Aksi 212 di Monas Jakarta |
Oleh Fathoni Ahmad
Tidak
ada yang mengetahui persis Presiden RI Joko Widodo akan hadir di tengah
ratusan ribu massa aksi damai 2 Desember di Monas dan sekitarnya.
Meskipun pada akhirnya, Jokowi sendiri yang memutuskan sangat perlu
hadir dan shalat Jumat bersama mereka di detik-detik terkahir menjelang
kumandang adzan.
Di antara alasan Jokowi yaitu
akankah menembus hujan deras untuk bergabung dengan mereka. Meskipun
pertanyaan ini begitu menggelitik bagi dirinya. Itulah Jokowi, sebuah
gorong-gorong saja mampu ditembusnya apalagi sekadar hujan. Hal itu
harus dilakukannya, sebab massa yang telah rapi dan tertib sudah tentu
menunggu dirinya.
Bagi Mantan Wali Kota Solo
ini, tidak menemui pendemo dalam aksi Bela Islam II pada 4 November
lalu, bukan berarti ia tidak mau berinteraksi dengan rakyatnya, tetapi
tentu hal ini hanya persoalan waktu. Terbukti pada Aksi Bela Islam III
pada 2 Desember, ia bersama para menteri dan Jenderal menembus kepungan
hujan dan merangsek ke dalam ratusan ribu kermununan massa yang telah
memadati Monas dan jalan-jalan di sekitarnya.
Data
kepolisian menyebutkan, Aksi 212 ini mencapai 200.000 orang yang datang
dari berbagai daerah. Meskipun menurut taksiran penulis, massa yang
kompak berkumpul dengan mengenakan dress code
putih-putih itu bisa mencapai 450.000 orang. Bahkan ada yang bilang
jutaan. Kemungkinan data tersebut jika digabung dengan mereka yang juga
mengadakan aksi serupa di berbagai daerah di Indonesia.
Namun
demikian, penulis tidak ingin membahas data, melainkan sebuah hujan
kerap yang menyapa massa aksi 212 di Monas. Ada yang menyebut bahwa
hujan yang turun diawali awan gelap atau mendung pekat itu akan
mengganggu massa yang dari awal khidmat mengikuti aksi.
Namun
penulis melihat, justru dengan turunnya hujan akan memberikan nuansa
lain. Apa itu? Mari sejenak mengingat materi pelajaran kimia di sekolah.
Meskipun mengandung unsur asam, air hujan juga membawa partikel yang
dapat memunculkan sensasi damai dan sejuk di tubuh manusia sehingga rasa
senang dan gembira akan mucul. Tak heran jika anak-anak kecil serasa
senang bermain di tengah guyuran hujan.
Sebagian
orang juga memaknai turunnya hujan sebagai berkah dari Yang Maha Kuasa.
Hal ini karena hujan mampu menyuburkan yang kering dan menumbuhkan yang
sedang berkembang. Hujan juga bisa mendatangkan musibah jika
intensitasnya berlebihan sehingga dapat mengakibatkan banjir, tanah
longsor, dan lain-lain. Lagi-lagi, hal ini juga bisa dilihat dari sudut
pandang berkah karena manusia diajarkan untuk merawat alam.
Bagaimana
konteksnya dengan aksi 212? Mudah sekali membacanya. Jika manusia
berkumpul di satu tempat apalagi dalam jumlah yang sangat banyak,
partikel yang ada di tengahnya hanyalah unsur panas karena pada dasarnya
manusia adalah makhluk berdarah panas. Hal itu ditambah dengan berbagai
tuntutan aksi yang seketika dapat memunculkan suasana lebih panas lagi
sehingga bisa meletupkan keributan.
Hujan kerap
yang cukup deras mengguyur massa aksi 212 tak terpungkiri adalah berkah
dari Allah SWT. Ia membuat ratusan ribu massa yang berkepala panas
menjadi dingin, dada yang membara menjadi tenang, otot-otot yang kencang
menjadi kendor, dan tulang-tulang kaku menjadi luwes kembali sehingga
aksi yang tadinya damai menjadi super damai.
Petunjuk
hujan inilah yang tadinya dinilai Jokowi sebagai rintangan untuk
bergabung dengan massa, menjadi berkah yang harus ditembus sebagai
energi positif untuk menjawab pandangan-pandangan nyinyir yang ditujukan
kepadanya yang dinilai tidak berani mendatangi para pendemo ketika aksi
4 November lalu. Lebih dari itu, persatuan dan kesatuan dalam rajutan
merah putih dan dekapan NKRI bisa tetap menjadi milik kita bersama
selamanya.
Pesan hujan yang diturunkan oleh
Allah dalam aksi 212 juga harus menjadi renungan bersama, betapa kepala
dingin, kesabaran, dan sikap tidak memaksakan kehendak harus
dikedepankan. Proses hukum tersangka Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok
yang senantiasa menjadi tuntutan aksi harus dipercayakan penuh pada
ranah hukum. Karena hal itulah yang menjadi kesepakatan bersama di
negara hukum seperti Indonesia yang sama-sama kita cintai ini.
Jika hukum sudah berjalan, serahkanlah pada prosesnya, toh
masyarakat yang menuntut bisa mengawalnya diberbagai tahapan serta
mengawasinya sebagai bagian dari transparansi. Upaya ini juga bagian
dari perwujudan supremasi hukum itu sendiri. Berbeda jika tuntutan
tersebut disertai dengan pemaksaan kehendak, yang ada hanyalah kekacauan
proses yang jelas tidak kita inginkan sebagai warga yang taat pada
konstitusi.
Para pendiri bangsa (founding fathers)
ini telah bekerja keras merancang pondasi dan dasar negara sebagai
konsensus atau kesepakatan bersama dalam membangun bangsa yang beradab.
Mereka bukanlah para pemimpin amatir, tetapi mereka adalah pemikir dan
pekerja keras yang secara ikhlas mengusir penjajah dan mendirikan negara
ini demi kelanjutan generasi yang lebih baik.
Kita sebagai pewaris para founding fathers
harus memperkuat jiwa dan mental bahwa bangsa dan negara ini mesti
dijaga kebersamaannya. Problem politik, agama, budaya, dan
entitas-entitas lain jangan sampai membuat bangsa yang telah kuat karena
kesepakatan bersama ini terpecah belah.
Kerugian
jiwa dan raga yang ditimbulkan oleh berbagai kepentingan sesaat,
apalagi begitu gencar mengatasnamakan agama hanya akan membuat Indonesia
seperti negara-negara gagal (failed states)
di berbagai kawasan di Timur Tengah. Lagi-lagi, hujan yang turun tepat
pada aksi 212 di Monas Jakarta cukup memberikan pelajaran bahwa bangsa
ini harus terus dijaga kesejukannya. Semoga!
Penulis adalah Pengajar di STAINU Jakarta, Anggota Kaukus Penulis Aliansi Kebangsaan.
0 komentar:
Posting Komentar