ سَمَاطً
يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلٰى ذٰلِكَ هُوَ مِنَ الْبَدْعِ
الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ
النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَاْلإِسْتِبْشَارِ
بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ (الحاوي للفتاوي، ج: 1، ص: 251-252)
“Ada sebuah pertanyaan
tentang perayaan Maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awal, bagaimana hukumnya
menurut syara’. Apakah terpuji ataukah tercela? Dan apakah orang yang melakukan
diberi pahala ataukah tidak? Beliau menjawab: “Jawabannya menurut saya bahwa
semula perayaan Maulid Nabi yaitu manusia berkumpul, membaca Al-Qur’an dan
kisah-kisah teladan Nabi sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupan-nya.
Kemudian menghidangkan makanan yang dinik-mati bersama, setelah itu mereka
pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bid’ah
hasanah. Orang yang melakukan diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi,
menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammadyang mulia.”
Bahkan hal ini juga
diakui oleh Ibnu Taimiyah, sebagaimana dikutip oleh Sayyid Muhammad bin Alwi
al-Maliki
قَالَ ابْنُ تَيْمِيَّةَ:
قَدْ يُثَابُ بَعْضُ النَّاسِ عَلٰى فِعْلِ الْمَوْلُوْدِ، وَكَذٰلِكَ مَا يُحْدِثُهُ
بَعْضُ النَّاسِ إِمَّا مَضَاهَاةٌ لِلنَّصَارٰى فِيْ مِيْلاَدِ عِيْسٰى وَإِمَّا مَحَبَّةٌ لِلنَّبِيِّ وَتَعْظِيْمًا لَهُ،
وَاللهُ قَدْ يُثِيْبُهُمُ عَلٰى هٰذِهِ الْمَحَبَّةِ وَاْلإِجْتِهَادِ، لاَ عَلَى
الْبَدْعِ (منهج السلف في فهم النصوص بين النظرية والتطبيق، ص: 399)
Ibnu Taimiyah berkata:
“Orang-orang yang melaksanakan perayaan Maulid Nabi akan diberi pahala.
Demikian pula yang dilakukan oleh sebagian orang, adakalanya bertujuan meniru
kalangan Nasrani yang memperingati kelahiran Isa, dan adakalanya juga dilakukan
sebagai ekspresi rasa cinta dan penghormatan kepada Nabi. Allah akan memberi
pahala kepada mereka atas kecintaan mereka kepada Nabi mereka, bukan dosa atas
bid’ah yang mereka lakukan.” Peringatan Mauid Nabi ini, mengandung banyak
fadlîlah (keutamaan) di antaranya adalah sebagaimana yang dikutip oleh al-Imam
Syihâbuddin Ahmad bin Hajar al-Haitami asy-Syafi’i (899-974 H/1494-1566 M)
dalam kitabnya al-Ni’matu al-Kubrâ ‘alâ al-‘Alam fî Maulidi Sayyidi Waladi Adam
berikut ini:
قَالَ أَبُوْ بَكْرِ نِالصِّدِّيْقَ
:«نْ اَنْفَقَ دِرْهَمًا عَلٰى قِرَاۤءَةِ مَوْلِدِ النَّبِيِّ كَانَ رَفِقِيْ فِي الْجَنَّةِ»
Sayyidina Abû Bakar
ash-Shiddiq berkata: “Barangsiapa yang menginfaqkan satu dirham atas dibacanya
Maulid Nabi, maka ia adalah temanku di surga.”
قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ
: مَنْ عَظَّمَ مَوْلِدَ النَّبِيِّ قَدْ أَحْيَا اْلإِسْلاَمَ»
Sayyidina ‘Umar bin
Khaththâb berkata: “Barangsiapa yang
mengagungkan Maulid Nabi, sungguh ia telah menghidupkan agama islam.”
قَالَ عُثْمَانُ ابْنُ عَفَّانَ
مَنْ اَنْفَقَ دِرْهَمًا عَلٰى قِرَاۤءَةِ مَوْلِدِ النَّبِيِّ فَكَأَنَّمَا شَهِدَ غَزْوَةَ بَدْرٍ وَ حُنَيْنٍ»
Sayyidina Abû Bakar
ash-Shiddiq berkata: “Barangsiapa yang menginfaqkan satu dirham atas dibacanya
Maulid Nabi, maka seakan-akan ia rela mengorbankan jiwanya untuk membela agama
pada perang Badar dan perang Hunanin”
قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِيْ
طَالِبٍ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ: «مَنْ عَظَّمَ مَوْلِدَ النَّبِيِّ وَكَانَ سَبَابًا لِقِرَاۤءَتِهِ لاَ يَخْرُجُ مِنَ
الدُّنْيَا إِلاَّ بِاْلإِيْمَانِ وَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ»
Sayyidina ‘Ali bin Abî
Thâlib KW berkata: “Barangsiapa yang mengagungkan Maulid Nabi dan ia menjadi
sebab dibacanya Maulid Nabi, maka ia tidak akan meninggal kecuali dengan iman
dan masuk surga tanpa hisab.”
قَالَ حَسَنٌ الْبَصْرِيُّ
وَدِدْتُ لَوْ كَانَ لِيْ مِثْلُ جَبَلِ أُحُدٍ ذَهَبًا فَأَنْفَقَتُهُ عَلٰى قِرَاۤءَةِ
مَوْلِدِ النَّبِيِّ
Hasan al-Bashri
berkata: “Aku senang andaikan memiliki sebesar gunung Uhud berupa emas kemudian
aku infaqkan atas dibacanya Maulid Nabi:
قَالَ الْجُنَيْدُ الْبَغْدَادِيُّ
قَدَّسَ اللهُ سِرَّهُ: «مَنْ حَضَرَ مَوْلِدَ النَّبِيِّ وَعَظَّمَ قَدْرَهُ فَقَدْ فَازَ بِاْلإِيْمَانِ»
Junaid al-Baghdâdi
-mudah-mudahan Allah mensucikan ruhnya- berkata: “Barangsiapa menghadiri Maulid
Nabi dan mengagungkan derajatnya, sungguh ia beruntung dengan iman.”
قَالَ اْلإِمَامُ الشَّافِعِيُّ
رَحِمَهُ اللهُ: «مَنْ جَمَعَ لِمَوْلِدِ النَّبِيِّ إِخْوَانًا وَهَيَّأَ طَعَمًا وَأَخْلٰى مَكاَنًا
وَعَمِلَ إِحْسَانًا وَصَارَ سَبَبًا لِقِرَاۤءَتِهِ بَعَثَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
مَعَ الصِّدِّقِيْنَ وَالشُّهَدَاۤءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَيَكُوْنُ فِيْ جَنَّاتِ النَّعِيْمِ»
Imam Syafi’i berkata:
“Barangsiapa mengumpulkan kawan-kawannya untuk menghormati Maulid Nabi
menghidangkan makanan, mempersiapkan tempat, melakukan hal-hal yang baik, dan
menjadi penyelenggara untuk pembacaan Maulid Nabi SYMBOL 114 \f “AGA Arabesque”
\s 12.5 maka di hari kiamat ia akan dikumpulkan Allah bersama shiddiqîn,
syuhadâ’, shalihîn, dan akan berada di jannâtin na’îm (surga tempat
kenikmatan).”
Dihimpun oleh : H. Abd.
Kholiq Hasan, M.HI. (Katib Syuriah PCNU Jombang)
Dari kitab :
1. Shahîh Muslim karya
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Naisaburi (Imâm Muslim)
2. Al-Hâwi li al-Fatâwi
karya Al-Imam Jalaluddin Abdu al-Rahman bin Abû Bakar bin Muhammad bin Sâbiq
al-Khudhari al-Suyuthi (Imam Jalâluddin al-Suyûthi)
3. Manhaj al-Salafi fî
Fahmi al-Nushûsh baina al-Nadhariyyah wa al-Tathbîq karya Sayyid Prof. Dr.
Muhammad bin Sayyid ‘Alawi bin Sayyid ‘Abbas bin Sayyid ‘Abdu al-‘Aziz
al-Maliki al-Hasani al-Makki al-Asy’ari al-Syadzili (Sayyid Muhammad bin Alwi
al-Maliki)
4. Al-Ni’matu al-Kubrâ
‘alâ al-‘Alam fî Maulidi Sayyidi Waladi Adam karya Al-Imam Syihabuddin Abu
al-Abbas Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Hajar al-Haitami as-Sa’di
al-Anshari as-Syafi’iy (Imam Ibnu Hajar al-Haitami)
Sumber: Ngaji.web.id
Sumber :
http://www.muslimoderat.net/2015/12/hujjah-lengkap-peringatan-maulid-nabi.html#ixzz4RbSVuPxW
0 komentar:
Posting Komentar