Allohumma sholli ‘allaa Muhammad
Yuuk kita rehat sejenak., mari kita membaca bersama mengenai sejarah Maulid Barzanji., serta Pernyataan Syeikh Abdullah Bin Baz bahwa memperingati Maulid Nabi Muhammad saw adalah bid’ah. Serta tanggapan Habibana Munzir Almusawa mengenai kedangkalan Wahabi.
SEJARAH AL-BARZANJI
Al-Barzanji atau Berzanji adalah suatu do’a-do’a, puji-pujian dan penceritaan riwayat Nabi Muhammad saw yang biasa dilantunkan dengan irama atau nada. Isi Berzanji bertutur tentang kehidupan Nabi Muhammad saw yakni silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga diangkat menjadi rasul. Didalamnya juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia.
Nama Barzanji diambil dari nama pengarangnya, seorang sufi bernama Syaikh Ja’far bin Husin bin Abdul Karim bin Muhammad Al-Brzanji. Beliau adalah pengarang kitab Maulid yang termasyur dan terkenal dengan nama Maulid Al-Barzanji. Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul ‘Iqd Al-Jawahir (kalung permata) atau ‘Iqd Al-Jawhar fi Mawlid An-Nabiyyil Azhar. Barzanji sebenarnya adalah nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzanj. Nama Al-Barzanji menjadi populer tahun 1920-an ketika Syaikh Mahmud Al-Barzanji memimpin pemberontakan nasional Kurdi terhadap Inggris yang pada waktu itu menguasai Irak.
Kitab Maulid Al-Barzanji karangan beliau ini termasuk salah satu kitab maulid yang paling populer dan paling luas tersebar ke pelosok negeri Arab dan Islam, baik Timur maupun Barat. Bahkan banyak kalangan Arab dan non-Arab yang menghafalnya dan mereka membacanya dalam acara-acara keagamaan yang sesuai. Kandungannya merupakan Khulasah (ringkasan) Sirah Nabawiyah yang meliputi kisah kelahiran beliau, pengutusannya sebagai rasul, hijrah, akhlaq, peperangan hingga wafatnya. Syaikh Ja’far Al-Barzanji dilahirkan pada hari Kamis awal bulan Zulhijjah tahun 1126 di Madinah Al-Munawwaroh dan wafat pada hari Selasa, selepas Asar, 4 Sya’ban tahun 1177 H di Kota Madinah dan dimakamkan di Jannatul Baqi`, sebelah bawah maqam beliau dari kalangan anak-anak perempuan Junjungan Nabi saw.
Sayyid Ja’far Al-Barzanji adalah seorang ulama besar keturunan Nabi Muhammad saw dari keluarga Sa’adah Al Barzanji yang termasyur, berasal dari Barzanj di Irak. Datuk-datuk Sayyid Ja’far semuanya ulama terkemuka yang terkenal dengan ilmu dan amalnya, keutamaan dan keshalihannya. Beliau mempunyai sifat dan akhlak yang terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah, wara’, banyak berzikir, senatiasa bertafakkur, mendahului dalam membuat kebajikan bersedekah, dan pemurah.
Nama nasabnya adalah Sayid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Sayid ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Sayid ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali r.a.
Semasa kecilnya beliau telah belajar Al-Quran dari Syaikh Ismail Al-Yamani, dan belajar tajwid serta membaiki bacaan dengan Syaikh Yusuf As-So’idi dan Syaikh Syamsuddin Al-Misri. Antara guru-guru beliau dalam ilmu agama dan syariat adalah : Sayid Abdul Karim Haidar Al-Barzanji, Syeikh Yusuf Al-Kurdi, Sayid Athiyatullah Al-Hindi. Sayid Ja’far Al-Barzanji telah menguasai banyak cabang ilmu, antaranya: Shoraf, Nahwu, Manthiq, Ma’ani, Bayan, Adab, Fiqh, Usulul Fiqh, Faraidh, Hisab, Usuluddin, Hadits, Usul Hadits, Tafsir, Hikmah, Handasah, A’rudh, Kalam, Lughah, Sirah, Qiraat, Suluk, Tasawuf, Kutub Ahkam, Rijal, Mustholah.
Syaikh Ja’far Al-Barzanji juga seorang Qodhi (hakim) dari madzhab Maliki yang bermukim di Madinah, merupakan salah seorang keturunan (buyut) dari cendekiawan besar Muhammad bin Abdul Rasul bin Abdul Sayyid Al-Alwi Al-Husain Al-Musawi Al-Saharzuri Al-Barzanji (1040-1103 H / 1630-1691 M), Mufti Agung dari madzhab Syafi’i di Madinah. Sang mufti (pemberi fatwa) berasal dari Shaharzur, kota kaum Kurdi di Irak, lalu mengembara ke berbagai negeri sebelum bermukim di Kota Sang Nabi. Di sana beliau telah belajar dari ulama-ulama terkenal, diantaranya Syaikh Athaallah ibn Ahmad Al-Azhari, Syaikh Abdul Wahab At-Thanthowi Al-Ahmadi, Syaikh Ahmad Al-Asybuli. Beliau juga telah diijazahkan oleh sebahagian ulama, antaranya : Syaikh Muhammad At-Thoyib Al-Fasi, Sayid Muhammad At-Thobari, Syaikh Muhammad ibn Hasan Al A’jimi, Sayid Musthofa Al-Bakri, Syaikh Abdullah As-Syubrawi Al-Misri.
Syaikh Ja’far Al-Barzanji, selain dipandang sebagai mufti, beliau juga menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang mulia tersebut. Beliau terkenal bukan saja karena ilmu, akhlak dan taqwanya, tapi juga dengan kekeramatan dan kemakbulan doanya. Penduduk Madinah sering meminta beliau berdo’a untuk hujan pada musim-musim kemarau.
Historisitas Al-Barzanji tidak dapat dipisahkan dengan momentum besar perihal peringatan maulid Nabi Muhammad saw untuk yang pertama kali. Maulid Nabi atau hari kelahiran Nabi Muhammad saw pada mulanya diperingati untuk membangkitkan semangat umat Islam. Sebab waktu itu umat Islam sedang berjuang keras mempertahankan diri dari serangan tentara salib Eropa, yakni dari Prancis, Jerman, dan Inggris.
Kita mengenal itu sebagai Perang Salib atau The Crusade. Pada tahun 1099 M tentara salib telah berhasil merebut Yerusalem dan menyulap Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan dan persaudaraan ukhuwah. Secara politis memang umat Islam terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan. Meskipun ada satu khalifah tetap satu dari Dinasti Bani Abbas di kota Baghdad sana, namun hanya sebagai lambang persatuan spiritual.
Adalah Sultan Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi dalam literatur sejarah Eropa dikenal dengan nama Saladin, seorang pemimpin yang pandai mengenal hati rakyat jelata. Salahuddin memerintah para tahun 1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub katakanlah dia setingkat Gubernur. Meskipun Salahuddin bukan orang Arab melainkan berasal dari suku Kurdi, pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia. Menurut Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada Nabi mereka. Salahuddin mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini harus dirayakan secara massal.
Sebenarnya hal itu bukan gagasan murni Salahuddin, melainkan usul dari iparnya, Muzaffaruddin Gekburi yang menjadi Atabeg (setingkat Bupati) di Irbil, Suriah Utara. Untuk mengimbangi maraknya peringatan Natal oleh umat Nasrani, Muzaffaruddin di istananya sering menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi, cuma perayaannya bersifat lokal dan tidak setiap tahun. Adapun Salahuddin ingin agar perayaan Maulid Nabi menjadi tradisi bagi umat Islam di seluruh dunia dengan tujuan meningkatkan semangat juang, bukan sekadar perayaan ulang tahun biasa.
Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah di Baghdad yakni An-Nashir, ternyata Khalifah setuju. Maka pada musim ibadah haji bulan Dzulhijjah 579 H / 1183 M, Salahuddin sebagai penguasa Haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera menyosialkan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 / 1184 M tanggal 12 Rabiul Awal dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.
Pada mulanya gagasan Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang.
Salah satu kegiatan yang di prakarsai oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji.
Ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa menjadi masjid kembali, sampai hari ini.
Kitab Al-Barzanji ditulis dengan tujuan untuk meningkatkan kecintaan kepada Rasulullah SAW dan meningkatkan gairah umat. Dalam kitab itu riwayat Nabi saw dilukiskan dengan bahasa yang indah dalam bentuk puisi dan prosa (nasr) dan kasidah yang sangat menarik. Secara garis besar, paparan Al-Barzanji dapat diringkas sebagai berikut: (1) Sislilah Nabi adalah: Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusay bin Kitab bin Murrah bin Fihr bin Malik bin Nadar bin Nizar bin Maiad bin Adnan. (2) Pada masa kecil banyak kelihatan luar biasa pada dirinya. (3) Berniaga ke Syam (Suraih) ikut pamannya ketika masih berusia 12 tahun. (4) Menikah dengan Khadijah pada usia 25 tahun. (5) Diangkat menjadi Rasul pada usia 40 tahun, dan mulai menyiarkan agama sejak saat itu hingga umur 62 tahun. Rasulullah meninggal di Madinah setelah dakwahnya dianggap telah sempurna oleh Allah SWT.
Dalam Barzanji diceritakan bahwa kelahiran kekasih Allah ini ditandai dengan banyak peristiwa ajaib yang terjadi saat itu, sebagai genderang tentang kenabiannya dan pemberitahuan bahwa Nabi Muhammad adalah pilihan Allah. Saat Nabi Muhammad dilahirkan tangannya menyentuh lantai dan kepalanya mendongak ke arah langit, dalam riwayat yang lain dikisahkan Muhammad dilahirkan langsung bersujud, pada saat yang bersamaan itu pula istana Raja Kisrawiyah retak terguncang hingga empat belas berandanya terjatuh. Maka, Kerajaan Kisra pun porak poranda. Bahkan, dengan lahirnya Nabi Muhammad ke muka bumi mampu memadamkan api sesembahan Kerajaan Persi yang diyakini tak bisa dipadamkan oleh siapapun selama ribuan tahun.
Keagungan akhlaknya tergambarkan dalam setiap prilaku beliau sehari-hari. Sekitar umur tiga puluh lima tahun, beliau mampu mendamaikan beberapa kabilah dalam hal peletakan batu Hajar Aswad di Ka’bah. Di tengah masing-masing kabilah yang bersitegang mengaku dirinya yang berhak meletakkan Hajar Aswad, Rasulullah tampil justru tidak mengutamakan dirinya sendiri, melainkan bersikap akomodatif dengan meminta kepada setiap kabilah untuk memegang setiap ujung sorban yang ia letakan di atasnya Hajar Aswad. Keempat perwakilan kabilah itu pun lalu mengangkat sorban berisi Hajar Aswad, dan Rasulullah kemudian mengambilnya lalu meletakkannya di Ka’bah.
Kisah lain yang juga bisa dijadikan teladan adalah pada suatu pengajian seorang sahabat datang terlambat, lalu ia tidak mendapati ruang kosong untuk duduk. Bahkan, ia minta kepada sahabat yang lain untuk menggeser tempat duduknya, namun tak ada satu pun yang mau. Di tengah kebingungannya, Rasulullah saw memanggil sahabat tersebut dan memintanya duduk di sampingnya.. Tidak hanya itu, Rasul kemudian melipat sorbannya lalu memberikannya pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Melihat keagungan akhlak Nabi Muhammad, sahabat tersebut dengan berlinangan air mata lalu menerima sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk, tetapi justru mencium sorban Nabi Muhammad saw tersebut.
Bacaan shalawat dan pujian kepada Rasulullah bergema saat kita membacakan Barzanji di acara peringatan maulid Nabi Mauhammad saw, Ya Nabi salâm ‘alaika, Ya Rasûl salâm ‘alaika, Ya Habîb salâm ‘alaika, ShalawatulLâh ‘alaika… (Wahai Nabi salam untukmu, Wahai Rasul salam untukmu, Wahai Kekasih salam untukmu, Shalawat Allah kepadamu…)
Kemudian, apa tujuan dari peringatan maulid Nabi dan bacaan shalawat serta pujian kepada Rasulullah? Dr. Sa’id Ramadlan Al-Bûthi menulis dalam Kitab Fiqh Al-Sîrah Al-Nabawiyyah: “Tujuannya tidak hanya untuk sekedar mengetahui perjalanan Nabi dari sisi sejarah saja. Tapi, agar kita mau melakukan tindakan aplikatif yang menggambarkan hakikat Islam yang paripurna dengan mencontoh Nabi Muhammad saw.”
Sarjana Jerman peneliti Islam, Annemarie Schimmel dalam bukunya, Dan Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan terhadap Nabi saw dalam Islam (1991), menerangkan bahwa teks asli karangan Ja’far Al-Barzanji, dalam bahasa Arab, sebetulnya berbentuk prosa. Namun, para penyair kemudian mengolah kembali teks itu menjadi untaian syair, sebentuk eulogy bagi Sang Nabi. Pancaran kharisma Nabi Muhammad saw terpantul pula dalam sejumlah puisi, yang termasyhur: Seuntai gita untuk pribadi utama, yang didendangkan dari masa ke masa.
Untaian syair itulah yang tersebar ke berbagai negeri di Asia dan Afrika, tak terkecuali Indonesia. Tidak tertinggal oleh umat Islam penutur bahasa Swahili di Afrika atau penutur bahasa Urdu di India, kita pun dapat membaca versi bahasa Indonesia dari syair itu, meski kekuatan puitis yang terkandung dalam bahasa Arab kiranya belum sepenuhnya terwadahi dalam bahasa kita sejauh ini.
Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa karya Ja’far Al-Barzanji merupakan biografi puitis Nabi Muhammad saw. Dalam garis besarnya, karya ini terbagi dua: ‘Natsar’ dan ‘Nadhom’. Bagian Natsar terdiri atas 19 sub bagian yang memuat 355 untaian syair, dengan mengolah bunyi “ah” pada tiap-tiap rima akhir. Seluruhnya menurutkan riwayat Nabi Muhammad saw, mulai dari saat-saat menjelang beliau dilahirkan hingga masa-masa tatkala paduka mendapat tugas kenabian. Sementara, bagian Nadhom terdiri atas 16 sub bagian yang memuat 205 untaian syair, dengan mengolah rima akhir “nun”.
Dalam untaian prosa lirik atau sajak prosaik itu, terasa betul adanya keterpukauan sang penyair oleh sosok dan akhlak Sang Nabi. Dalam bagian Nadhom misalnya, antara lain diungkapkan sapaan kepada Nabi pujaan” Engkau mentari, Engkau rebulan dan Engkau cahaya di atas cahaya“.
Di antara idiom-idiom yang terdapat dalam karya ini, banyak yang dipungut dari alam raya seperti matahari, bulan, purnama, cahaya, satwa, batu, dan lain-lain. Idiom-idiom seperti itu diolah sedemikian rupa, bahkan disenyawakan dengan shalawat dan doa, sehingga melahirkan sejumlah besar metafor yang gemilang. Silsilah Sang Nabi sendiri, misalnya, dilukiskan sebagai “Untaian Mutiara”.
Betapapun, kita dapat melihat teks seperti ini sebagai tutur kata yang lahir dari perspektif penyair. Pokok-pokok tuturannya sendiri, terutama menyangkut riwayat Sang Nabi, terasa berpegang erat pada Alquran, hadist, dan sirah nabawiyyah. Sang penyair kemudian mencurahkan kembali rincian kejadian dalam sejarah ke dalam wadah puisi, diperkaya dengan imajinasi puitis, sehingga pembaca dapat merasakan madah yang indah.
Salah satu hal yang mengagumkan sehubungan dengan karya Ja’far Al-Barzanji adalah kenyataan bahwa karya tulis ini tidak berhenti pada fungsinya sebagai bahan bacaan. Dengan segala potensinya, karya ini kiranya telah ikut membentuk tradisi dan mengembangkan kebudayaan sehubungan dengan cara umat Islam diberbagai negeri menghormati sosok dan perjuangan Nabi Muhammad saw.
Kitab Maulid Al-Barzanji ini telah disyarahkan oleh Al-’Allaamah Al-Faqih Asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan panggilan Ba`ilisy yang wafat tahun 1299 H dengan satu syarah yang memadai, cukup elok dan bermanfaat yang dinamakan ‘Al-Qawl Al-Munji ‘ala Mawlid Al-Barzanji’ yang telah banyak kali diulang cetaknya di Mesir.
Di samping itu, telah disyarahkan pula oleh para ulama kenamaan umat ini. Antara yang masyhur mensyarahkannya ialah Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy Al-Maaliki Al-’Asy’ari Asy-Syadzili Al-Azhari dengan kitab ’Al-Qawl Al-Munji ‘ala Maulid Al-Barzanji’. Beliau ini adalah seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif, bermazhab Maliki lagi Asy`ari dan menjalankan Thoriqah Asy-Syadziliyyah. Beliau lahir pada tahun 1217 H / 1802M dan wafat pada tahun 1299 H / 1882M.
Ulama kita kelahiran Banten, Pulau Jawa, yang terkenal sebagai ulama dan penulis yang produktif dengan banyak karangannya, yaitu Sayyidul Ulamail Hijaz, An-Nawawi Ats-Tsani, Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi turut menulis syarah yang lathifah bagi Maulid al-Barzanji dan karangannya itu dinamakannya ‘Madaarijush Shu`uud ila Iktisaail Buruud’. Kemudian, Sayyid Ja’far bin Sayyid Isma`il bin Sayyid Zainal ‘Abidin bin Sayyid Muhammad Al-Hadi bin Sayyid Zain yang merupakan suami kepada satu-satunya anak Sayyid Ja’far al-Barzanji, juga telah menulis syarah bagi Maulid Al-Barzanj tersebut yang dinamakannya ‘Al-Kawkabul Anwar ‘ala ‘Iqdil Jawhar fi Maulidin Nabiyil Azhar’. Sayyid Ja’far ini juga adalah seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif. Beliau juga merupakan seorang Mufti Syafi`iyyah. Karangan-karangan beliau banyak, antaranya: “Syawaahidul Ghufraan ‘ala Jaliyal Ahzan fi Fadhaail Ramadhan”, “Mashaabiihul Ghurar ‘ala Jaliyal Kadar” dan “Taajul Ibtihaaj ‘ala Dhauil Wahhaaj fi Israa` wal Mi’raaj”. Beliau juga telah menulis sebuah manaqib yang menceritakan perjalanan hidup dan ketinggian nendanya Sayyid Ja’far Al-Barzanji dalam kitabnya “Ar-Raudhul A’thar fi Manaqib As-Sayyid Ja’far”.
Kitab Al-Barzanji dalam bahasa aslinya (Arab) dibacakan dalam berbagai macam lagu; rekby (dibaca perlahan), hejas (dibaca lebih keras dari rekby ), ras (lebih tinggi dari nadanya dengan irama yang beraneka ragam), husein (memebacanya dengan tekanan suara yang tenang), nakwan membaca dengan suara tinggi tapi nadanya sama dengan nada ras, dan masyry, yaitu dilagukan dengan suara yang lembut serta dibarengi dengan perasaan yang dalam.
Di berbagai belahan Dunia Islam, syair Barzanji lazimnya dibacakan dalam kesempatan memeringati hari kelahiran Sang Nabi. Dengan mengingat-ingat riwayat Sang Nabi, seraya memanjatkan shalawat serta salam untuknya, orang berharap mendapat berkah keselamatan, kesejahteraan, dan ketenteraman. Sudah lazim pula, tak terkecuali di negeri kita, syair Barzanji didendangkan, biasanya dalam bentuk standing ovation dikala menyambut bayi yang baru lahir dan mencukur rambutnya.
Pada perkembangan berikutnya, pembacaan Barzanji dilakukan di berbagai kesempatan sebagai sebuah pengharapan untuk pencapaian sesuatu yang lebih baik. Misalnya pada saat kelahiran bayi, upacara pemberian nama, mencukur rambut bayi, aqiqah, khitanan, pernikahan, syukuran, kematian (haul), serta seseorang yang berangkat haji dan selama berada disana. Ada juga yang hanya membaca Barzanji dengan berbagai kegiatan keagamaan, seperti penampilan kesenian hadhrah, pengumuman hasil berbagai lomba, dan lain-lain, dan puncaknya ialah mau’idhah hasanah dari para muballigh atau da’i.
Kini peringatan Maulid Nabi sangat lekat dengan kehidupan warga Nahdlatul Ulama (NU). Hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal kalender hijriyah (Maulud). Acara yang disuguhkan dalam peringatan hari kelahiran Nabi ini amat variatif, dan kadang diselenggarakan sampai hari-hari bulan berikutnya, bulan Rabius Tsany (Bakda Mulud). Ada yang hanya mengirimkan masakan-masakan spesial untuk dikirimkan ke beberapa tetangga kanan dan kiri, ada yang menyelenggarakan upacara sederhana di rumah masing-masing, ada yang agak besar seperti yang diselenggarakan di mushala dan masjid-masjid, bahkan ada juga yang menyelenggarakan secara besar-besaran, dihadiri puluhan ribu umat Islam.
Para ulama NU memandang peringatan Maulid Nabi ini sebagai bid’ah atau perbuatan yang di zaman Nabi tidak ada, namun termasuk bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) yang diperbolehkan dalam Islam. Banyak memang amalan seorang muslim yang pada zaman Nabi tidak ada namun sekarang dilakukan umat Islam, antara lain: berzanjen, diba’an, yasinan, tahlilan (bacaan Tahlilnya, misalnya, tidak bid’ah sebab Rasulullah sendiri sering membacanya), mau’idhah hasanah pada acara temanten dan mauludan.
Dalam ‘Madarirushu’ud Syarhul’ Barzanji dikisahkan, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa menghormati hari lahirku, tentu aku berikan syafa’at kepadanya di hari kiamat.” Sahabat Umar bin Khattab secara bersemangat mengatakan: “Siapa yang menghormati hari lahir Rasulullah sama artinya dengan menghidupkan Islam!
Pernyataan Abdullah Bin Baz bahwa memperingati Maulid Nabi Muhammad saw adalah bid’ah.
Segala puji bagi Allah dan semoga shalawat beriringan salam senantiasa tercurah untuk Rasulullah, keluarga, para sahabatnya dan untuk seluruh orang yang mengikuti petunjuknya.
Banyak sekali orang yang bertanya tentang hukum memperingati Maulid Nabi Saw dan berdiri
bersama ketika peringatan berlangsung serta memberi salam kepada Nabi Saw dan hal lainnya
yang dilakukan orang – orang pada peringatan tersebut.
Jawabannya: Tidak boleh memperingati hari maulid Nabi saw dan maulid siapapun, karena hal
itu merupakan bid’ah yang diada – adakan dalam agama.
Rasulullah Saw, Khulafaurrasyidin dan para Sahabat, begitu pula para tabi’in yang berada pada kurun terbaik tidak pernah melakukannya.
Padahal mereka adalah orang yang paling mengerti dengan sunnah dan orang yang paling
sempurna cintanya kepada Rasulullah Saw serta paling konsisten dalam mengikuti syari’atnya
disbanding dengan orang–orang yang dating setelah mereka.
Nabi Saw bersabda:“Barangsiapa yang mengada – adakan dalam urusan agama kami
tanpa dasarnya maka hal itu akan ditolak (tidak diterima)”.
Dalam hadits lain beliau bersabda:
“Berpegang teguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah para Khulafaurrasyidin yang telah
mendapat petunjuk setelahku, berpegang teguhlah dengannya dan hindarilah oleh kamu sekalian hal – hal yang diada – adakan dalam agama, sesungguhnya setiap hal yang diada – adakan itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah sesat”.
Dua hadits ini merupakan peringatan yang keras kepada kita agar tidak mengada – ada bid’ah
dan mengamalkannya.
Allah Ta’ala berfirman di dalam Al Quran:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah” (Qs. Al Hasr: 7).
“Maka hendaklah orang – orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa
cobaan atau ditimpa azab yang pedih” (Qs. An Nur: 63).
“ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Qs. Al Ahzab: 21).
“Orang – orang yang terdahulu lagi yang pertama – tama (masuk Islam) di antara orang
– orang Muhajirin dan Anshar dan orang – orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga – surge yang mengalir sungai – sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama – lamanya. Itulah kemenangan yang besar”. (Qs. At Taubah: 100).
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan nikmat-
Ku untukmu, dan telah Aku ridha Islam sebagai agama bagimu” (Qs. Al Maidah: 3). Dan banyak lagi ayat – ayat lain yang semakna dengan ini.
Dengan mengada – adakan semacam peringatan maulid, terkesan bahwa Allah Ta’ala belum menyempurnakan agama untuk umat ini dan Rasulullah Saw belum menyampaikan semua yang patut diamalkan oleh mereka maka generasi terakhir mengada – ada dalam agama sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah dengan keyakinan bahwa hal tersebut bisa mnedekatkan mereka kepada Allah. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini sangat berbahaya dan merupakan pembangkangan kepada Allah dan Rasul-Nya, karena Allah telah menyempurnakan agama ini untuk para hamba-Nya untuk mereka. Begitu pula Rasulullah Saw telah menyampaikan risalahnya dengan sempurna. Tidak ada satupun jalan yang membawa umat ke surga, dan yang menjauhkan mereka dari api neraka kecuali Rasulullah Saw telah terangkan kepada mereka.
Di dalam hadits yang shahih dari Abdullah bin Amr radiyallahu anhum, Rasulullah Saw
bersabda:
“Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan diwajibkan atasnya agar menunjukkan
umatnya kepada semua kebaikan yang diketahuinya untuk mereka dan mengingatkan mereka (agar menghindari) semua keburukan yang diketahuinya bagi mereka” (HR. Muslim).
Telah dimaklumi bahwa Nabi kita Muhammad Saw adalah Nabi terakhir dan yang paling mulia
serta Nabi yang paling sempurna nasehat dan risalahnya.
Jikalau peringatan maulid ini termasuk ajaran agama yang diridhai Allah Swt maka Rasulullah
Saw pasti menyampaikannya kepada umat atau melakukannya semasa hidupnya atau dilakukan
oleh para sahabat. Namun tidak ada satupun hal tersebut yang terjadi. Ini berarti dalam ajaran
Islam dan merupakan hal yang diada – adakan yang mana Rasulullah Saw telah mengingatkan
umat agar menghindarinya, sebagaimana telah disebutkan pada dua hadits yang lalu dan hadits
– hadits lain yang semakna dengan itu, seperti sabda Rasulullah Saw ketika khutbah Jum’at.
“Selanjutnya: Sesungguhnya sebaik – baik perkataan adalah Al Quran, sebaik – baik petunjuk
adalah petunjuk Muhammad Saw, sejelek – jelek perkara adalah hal – hal yang diada – adakan di dalam agama (bid’ah), setiap bid’ah itu adalah sesat” (HR. Muslim).
Sejumlah ulama secara tegas mengingkari dan melarang peringatan maulid, berdasarkan kepada
dalil – dalil di atas dan dalil – dalil lainnya.
Sebagian ulama dari kalangan mutaakhirin membolehkannya selama tidak mengandung hal – hal yang munkar, seperti berlebihan dalam pujian – pujian kepada Rasulullah, campur baur antara
laki – laki dan wanita, menggunakan alat – alat musik dan hal – hal lain yang tidak dibolehkan
oleh syara’. Mereka menganggap hal itu merupakan bid’ah hasanah.
Padahal dalam kaidah syari’ah dikatakan bahwa segala sesuatu yang diperselisihkan manusia
wajib dikembalikan kepada Al Quran dan Sunnah, Allah berfirman:“Hai orang–orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri (pemimpin) diantara kamu, kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar – benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa: 59).
Dan kita telah kembalikan masalah peringatan maulid ini kepada Al Quran dan kita dapatkan di dalamnya bahwa Allah memerintahkan kita semua untuk mengikuti seluruh yang dibawa oleh Rasulullah Saw dan mengingatkan kita agar menjauhi semua yang dilarangnya. Al Quran juga memberitakan kepada kita bahwa Allah Ta’ala telah menyempurnakan agama untuk umat ini, sedangkan peringatan maulid tidak termasuk dalam apa yang dibawa oleh Rasulullah saw. Ini berarti ia tidak termasuk ajaran agama yang telah disempurnakan Allah bagi kita dan Allah telah memerintahkan kita semua untuk mengikuti Rasulullah Saw.
Kita juga telah kembalikan permasalahan ini kepada Rasulullah Saw, kemudian kita tidak
mendapatkan bahwa beliau pernah melakukan atau memerintahkannya.
Begitu pula para sahabat, mereka juga tidak pernah mengamalkannya.
Dengan demikian kita ketahui bahwa ia tidaklah termasuk ajaran agama kita tetapi hal
itu meruapkan bid’ah yang diada – adakan dan mencontoh kaum Yahudi dan Nashrani dalam
perayaan – perayaan mereka.
Maka jelaslah bagi siapasaja yang menginginkan yang haq bahwa perayaan maulid bukanlah bagian dari ajaran Islam tetapi ia adalah bid’ah yang dibuat – buat, yang mana Allah dan Rasul-Nya telah memerintahkan kita untuk meninggalkan dan menghindarinya.
Tidaklah patut bagi seseorang yang berakal, tergiur dengan banyaknya orang yang melakukan hal tersebut di berbagai belahan dunia. Sesungguhnya ukuran kebenaran itu, bukanlah pada banyaknya jumlah orang yang melakukannya. Tetapi, ukurannya adalah dalil – dalil syara’, sebagaimana Allah berfirman tentang orang – orang Yahudi dan Nashrani.
“Dan mereka (Yahudi dan Nashrani) berkata “Sekali – kali tidak akan masuk surga kecuali orang – orang (yang beragama) Yahudi dan Nashrani, demikian itu hanya angan – angan mereka yang kosong belaka”. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang–orang yang benar” (QS. Al Baqarah: 111).
Allah berfirman: “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang – orang yang di muka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah” (Qs. Al An’am: 116).
Di samping perayaan maulid tersebut adalah bid’ah, biasanya ketika acara berlangsung banyak
mengandung kemunkaran lain, seperti campur baur laki – laki dan wanita, nyanyian dan alat – alat musik, minuman yang memabukkan, narkotika dan lain sebagainya. Bahkan terjadi juga hal yang lebih parah dari itu semua yaitu syirik akbar dengan menunjukkan sikap yang berlebihan terhadap Rasulullah Saw atau selainnya seperti para wali serta berdoa memohon pertolongan dan bantuan kepadanya dan meyakini bahwa dia mengetahui hal yang ghaib dan berbagai bentuk kekufuran lainnya yang dicontoh oleh kebanyakan orang yang menghadiri perayaan maulid Nabi Saw tersebut dari orang – orang yang mereka sebut sebagai wali – wali.
Di dalam hadits yang shahih Rasulullah Saw bersabda:
“Hindarilah oleh kamu sekalian bersikap ghuluw (berlebihan) dalam agama. Sesungguhnya
sikap ghuluw dalam agama itulah yang telah menyebabkan hancurnya orang – orang yang
sebelum kamu”.
Dan Rasulullah Saw bersabda :
“Janganlah kamu sekalian berlebih – lebihan dalam memujiku sebagaimana orang – orang
Nashrani berlebihan dalam memuji (Isa) putra Maryam, maka ucapkanlah: Hamba Allah dan
Rasul-Nya”. (HR. Bukhari dari Umar radiyallahuanhum).
Merupakan suatuhal yang aneh dan mengherankan bahwa banyak diantara manusia yang rajin dan bersemangat dalam menghadiri perayaan – perayaan bid’ah tersebut. Bahkan mereka membela dan mempertahankannya tapi disisi lain mereka meninggalkan hal – hal yang secara jelas diwajibkan Allah kepada mereka, seperti menghadiri shalat Jum’at dan shalat berjama’ah. Mereka tidak mengindahkannya dan tidak menganggap bahwa mereka dengan demikian telah berbuat kemunkaran yang besar.
Ini jelas sekali, disebabkan oleh kelemahan iman serta minimnya pemahaman dan pengetahuan
terhadap agama, disamping hati yang kotor yang telah dibalut oleh berbagai macam jenis dosa
dan maksiat. Hanya kepada Allah kita memohon, keselamatan untuk kita dan seluruh kamu muslimin di dunia dan akhirat.
Di antara hal yang aneh juga bahwa sebagian mereka meyakini bahwa Rasulullah Saw hadir
bersama mereka dalam acara maulid tersebut.
Oleh karena itu mereka secara bersama – sama berdiri untuk menyambut dan memberi penghormatan kepada beliau. Ini merupakan kebathilan dan kebodohan yang nyata karena
Rasulullah Saw tidak akan keluar dari kuburnya sebelum hari kiamat dan selama itu beliau tidak
akan berhubungan dengan siapapun dan tidak akan hadir dalam pertemuan – pertemuan mereka. Akan tetapi beliau akan tetap tinggal di kuburnya sampai hari kiamat sedangkan ruh beliau berada di tempat tertinggi di sisi Allah di tempat yang mulia.
Allah berfirman: “Kemudian kamu sekalian setelah itu benar – benar akan mati, kemudian
sesungguhnya kamu sekalian pada hari kiamat akan dibangkitkan (dari kuburmu)” (QS. Al Mukminun:15-16).
Rasulullah Saw bersabda: “Aku adalah orang pertama yang akan dibangkitkan dari kubur pada
hari kiamat dan aku adalah orang pertama yang memberi syafa’at dan yang diizinkan memberi
syafa’at”.
Ayat dan hadits diatas, begitu pula ayat – ayat dan hadits – hadits lain yang semakna dengannya
menunjukkan bahwa Nabi Saw and orang – orang yang meninggal dunia lainnya akan dibangkitkan dari kubur – kubur mereka pada hari kiamat. Ini telah merupakan Ijma’ (kesepakatan) para ulama.
Maka setiap muslim harus hati–hati dalam hal ini, jangan sampai terjerumus kepada bid’ah bid’ah dan khurafat yang sengaja diada – adakan oleh orang – orang jahil dan yang sejenis dengan mereka. Hanya Allah tempat kita memohon pertolongan, hanya kepada-Nya kita berserah diri dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan izin-Nya.
Adapun mengucapkan shalawat dan salam kepada Rasulullah saw adalah termasuk ibadah
dan amal shaleh yang paling afdhal (utama), sebagaimana firman Allah :
“Sesungguhnya Allah dan malaikat – malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang–orang
yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya” (QS. Al Ahzab:56).
Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang bershalawat kepadaku dengan satu shalawat
maka Allah akan bershalawat (memberi Rahmat) kepadanya dengan sepuluh kali lipat”.
Shalawat tersebut disyari’atkan di setiap waktu, terutama penghujung shalat. Bahkan
menurut sejumlah ulama. Hukumnya adalah wajib pada tasyahhud akhir dalam setiap shalat, dan sunah muakkad pada beberapa waktu, diantaranya adalah setelah adzan, ketika disebut nama Nabi Saw, pada hari Jum’at dan malamnya sebagaimana yang tertera dalam banyak hadits yang shahih.
Semoga Allah memberi taufiq kepada kita dan seluruh kamu muslimin untuk memahami dan
mendalami Islam, serta konsisten dengannya dan menganugerahkan kepada kita semua kekuatan
untuk tetap berpegang teguh kepada sunnah dan menjauhi bid’ah. Sesungguhnya Allah Maha
Pemurah dan Mulia.
Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah untuk Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Tanggapan Habibana Munzir Al Musawa mengenai mereka yang mengingkari Maulid:
“Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw”.
Ketika kita membaca kalimat disamping maka didalam hati kita sudah tersirat bahwa kalimat
ini akan langsung membuat alergi bagi sebagian kelompok muslimin, saya akan meringkas
penjelasannya secara ‘Aqlan wa syar’an, (logika dan syariah).
Sifat manusia cenderung merayakan sesuatu yang membuat mereka gembira, apakah keberhasilan, kemenangan, kekayaan atau lainnya, mereka merayakannya dengan pesta, mabuk
mabukan, berjoget bersama, wayang, lenong atau bentuk pelampiasan kegembiraan lainnya, demikian adat istiadat diseluruh dunia.
Sampai disini saya jelaskan dulu bagaimana kegembiraan atas kelahiran Rasul saw.
Allah merayakan hari kelahiran para Nabi-Nya:
• Firman Allah: “(Isa berkata dari dalam perut ibunya) Salam sejahtera atasku, di hari kelahiranku, dan hari aku wafat, dan hari aku dibangkitkan” (QS. Maryam: 33).
• Firman Allah: “Salam Sejahtera dari kami (untuk Yahya as) dihari kelahirannya, dan hari wafatnya dan hari ia dibangkitkan”(QS. Maryam: 15).
• Rasul saw lahir dengan keadaan sudah dikhitan (Almustadrak ala shahihain hadits No.4177)
• Berkata Utsman bin Abil Ash Asstaqafiy dari ibunya yang menjadi pembantunya Aminah ra bunda Nabi saw, ketika Bunda Nabi saw mulai saat saat melahirkan, ia (ibu Utsman) melihat bintang – bintang mendekat hingga ia takut berjatuhan diatas kepalanya, lalu ia melihat cahaya
terang – benderang keluar dari Bunda Nabi saw hingga membuat terang benderangnya kamar dan rumah (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583).
• Ketika Rasul saw lahir kemuka bumi beliau langsung bersujud (Sirah Ibn Hisyam).
• Riwayat shahih oleh Ibn Hibban dan Hakim bahwa Ibunda Nabi saw saat melahirkan Nabi saw melihat cahaya yang terang – benderang hingga pandangannya menembus dan melihat istana – istana Romawi (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583) .
• Malam kelahiran Rasul saw itu runtuh singgasana Kaisar Kisra, dan runtuh pula 14 buah jendela besar di Istana Kisra, dan Padamnya Api di Kekaisaran Persia yang 1000 tahun tak pernah padam (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583).
Kenapa kejadian kejadian ini dimunculkan oleh Allah swt?, kejadian kejadian besar ini muncul
menandakan kelahiran Nabi saw, dan Allah swt telah merayakan kelahiran Muhammad Rasulullah saw di Alam ini, sebagaimana Dia swt telah pula membuat salam sejahtera pada kelahiran Nabi-nabi sebelumnya.
Rasulullah saw memuliakan hari kelahiran beliau saw.
Ketika beliau saw ditanya mengenai puasa di hari senin, beliau saw menjawab: “Itu adalah hari
kelahiranku, dan hari aku dibangkitkan” (Shahih Muslim hadits no.1162) dari hadits ini sebagian saudara-saudara kita mengatakan boleh merayakan maulid Nabi saw asal dengan puasa.
Rasul saw jelas – jelas memberi pemahaman bahwa hari senin itu berbeda dihadapan beliau saw
daripada hari lainnya, dan hari senin itu adalah hari kelahiran beliau saw. Karena beliau saw tak
menjawab misalnya: “Oh puasa hari senin itu mulia dan boleh – boleh saja..”, namun beliau bersabda:“Itu adalah hari kelahiranku” menunjukkan bagi beliau saw hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah dari hari-hari lainnya.
Contoh mudah misalnya Zeyd bertanya pada Amir: “Bagaimana kalau kita berangkat umroh
pada 1 Januari?” maka amir menjawab: “Oh itu hari kelahiran saya”.
Nah.. bukankah jelas – jelas bahwa Zeyd memahami bahwa 1 januari adalah hari yang berbeda dari hari – hari lainnya bagi Amir? Dan Amir menyatakan dengan jelas bahwa 1 Januari itu adalah hari kelahirannya, dan berarti amir ini termasuk orang yang perhatian pada hari kelahirannya, kalau Amir tak acuh dengan hari kelahirannya maka pastilah ia tak perlu menyebut – nyebut bahwa 1 Januari adalah hari kelahirannya, dan Nabi saw tak memerintahkan puasa hari senin untuk merayakan kelahirannya.
Pertanyaan sahabat ini berbeda maksud dengan jawaban beliau saw yang lebih luas dari sekedar
pertanyaannya, sebagaimana contoh diatas, Amir tidak memerintahkan umroh pada 1 januari karena itu adalah hari kelahirannya, maka mereka yang berpendapat bahwa boleh merayakan maulid hanya dengan puasa saja maka tentunya dari dangkalnya pemahaman terhadap ilmu bahasa.
Orang itu bertanya tentang puasa senin, maksudnya boleh atau tidak? Rasul saw menjawab
hari itu hari kelahiranku, menunjukkan hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah pada pribadi
beliau saw, sekaligus diperbolehkannya puasa dihari itu.
Maka jelaslah sudah bahwa Nabi saw termasuk yang perhatian pada hari kelahiran beliau saw,
karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya islam.
Sahabat memuliakan hari kelahiran Nabi saw.
Berkata Abbas bin Abdulmuttalib ra: “Izinkan aku memujimu wahai Rasulullah..” maka Rasul saw menjawab: “Silahkan..,maka Allah akan membuat bibirmu terjaga” maka Abbas ra
memuji dengan syair yg panjang, diantaranya: “… dan engkau (wahai nabi saw) saat hari
kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala shahihain hadits no.5417).
Kasih sayang Allah atas kafir yang gembira atas kelahiran Nabi saw.
Diriwayatkan bahwa Abbas bin Abdulmuttalib melihat Abu Lahab dalam mimpinya, dan Abbas
bertanya padanya: “Baga imana ke ada anmu? ” Abu Lahab menjawab: “Di neraka, cuma diringankan siksaku setiap senin karena aku membebaskan budakku Tsuwaibah karena gembiraku atas kelahiran Rasul saw” (Shahih Bukhari hadits no.4813, Sunan Imam Baihaqi Alkubra hadits No.13701, Syi’bul Iman No.281, Fathul Baari Almasyhur juz 11 hal 431).
Walaupun kafir terjahat ini dibantai di alam barzakh, namun tentunya Allah berhak menambah
siksanya atau menguranginya menurut kehendak Allah swt, maka Allah menguranginya setiap hari senin karena telah gembira dengan kelahiran Rasul saw dengan membebaskan budaknya.
Walaupun mimpi tidak dapat dijadikan hujjah untuk memecahkan hukum syariah, namun mimpi
dapat dijadikan hujjah sebagai manakib, sejarah dan lainnya, misalnya mimpi orang kafir atas
kebangkitan Nabi saw, maka tentunya hal itu dijadikan hujjah atas kebangkitan Nabi saw maka
Imam - imam diatas yang meriwayatkan hal itu tentunya menjadi hujjah bagi kita bahwa hal itu
benar adanya, karena diakui oleh imam imam dan mereka tidak mengingkarinya.
Lebih lagi hal itu teriwayatkan pada Shahih Bukhari, dan sebagian para Muhadditsin pun
mengatakan: ”Tidak mudah untuk mengingkari hal ini, karena Imam Bukhari meriwayatkan hal itu pada shahih nya.
Karena walaupun hal itu Cuma mimpi Abbas ra, tapi sudah berubah menjadi ucapan
Abbas ra karena ia telah mengucapkannya, dan jika hal itu batil maka Sayyidina Abbas ra tak
akan menceritakannya, dan diperkuat pula Imam Bukhari pada Shahih nya meriwayatkan ucapan
Abbas ra itu, maka ucapan itu telah menjadi hujjah, karena diucapkan oleh Sahabat besar,
Abbas bin Abdulmuttalib ra paman Nabi saw. Dan diriwayatkan pada Shahih Bukhari.
Rasulullah saw memperbolehkan Syair pujian di masjid.
Hassan bin Tsabit ra membaca syair di Masjid Nabawiy yang lalu ditegur oleh Umar ra, lalu
Hassan berkata “Aku sudah baca syair nasyidah disini dihadapan orang yang lebih mulia dari engkau wahai Umar (yaitu Nabi saw) lalu Hassan berpaling pada Abu Hurairah ra dan berkata: “Bukankah kau dengar Rasul saw menjawab syairku dengan doa: Wahai Allah bantulah ia dengan RuhulQudus? maka Abu Hurairah ra berkata: “Betul” (shahih Bukhari hadits no.3040, Shahih Muslim hadits No.2485)
.
Ini menunjukkan bahwa pembacaan Syair di masjid tidak semuanya haram, sebagaimana
beberapa hadits shahih yang menjelaskan larangan syair di masjid, namun jelaslah bahwa yang
dilarang adalah syair – syair yang membawa pada Ghaflah, pada keduniawian, namun syair – syair yang memuji Allah dan Rasul-Nya maka hal itu diperbolehkan oleh Rasul saw bahkan dipuji dan didoakan oleh beliau saw sebagaimana riwayat diatas, dan masih banyak riwayat lain sebagaimana dijelaskan bahwa Rasul saw mendirikan mimbar khusus untuk Hassan bin Tsabit di masjid agar ia berdiri untuk melantunkan syair – syairnya (Mustadrak ala Shahihain hadits No.6058, Sunan Attirmidzi hadits No.2846) oleh Aisyah ra bahwa ketika ada beberapa sahabat yang mengecam Hassan bin Tsabit ra maka Aisyah ra berkata: “Jangan kalian caci Hassan, sungguh ia itu selalu membanggakan Rasulullah saw” (Musnad Abu Ya’la Juz 8 hal 337).
Pendapat Para Imam dan Muhaddits atas perayaan Maulid.
1. Pendapat Imam Al Hafidh Ibn Hajar AlAsqalaniy rahimahullah:
Telah jelas dan kuat riwayat yang sampai padaku dari shahihain bahwa Nabi saw datang ke Madinah dan bertemu dengan Yahudi yang berpuasa hari asyura (10 Muharram), maka Rasul
saw bertanya maka mereka berkata “Hari ini hari ditenggelamkannya Fir’aun dan Allah menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa sebagai tanda syukur pada Allah swt, maka bersabda Rasul saw: “Kita lebih berhak atas Musa as dari kalian”, maka diambillah darinya perbuatan bersyukur atas anugerah yang diberikan pada suatu hari tertentu setiap tahunnya, dan syukur kepada Allah bisa didapatkan dengan pelbagai cara, seperti sujud syukur, puasa, shadaqah, membaca Alqur ’an, maka nikmat apalagi yang melebihi kebangkitan Nabi ini?, telah berfirman Allah swt “Sungguh Allah telah memberikan anugerah pada orangorang mu’min ketika dibangkitkannya Rasul dari mereka” (QS. Al Imran: 164).
2. Pendapat Imam Al Hafidh Jalaluddin AsSuyuthi rahimahullah:
Telah jelas padaku bahwa telah muncul riwayat Baihaqi bahwa Rasul saw berakikah untuk dirinya setelah beliau saw menjadi Nabi (Ahaditsulmukhtarah hadis No.1832 dengan sanad
shahih dan Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 9 hal.300), dan telah diriwayatkan bahwa telah
ber-aqiqah untuknya kakeknya Abdulmuttalib saat usia beliau saw berunur 7 tahun, dan aqiqah
tak mungkin diperbuat dua kali.
Maka jelaslah bahwa aqiqah beliau saw yang kedua atas dirinya adalah sebagai tanda syukur beliau saw kepada Allah swt yang telah membangkitkan beliau saw sebagai Rahmatan lil’aalamiin dan membawa Syariah untuk ummatnya, maka sebaiknya bagi kita juga untuk
menunjukkan tasyakkuran dengan Maulid beliau saw dengan mengumpulkan teman teman dan
saudara saudara, menjamu dengan makanan - makanan dan yang serupa itu untuk mendekatkan
diri kepada Allah dan kebahagiaan. Bahkan Imam Assuyuthiy mengarang sebuah buku
khusus mengenai perayaan maulid dengan nama “Husnulmaqshad fii ‘amalilmaulid”.
3.Pendapat Imam Al Hafidh AbuSyaamah rahimahullah (guru Imam Nawawi):
Merupakan Bid’ah hasanah yang mulia di zaman kita ini adalah perbuatan yang diperbuat
setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul saw dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul saw dan membangkitkan rasa cinta pada beliau saw, dan bersyukur kepada Allah dengan kelahiran Nabi saw.
4. Pendapat Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljazriy rahimahullah dalam kitabnya ‘Urif bitta’rif MaulidisSyariif:
Telah diriwayatkan Abu Lahab diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa keadaanmu? ia
menjawab: “Di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam senin, itu semua sebab aku membebaskan budakku Tsuwaibah demi kegembiraanku atas kelahiran Nabi (saw) dan karena Tsuwaibah menyusuinya (saw)” (shahih Bukhari)
.
Maka apabila Abu Lahab Kafir yang Alqur’an turun mengatakannya di neraka mendapat
keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran Nabi saw, maka bagaimana dengan muslim ummat Muhammad saw yang gembira atas kelahiran Nabi saw? maka demi usiaku, sungguh balasan dari Tuhan Yang Maha Pemurah sungguh – sungguh ia akan dimasukkan ke sorga kenikmatan Nya dengan sebab Anugerah-Nya.
5. Pendapat Imam Alhafidh Syamsuddin bin Nashiruddin Addimasyqiy rahimahullah
dalam kitabnya Auridusshaadiy fii Maulidul Haadiy:
Serupa dengan ucapan Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljazriy, yaitu menukil
hadits Abu Lahab.
6. Pendapat Imam Al Hafidh AsSakhawiy rahimahullah dalam kitab Sirah Al Halabiyah:
Berkata ”Tidak dilaksanakan maulid oleh salaf hingga abad ke tiga, tapi dilaksanakan setelahnya, dan tetap melaksanakannya umat islam di seluruh pelosok dunia dan bersedekah pada malamnya dengan berbagai macam sedekah dan memperhatikan pembacaan maulid, dan berlimpah terhadap mereka keberkahan yang sangat besar”.
7. Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah:
Dalam syarahnya maulid Ibn Hajar berkata: ”Ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah
pelaksanaan maulid di bulan kelahiran Nabi saw”.
8. Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah:
Dengan karangan maulidnya yang terkenal ”Al Aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan
maulid, ”Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dengan tercapai
semua maksud dan keinginan bagi siapa yang membacanya serta merayakannya”.
9. Imam Al Hafidh AlQasthalani rahimahullah:
Dalam kitabnya ”Al Mawahibulladunniyyah” juz 1 hal 148 cetakan al maktab Al Islami berkata:
”Maka Allah akan menurukan rahmat-Nya kepada orang yang menjadikan hari kelahiran Nabi saw sebagai hari besar”.
10. Imam Al Hafidh Al Muhaddits AbulKhattab Umar bin Ali bin Muhammad rahimahullah yang terkenal dengan Ibn Dihyah AlKalbi:
Dengan karangan maulidnya yang bernama ”Attanwir fi maulid basyir an nadzir”.
11. Imam Al Hafidh Al Muhaddits Syamsuddin Muhammad bin Abdullah AlJuzri rahimahullah:
Dengan maulidnya ”Urfu at ta’rif bi mauled assyarif”.
12. Imam Al Hafidh Ibn Katsir rahimahullah:
Yang karangan kitab maulidnya dikenal dengan nama ”Maulid Ibn Katsir”.
13. Imam Al Hafidh Al ’Iraqy rahimahullah:
Dengan maulidnya ”Maurid al hana fi mauled assana”.
14. Imam Al Hafidh Nasruddin Addimasyqiy rahimahullah:
Telah mengarang beberapa maulid ”Jaami’ al astar fi maulid nabi al mukhtar” 3 jilid,
”Al lafad arra’iq fi maulid khair al khalaiq”, ”Maurud asshadi fi maulid al hadi”.
15. Imam AsSyakhawiy rahimahullah:
Dengan maulidnya ”Al fajr al ulwi fi maulidan nabawi”.
16. Al Allamah Al faqih Ali Zainal Abidin AsSyamuhdi:
Dengan maulidnya ”Al mawarid al haniah fi maulid khairil bariyyah”.
17. Al Imam Hafidz Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad AsSyaibaniy yang
terkenal dengan nama Ibn Diba’:
Dengan maulidnya ”AdDibai’i”.
18. Imam Ibn Hajar Alhaitsami:
Dengan maulidnya ”Itmam anni’mah alal alam bi maulid syayidi waladu adam”.
19. Imam Ibrahim Baajuri:
Mengarang hasiah atas maulid Ibn hajar dengan nama ”Tuhfah al basyar ala maulid Ibn hajar”.
20. Al Allamah Ali Al Qari’:
Dengan maulidnya ”Maurud arrowi fi maulid nabawi”.
21. Al Allamah Al Muhaddits Ja’far bin Hasan AlBarzanji:
Dengan maulidnya yang terkenal ”Maulid Barzanji”.
22. Al Imam Al Muhaddist Muhammad bin Jakfar Al Kattani:
Dengan maulid ”Al yaman wal is’ad bi maulid khair al ibad”.
23. Al Allamah Syeikh Yusuf bin Ismail AnNabhaniy:
Dengan maulid ”Al jawahir an nadmu al badi fi maulid as syafii’”.
24. Imam Ibrahim AsSyaibaniy:
Dengan maulidnya ”Al maulid musthofa adnaani”.
25. Imam Abdulghaniy Annablisy:
Dengan maulidnya ”Al alam al ahmadi fi maulid muhammadi”.
26. Syihabuddin Al Halwani:
Dengan maulid ”Fath al latif fi syarah maulid assyarif”.
27. Imam Ahmad bin Muhammad Addimyati:
Dengan maulid ”Al kaukab al azhar alal ’iqdu al jauhar fi maulid nadi al azhar”.
28. AsSyeikh Ali Attanthowiy:
Dengan maulid ”Nur as shofa’ fi maulid al musthofa”.
29. AsSyeikh Muhammad Al Maghribi:
Dengan maulid ”At tajaliat al khifiah fi mauled khoir al bariah”.
Tiada satupun para Muhadditsin dan para Imam yang menentang dan melarang hal ini, mengenai beberapa pernyataan pada Imam dan Muhadditsin yang menentang maulid sebagaimana disampaikan oleh kalangan anti maulid, maka mereka ternyata hanya menggunting dan memotong ucapan para Imam itu, dengan kelicikan yang jelas – jelas meniru kelicikan para misionaris dalam menghancurkan Islam.
Berdiri saat Mahal Qiyam dalam pembacaan Maulid.
Mengenai berdiri saat maulid ini, merupakan Qiyas dari menyambut kedatangan Islam dan
Syariah Rasul saw, dan menunjukkan semangat atas kedatangan sang pembawa risalah pada
kehidupan kita, hal ini lumrah saja, sebagaimana penghormatan yang dianjurkan oleh Rasul saw
adalah berdiri, diriwayatkan ketika Sa’ad bin Mu’adz ra datang maka Rasul saw berkata kepada
kaum Anshar “Berdirilah untuk tuan kalian” (Shahih Bukhari hadits No.2878, Shahih Muslim hadits no.1768), demikian pula berdirinya Thalhah ra untuk Ka’ab bin Malik ra.
Memang mengenai berdiri penghormatan ini ada ikhtilaf ulama, sebagaimana yang dijelaskan
bahwa berkata Imam Alkhattabiy bahwa berdirinya bawahan untuk majikannya, juga berdirinya murid untuk kedatangan gurunya, dan berdiri untuk kedatangan Imam yang adil dan yang semacamnya merupakan hal yang baik, dan berkata Imam Bukhari bahwa yang dilarang adalah berdiri untuk pemimpin yang duduk, dan Imam Nawawi yang berpendapat bila berdiri untuk penghargaan maka tidak apa-apa, sebagaimana Nabi saw berdiri untuk kedatangan putrinya Fathimah ra saat ia datang, namun ada pula pendapat lain yang melarang berdiri untuk penghormatan (Rujuk Fathul Baari Almasyhur Juz 11 dan Syarh Imam Nawawi ala Shahih Muslim juz 12 hal 93).
Namun dari semua pendapat itu, tentulah berdiri saat mahal qiyam dalam membaca maulid
itu tak ada hubungan apa–apa dengan semua perselisihan itu, karena Rasul saw tidak dhohir
dalam pembacaan maulid itu, lepas dari anggapan ruh Rasul saw hadir saat pembacaan maulid, itu bukan pembahasan kita, masalah seperti itu adalah masalah ghaib yang tak bisa disyarahkan dengan hukum dhohir.
Semua ucapan diatas adalah perbedaan pendapat mengenai berdiri penghormatan yang Rasul saw pernah melarang agar sahabat tak berdiri untuk memuliakan beliau saw.
Jauh berbeda bila kita yang berdiri penghormatan mengingat jasa beliau saw, tak terikat dengan beliau hadir atau tidak, bahwa berdiri kita adalah bentuk semangat kita menyambut risalah Nabi saw, dan penghormatan kita kepada kedatangan Islam, dan kerinduan kita pada Nabi saw, sebagaimana kita bersalam pada Nabi saw setiap kita shalat pun kita tak melihat beliau saw.
Di r iwaya tkan bahwa Imam Al hafidh Taqiyuddin Assubkiy rahimahullah, seorang Imam Besar dan terkemuka dizamannya bahwa ia berkumpul bersama para Muhaddits dan Imam Imam besar dizamannya dalam perkumpulan yang padanya dibacakan puji – pujian untuk Nabi saw, lalu diantara syair - syair itu merekapun seraya berdiri termasuk Imam Assubkiy dan seluruh
Imam–imam yang hadir bersamanya, dan didapatkan kesejukan yang luhur dan cukuplah perbuatan mereka itu sebagai panutan.
Dan berkata Imam Ibn Hajar Alhaitsamiy rahimahullah bahwa “Bid’ah hasanah sudah
menjadi kesepakatan para imam bahwa itu merupakan hal yang sunnah, (berlandaskan hadist
Shahih Muslim No.1017 yang terncantum pada Bab Bid’ah) yaitu bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, dan mengadakan maulid itu adalah salah satu Bid’ah hasanah”.
Dan berkatapula Imam Assakhawiy rahimahullah bahwa mulai abad ketiga hijriyah mulailah hal ini dirayakan dengan banyak sedekah dan perayaan agung ini diseluruh dunia dan membawa
keberkahan bagi mereka yg mengadakannya (Sirah Al Halabiyah Juz 1 hal 137).
Pada hakekatnya, perayaan maulid ini bertujuan mengumpulkan para muslimin untuk Medan Tablig dan bersilaturahmi sekaligus mendengarkan ceramah islami yang diselingi bershalawat dan salam pada Rasul saw, dan puji - pujian pada Allah dan Rasul saw yang sudah diperbolehkan oleh Rasul saw, dan untuk mengembalikan kecintaan mereka pada Rasul saw, maka semua maksud ini tujuannya adalah kebangkitan risalah pada ummat yang dalam ghaflah, maka Imam dan Fuqaha manapun tak akan ada yang mengingkarinya karena jelas – jelas merupakan salah satu cara membangkitkan keimanan muslimin, hal semacam ini tak pantas dimungkiri oleh setiap muslimin aqlan wa syar’an (secara logika dan hukum syariah), karena hal ini merupakan hal yang mustahab (yang dicintai).
Sebagaiman kaidah syariah bahwa “Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib”, semua
yang menjadi penyebab kewajiban dengannya maka hukumnya wajib.
Contohnya saja bila sebagaimana kita ketahui bahwa menutup aurat dalam shalat hukumnya wajib, dan membeli baju hukumnya mubah, namun suatu waktu saat kita akan melakukan shalat kebetulan kita tak punya baju penutup aurat kecuali harus membeli dulu, maka membeli baju hukumnya berubah menjadi wajib, karena perlu dipakai untuk melaksanakan shalat yang wajib.
Contoh lain misalnya sunnah menggunakan siwak, dan membuat kantong baju hukumnya mubah saja, lalu saat akan bepergian kita akan membawa siwak dan baju kita tidak berkantong,
maka perlulah bagi kita membuat kantong baju untuk menaruh siwak, maka membuat kantong
baju di pakaian kita menjadi sunnah hukumnya, karena diperlukan untuk menaruh siwak yang
hukumnya sunnah.
Maka perayaan Maulid Nabi saw diadakan untuk Medan Tablig dan Dakwah, dan dakwah
merupakan hal yang wajib pada suatu kaum bila dalam kemungkaran, dan ummat sudah tidak peduli dengan Nabinya saw, tak pula peduli apalagi mencintai Sang Nabi saw dan rindu pada sunnah beliau saw, dan untuk mencapai tabligh ini adalah dengan perayaan Maulid Nabi saw, maka perayaan maulid ini menjadi wajib, karena menjadi perantara Tablig dan Dakwah serta pengenalan sejarah sang Nabi saw serta silaturahmi.
Sebagaimana penulisan Alqur ’an yang merupakan suatu hal yang tidak perlu dizaman Nabi
saw, namun menjadi sunnah hukumnya di masa para sahabat karena sahabat mulai banyak yang
membutuhkan penjelasan Alqur’an, dan menjadi wajib hukumnya setelah banyaknya para sahabat yang wafat, karena ditakutkan sirnanya Alqur’an dari ummat, walaupun Allah telah menjelaskan bahwa Alqur’an telah dijaga oleh Allah.
Hal semacam ini telah di fahami dan dijelaskan oleh para khulafa’urrasyidin, sahabat radhiyallahu’anhum, Imam dan Muhadditsin, para ulama, fuqaha dan bahkan orang muslimin
yang awam, namun hanya sebagian saudara– saudara kita muslimin yang masih bersikeras
untuk menentangnya, semoga Allah memberi mereka keluasan hati dan kejernihan, amiin.
Kamis, 01 Desember 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar