Mbah Dim (abuya Dimyati) |
Buya Hamka,
tokoh nasional asal Sumatera Barat yang lebih memilih meletakkan jabatan Ketua
MUI Pusat karena didesak Menteri Agama -waktu itu- untuk menarik kembali fatwa
haram tentang Natal Bersama bagi umat muslim. Sedangkan Abuya Dimyati adalah
ulama karismatik asal Banten, mursyid tarekat Syadziliyah dan Naqsabandiyah di
Indonesia, sosok yang dikenal 'wira'i dan topo dunyo', bahkan diceritakan
ketika para pejabat bertamu ke kediamannya dan memberikan sumbangan beliau
selalu menolak dan mengembalikan sumbangan tersebut.
Itulah
sekilas tentang kesederhanaan dan keteguhan sikap Buya Hamka dan Abuya Dimyati
yang harus diikuti oleh generasi selanjutnya (baca; kita).
Kali ini,
saya tidak bermaksud ingin menulis tentang kedua ulama nusantara itu, haqqul
yakin tulisan tentang Buya Hamka dan Abuya Dimyati pasti sudah banyak tersebar
di mana-mana. Saya hanya ingin mencari tahu dan berusaha untuk mengupas
asal-usul penamaan istilah Abuya dan Buya yang telah menjadi kata serapan dari
bahasa arab, tentu hal ini tidak ada kaitannya dengan perintah Pak JK untuk
mengganti istilah arab dalam perbankan syariah menjadi bahasa Indonesia.
Dalam
etnografi, penggunaan istilah Buya atau Abuya masuk dalam sosiologi linguistik,
pemakaian suatu istilah di dalam suatu komunitas, bagaimana seseorang
menggunakan istilah Buya, karena bahasa merupakan simbol bunyi yang digunakan
untuk berkomunikasi, ketika seseorang mengucapkan Buya, itu asalnya untuk mengucapkan
panggilan bapakku, kalau orang sunda abah, orang jawa bapak, itu semua untuk
panggilan ke orangtua laki-laki.
Kembali ke
Buya, kalau dilihat dari sisi gramatikal bahasa arab itu sudah menyalahi
grammar -kaidah nahwu-, ketika ada suatu kalimat disandarkan kepada "ya
mutakallim" maka huruf akhir dari kalimat tersebut harus dibaca
"kasrah", maka "abun" ketika bertemu "ya
mutakallim" seharusnya dibaca "abii", lughah fashihahnya itu
dibaca "abii".
Tapi
kemudian orang-orang arab ada yang mengucapkan "buya" atau
"abuya", dari "abun" ketemu "ya mutakallim",
"abun" dan "ya" dibaca seenaknya, maka menjadi
"abuya", yang seharusnya dibaca "abii", mereka itu
seakan-akan mengeja kalimat "a ba ya" menjadi "abuya", jadi
orang arab tidak mengucapkan sesuai dengan kaidah nahwiyah, yang seharusnya
"abii" tapi mengeja huruf perkata "abuya", yang kemudian
masuk ke Indonesia ada yang mempersingkat menjadi "buya" dan ada yang
tetap aslinya "abuya".
Sebagaimana
yang sudah maklum bahwa orang arab karena dilahirkan dari lingkungan yang
berbahasa arab akhirnya ia mampu berbicara bahasa arab, tapi tidak semuanya
bisa menguasai bahasa arab, makanya tidak aneh ketika ada orang yang membaca
kalimat "abaya" menjadi "abuya" bukan "abii",
karena dilihat dari mereka yang kurang menguasai tentang kaidah bahasa itu
sendiri, ada istilah bahasa "darajah", yaitu bahasa "slank"
bahasa pasaran, yang familiar salah satunya adalah "abuya".
Dalam
gramatikal bahasa arab juga dikatakan bahwa kalimat "a ba ya",
"ya mutakallim" artinya yang menunjukkan kepemilikan tunggal,
disandarkan kepada kalimat isim, di sana awalnya ada huruf jar "li",
yang faidahnya "lam lilmilki" yang menunjukkan kepemilikan. Jadi
"abi" pada asal katanya adalah "abun" + "lam"
(lam dibaca li) dan "ya mutakallim". "Abun li", bapak milik
saya, tapi dalam bahasa arab "abun li" itu kepanjangan, akhirnya
kemudian "ya mutakallim" disandarkan kepada "ab", yang
asalnya "abun li" menjadi "abi".
Namun tetap
meskipun "lam" dalam penulisan ini tidak ada tapi dalam makna tetap
ada, walaupun "abi" tapi tetap maknanya "abun li". Jadi
dalam kaidah pengidhafahan seperti itu, kalimat "abi" ayah saya,
artinya ayah ini milik saya, karena di sana menyimpan huruf "jar",
atau istilah lainnya preposisi atau kepemilikan.
Di
Indonesia, bahasa Abuya dan Buya ini menjadi kata serapan, tapi seakan-akan
yang berhak dipanggil Abuya dan Buya adalah kiai atau tokoh-tokoh agama,
awalnya mungkin kalau kita merunut kepada genealogi, beliau-beliau ini dulunya
belajar di negeri-negeri arab atau timur tengah, ketika pulang ke Indonesia
dipanggil dengan panggilan Abuya atau Buya, sedangkan masyarakat biasa tidak
berani menggunakan istilah itu, karena istilah Abuya dan Buya adalah sebuah
istilah yang sakral yang berhak digunakan oleh orang-orang yang berilmu tinggi.
Jadi kita
sudah melihat bagaimana seharusnya cara pengucapan yang benar dalam bahasa arab
apakah Abuya atau Abi, dan siapakah yang berhak menyandang gelar Abuya atau
Buya itu?
Wallahu
a'lam.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/irhamnirofiun/abuya-dan-buya-asal-usul-dan-gelar_552b3917f17e611203d623cc
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/irhamnirofiun/abuya-dan-buya-asal-usul-dan-gelar_552b3917f17e611203d623cc
Siapa yang tidak
mengenal sosok Buya Hamka dan Abuya Dimyati, dua tokoh ulama nusantara
yang sangat disegani, meski belum pernah bertemu tapi entah kenapa rasa
takzim langsung menghinggap kepada keduanya, mungkin karena kepribadian
Buya Hamka dan Abuya Dimyati yang sangat menyatu kepada hampir semua
lapisan masyarakat.
Buya Hamka, tokoh nasional asal Sumatera Barat yang lebih memilih
meletakkan jabatan Ketua MUI Pusat karena didesak Menteri Agama -waktu
itu- untuk menarik kembali fatwa haram tentang Natal Bersama bagi umat
muslim. Sedangkan Abuya Dimyati adalah ulama karismatik asal Banten,
mursyid tarekat Syadziliyah dan Naqsabandiyah di Indonesia, sosok yang
dikenal 'wira'i dan topo dunyo', bahkan diceritakan ketika para pejabat
bertamu ke kediamannya dan memberikan sumbangan beliau selalu menolak
dan mengembalikan sumbangan tersebut.
Itulah sekilas tentang kesederhanaan dan keteguhan sikap Buya Hamka dan
Abuya Dimyati yang harus diikuti oleh generasi selanjutnya (baca; kita).
Kali ini, saya tidak bermaksud ingin menulis tentang kedua ulama
nusantara itu, haqqul yakin tulisan tentang Buya Hamka dan Abuya Dimyati
pasti sudah banyak tersebar di mana-mana. Saya hanya ingin mencari tahu
dan berusaha untuk mengupas asal-usul penamaan istilah Abuya dan Buya
yang telah menjadi kata serapan dari bahasa arab, tentu hal ini tidak
ada kaitannya dengan perintah Pak JK untuk mengganti istilah arab dalam
perbankan syariah menjadi bahasa Indonesia.
Dalam etnografi, penggunaan istilah Buya atau Abuya masuk dalam
sosiologi linguistik, pemakaian suatu istilah di dalam suatu komunitas,
bagaimana seseorang menggunakan istilah Buya, karena bahasa merupakan
simbol bunyi yang digunakan untuk berkomunikasi, ketika seseorang
mengucapkan Buya, itu asalnya untuk mengucapkan panggilan bapakku, kalau
orang sunda abah, orang jawa bapak, itu semua untuk panggilan ke
orangtua laki-laki.
Kembali ke Buya, kalau dilihat dari sisi gramatikal bahasa arab itu
sudah menyalahi grammar -kaidah nahwu-, ketika ada suatu kalimat
disandarkan kepada "ya mutakallim" maka huruf akhir dari kalimat
tersebut harus dibaca "kasrah", maka "abun" ketika bertemu "ya
mutakallim" seharusnya dibaca "abii", lughah fashihahnya itu dibaca
"abii".
Tapi kemudian orang-orang arab ada yang mengucapkan "buya" atau "abuya",
dari "abun" ketemu "ya mutakallim", "abun" dan "ya" dibaca seenaknya,
maka menjadi "abuya", yang seharusnya dibaca "abii", mereka itu
seakan-akan mengeja kalimat "a ba ya" menjadi "abuya", jadi orang arab
tidak mengucapkan sesuai dengan kaidah nahwiyah, yang seharusnya "abii"
tapi mengeja huruf perkata "abuya", yang kemudian masuk ke Indonesia ada
yang mempersingkat menjadi "buya" dan ada yang tetap aslinya "abuya".
Sebagaimana yang sudah maklum bahwa orang arab karena dilahirkan dari
lingkungan yang berbahasa arab akhirnya ia mampu berbicara bahasa arab,
tapi tidak semuanya bisa menguasai bahasa arab, makanya tidak aneh
ketika ada orang yang membaca kalimat "abaya" menjadi "abuya" bukan
"abii", karena dilihat dari mereka yang kurang menguasai tentang kaidah
bahasa itu sendiri, ada istilah bahasa "darajah", yaitu bahasa "slank"
bahasa pasaran, yang familiar salah satunya adalah "abuya".
Dalam gramatikal bahasa arab juga dikatakan bahwa kalimat "a ba ya", "ya
mutakallim" artinya yang menunjukkan kepemilikan tunggal, disandarkan
kepada kalimat isim, di sana awalnya ada huruf jar "li", yang faidahnya
"lam lilmilki" yang menunjukkan kepemilikan. Jadi "abi" pada asal
katanya adalah "abun" + "lam" (lam dibaca li) dan "ya mutakallim". "Abun
li", bapak milik saya, tapi dalam bahasa arab "abun li" itu
kepanjangan, akhirnya kemudian "ya mutakallim" disandarkan kepada "ab",
yang asalnya "abun li" menjadi "abi".
Namun tetap meskipun "lam" dalam penulisan ini tidak ada tapi dalam
makna tetap ada, walaupun "abi" tapi tetap maknanya "abun li". Jadi
dalam kaidah pengidhafahan seperti itu, kalimat "abi" ayah saya, artinya
ayah ini milik saya, karena di sana menyimpan huruf "jar", atau istilah
lainnya preposisi atau kepemilikan.
Di Indonesia, bahasa Abuya dan Buya ini menjadi kata serapan, tapi
seakan-akan yang berhak dipanggil Abuya dan Buya adalah kiai atau
tokoh-tokoh agama, awalnya mungkin kalau kita merunut kepada genealogi,
beliau-beliau ini dulunya belajar di negeri-negeri arab atau timur
tengah, ketika pulang ke Indonesia dipanggil dengan panggilan Abuya atau
Buya, sedangkan masyarakat biasa tidak berani menggunakan istilah itu,
karena istilah Abuya dan Buya adalah sebuah istilah yang sakral yang
berhak digunakan oleh orang-orang yang berilmu tinggi.
Jadi kita sudah melihat bagaimana seharusnya cara pengucapan yang benar
dalam bahasa arab apakah Abuya atau Abi, dan siapakah yang berhak
menyandang gelar Abuya atau Buya itu?
Wallahu a'lam.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/irhamnirofiun/abuya-dan-buya-asal-usul-dan-gelar_552b3917f17e611203d623cc
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/irhamnirofiun/abuya-dan-buya-asal-usul-dan-gelar_552b3917f17e611203d623cc
Siapa yang tidak
mengenal sosok Buya Hamka dan Abuya Dimyati, dua tokoh ulama nusantara
yang sangat disegani, meski belum pernah bertemu tapi entah kenapa rasa
takzim langsung menghinggap kepada keduanya, mungkin karena kepribadian
Buya Hamka dan Abuya Dimyati yang sangat menyatu kepada hampir semua
lapisan masyarakat.
Buya Hamka, tokoh nasional asal Sumatera Barat yang lebih memilih
meletakkan jabatan Ketua MUI Pusat karena didesak Menteri Agama -waktu
itu- untuk menarik kembali fatwa haram tentang Natal Bersama bagi umat
muslim. Sedangkan Abuya Dimyati adalah ulama karismatik asal Banten,
mursyid tarekat Syadziliyah dan Naqsabandiyah di Indonesia, sosok yang
dikenal 'wira'i dan topo dunyo', bahkan diceritakan ketika para pejabat
bertamu ke kediamannya dan memberikan sumbangan beliau selalu menolak
dan mengembalikan sumbangan tersebut.
Itulah sekilas tentang kesederhanaan dan keteguhan sikap Buya Hamka dan
Abuya Dimyati yang harus diikuti oleh generasi selanjutnya (baca; kita).
Kali ini, saya tidak bermaksud ingin menulis tentang kedua ulama
nusantara itu, haqqul yakin tulisan tentang Buya Hamka dan Abuya Dimyati
pasti sudah banyak tersebar di mana-mana. Saya hanya ingin mencari tahu
dan berusaha untuk mengupas asal-usul penamaan istilah Abuya dan Buya
yang telah menjadi kata serapan dari bahasa arab, tentu hal ini tidak
ada kaitannya dengan perintah Pak JK untuk mengganti istilah arab dalam
perbankan syariah menjadi bahasa Indonesia.
Dalam etnografi, penggunaan istilah Buya atau Abuya masuk dalam
sosiologi linguistik, pemakaian suatu istilah di dalam suatu komunitas,
bagaimana seseorang menggunakan istilah Buya, karena bahasa merupakan
simbol bunyi yang digunakan untuk berkomunikasi, ketika seseorang
mengucapkan Buya, itu asalnya untuk mengucapkan panggilan bapakku, kalau
orang sunda abah, orang jawa bapak, itu semua untuk panggilan ke
orangtua laki-laki.
Kembali ke Buya, kalau dilihat dari sisi gramatikal bahasa arab itu
sudah menyalahi grammar -kaidah nahwu-, ketika ada suatu kalimat
disandarkan kepada "ya mutakallim" maka huruf akhir dari kalimat
tersebut harus dibaca "kasrah", maka "abun" ketika bertemu "ya
mutakallim" seharusnya dibaca "abii", lughah fashihahnya itu dibaca
"abii".
Tapi kemudian orang-orang arab ada yang mengucapkan "buya" atau "abuya",
dari "abun" ketemu "ya mutakallim", "abun" dan "ya" dibaca seenaknya,
maka menjadi "abuya", yang seharusnya dibaca "abii", mereka itu
seakan-akan mengeja kalimat "a ba ya" menjadi "abuya", jadi orang arab
tidak mengucapkan sesuai dengan kaidah nahwiyah, yang seharusnya "abii"
tapi mengeja huruf perkata "abuya", yang kemudian masuk ke Indonesia ada
yang mempersingkat menjadi "buya" dan ada yang tetap aslinya "abuya".
Sebagaimana yang sudah maklum bahwa orang arab karena dilahirkan dari
lingkungan yang berbahasa arab akhirnya ia mampu berbicara bahasa arab,
tapi tidak semuanya bisa menguasai bahasa arab, makanya tidak aneh
ketika ada orang yang membaca kalimat "abaya" menjadi "abuya" bukan
"abii", karena dilihat dari mereka yang kurang menguasai tentang kaidah
bahasa itu sendiri, ada istilah bahasa "darajah", yaitu bahasa "slank"
bahasa pasaran, yang familiar salah satunya adalah "abuya".
Dalam gramatikal bahasa arab juga dikatakan bahwa kalimat "a ba ya", "ya
mutakallim" artinya yang menunjukkan kepemilikan tunggal, disandarkan
kepada kalimat isim, di sana awalnya ada huruf jar "li", yang faidahnya
"lam lilmilki" yang menunjukkan kepemilikan. Jadi "abi" pada asal
katanya adalah "abun" + "lam" (lam dibaca li) dan "ya mutakallim". "Abun
li", bapak milik saya, tapi dalam bahasa arab "abun li" itu
kepanjangan, akhirnya kemudian "ya mutakallim" disandarkan kepada "ab",
yang asalnya "abun li" menjadi "abi".
Namun tetap meskipun "lam" dalam penulisan ini tidak ada tapi dalam
makna tetap ada, walaupun "abi" tapi tetap maknanya "abun li". Jadi
dalam kaidah pengidhafahan seperti itu, kalimat "abi" ayah saya, artinya
ayah ini milik saya, karena di sana menyimpan huruf "jar", atau istilah
lainnya preposisi atau kepemilikan.
Di Indonesia, bahasa Abuya dan Buya ini menjadi kata serapan, tapi
seakan-akan yang berhak dipanggil Abuya dan Buya adalah kiai atau
tokoh-tokoh agama, awalnya mungkin kalau kita merunut kepada genealogi,
beliau-beliau ini dulunya belajar di negeri-negeri arab atau timur
tengah, ketika pulang ke Indonesia dipanggil dengan panggilan Abuya atau
Buya, sedangkan masyarakat biasa tidak berani menggunakan istilah itu,
karena istilah Abuya dan Buya adalah sebuah istilah yang sakral yang
berhak digunakan oleh orang-orang yang berilmu tinggi.
Jadi kita sudah melihat bagaimana seharusnya cara pengucapan yang benar
dalam bahasa arab apakah Abuya atau Abi, dan siapakah yang berhak
menyandang gelar Abuya atau Buya itu?
Wallahu a'lam.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/irhamnirofiun/abuya-dan-buya-asal-usul-dan-gelar_552b3917f17e611203d623cc
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/irhamnirofiun/abuya-dan-buya-asal-usul-dan-gelar_552b3917f17e611203d623cc
Siapa yang tidak
mengenal sosok Buya Hamka dan Abuya Dimyati, dua tokoh ulama nusantara
yang sangat disegani, meski belum pernah bertemu tapi entah kenapa rasa
takzim langsung menghinggap kepada keduanya, mungkin karena kepribadian
Buya Hamka dan Abuya Dimyati yang sangat menyatu kepada hampir semua
lapisan masyarakat.
Buya Hamka, tokoh nasional asal Sumatera Barat yang lebih memilih
meletakkan jabatan Ketua MUI Pusat karena didesak Menteri Agama -waktu
itu- untuk menarik kembali fatwa haram tentang Natal Bersama bagi umat
muslim. Sedangkan Abuya Dimyati adalah ulama karismatik asal Banten,
mursyid tarekat Syadziliyah dan Naqsabandiyah di Indonesia, sosok yang
dikenal 'wira'i dan topo dunyo', bahkan diceritakan ketika para pejabat
bertamu ke kediamannya dan memberikan sumbangan beliau selalu menolak
dan mengembalikan sumbangan tersebut.
Itulah sekilas tentang kesederhanaan dan keteguhan sikap Buya Hamka dan
Abuya Dimyati yang harus diikuti oleh generasi selanjutnya (baca; kita).
Kali ini, saya tidak bermaksud ingin menulis tentang kedua ulama
nusantara itu, haqqul yakin tulisan tentang Buya Hamka dan Abuya Dimyati
pasti sudah banyak tersebar di mana-mana. Saya hanya ingin mencari tahu
dan berusaha untuk mengupas asal-usul penamaan istilah Abuya dan Buya
yang telah menjadi kata serapan dari bahasa arab, tentu hal ini tidak
ada kaitannya dengan perintah Pak JK untuk mengganti istilah arab dalam
perbankan syariah menjadi bahasa Indonesia.
Dalam etnografi, penggunaan istilah Buya atau Abuya masuk dalam
sosiologi linguistik, pemakaian suatu istilah di dalam suatu komunitas,
bagaimana seseorang menggunakan istilah Buya, karena bahasa merupakan
simbol bunyi yang digunakan untuk berkomunikasi, ketika seseorang
mengucapkan Buya, itu asalnya untuk mengucapkan panggilan bapakku, kalau
orang sunda abah, orang jawa bapak, itu semua untuk panggilan ke
orangtua laki-laki.
Kembali ke Buya, kalau dilihat dari sisi gramatikal bahasa arab itu
sudah menyalahi grammar -kaidah nahwu-, ketika ada suatu kalimat
disandarkan kepada "ya mutakallim" maka huruf akhir dari kalimat
tersebut harus dibaca "kasrah", maka "abun" ketika bertemu "ya
mutakallim" seharusnya dibaca "abii", lughah fashihahnya itu dibaca
"abii".
Tapi kemudian orang-orang arab ada yang mengucapkan "buya" atau "abuya",
dari "abun" ketemu "ya mutakallim", "abun" dan "ya" dibaca seenaknya,
maka menjadi "abuya", yang seharusnya dibaca "abii", mereka itu
seakan-akan mengeja kalimat "a ba ya" menjadi "abuya", jadi orang arab
tidak mengucapkan sesuai dengan kaidah nahwiyah, yang seharusnya "abii"
tapi mengeja huruf perkata "abuya", yang kemudian masuk ke Indonesia ada
yang mempersingkat menjadi "buya" dan ada yang tetap aslinya "abuya".
Sebagaimana yang sudah maklum bahwa orang arab karena dilahirkan dari
lingkungan yang berbahasa arab akhirnya ia mampu berbicara bahasa arab,
tapi tidak semuanya bisa menguasai bahasa arab, makanya tidak aneh
ketika ada orang yang membaca kalimat "abaya" menjadi "abuya" bukan
"abii", karena dilihat dari mereka yang kurang menguasai tentang kaidah
bahasa itu sendiri, ada istilah bahasa "darajah", yaitu bahasa "slank"
bahasa pasaran, yang familiar salah satunya adalah "abuya".
Dalam gramatikal bahasa arab juga dikatakan bahwa kalimat "a ba ya", "ya
mutakallim" artinya yang menunjukkan kepemilikan tunggal, disandarkan
kepada kalimat isim, di sana awalnya ada huruf jar "li", yang faidahnya
"lam lilmilki" yang menunjukkan kepemilikan. Jadi "abi" pada asal
katanya adalah "abun" + "lam" (lam dibaca li) dan "ya mutakallim". "Abun
li", bapak milik saya, tapi dalam bahasa arab "abun li" itu
kepanjangan, akhirnya kemudian "ya mutakallim" disandarkan kepada "ab",
yang asalnya "abun li" menjadi "abi".
Namun tetap meskipun "lam" dalam penulisan ini tidak ada tapi dalam
makna tetap ada, walaupun "abi" tapi tetap maknanya "abun li". Jadi
dalam kaidah pengidhafahan seperti itu, kalimat "abi" ayah saya, artinya
ayah ini milik saya, karena di sana menyimpan huruf "jar", atau istilah
lainnya preposisi atau kepemilikan.
Di Indonesia, bahasa Abuya dan Buya ini menjadi kata serapan, tapi
seakan-akan yang berhak dipanggil Abuya dan Buya adalah kiai atau
tokoh-tokoh agama, awalnya mungkin kalau kita merunut kepada genealogi,
beliau-beliau ini dulunya belajar di negeri-negeri arab atau timur
tengah, ketika pulang ke Indonesia dipanggil dengan panggilan Abuya atau
Buya, sedangkan masyarakat biasa tidak berani menggunakan istilah itu,
karena istilah Abuya dan Buya adalah sebuah istilah yang sakral yang
berhak digunakan oleh orang-orang yang berilmu tinggi.
Jadi kita sudah melihat bagaimana seharusnya cara pengucapan yang benar
dalam bahasa arab apakah Abuya atau Abi, dan siapakah yang berhak
menyandang gelar Abuya atau Buya itu?
Wallahu a'lam.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/irhamnirofiun/abuya-dan-buya-asal-usul-dan-gelar_552b3917f17e611203d623cc
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/irhamnirofiun/abuya-dan-buya-asal-usul-dan-gelar_552b3917f17e611203d623cc
Siapa yang tidak
mengenal sosok Buya Hamka dan Abuya Dimyati, dua tokoh ulama nusantara
yang sangat disegani, meski belum pernah bertemu tapi entah kenapa rasa
takzim langsung menghinggap kepada keduanya, mungkin karena kepribadian
Buya Hamka dan Abuya Dimyati yang sangat menyatu kepada hampir semua
lapisan masyarakat.
Buya Hamka, tokoh nasional asal Sumatera Barat yang lebih memilih
meletakkan jabatan Ketua MUI Pusat karena didesak Menteri Agama -waktu
itu- untuk menarik kembali fatwa haram tentang Natal Bersama bagi umat
muslim. Sedangkan Abuya Dimyati adalah ulama karismatik asal Banten,
mursyid tarekat Syadziliyah dan Naqsabandiyah di Indonesia, sosok yang
dikenal 'wira'i dan topo dunyo', bahkan diceritakan ketika para pejabat
bertamu ke kediamannya dan memberikan sumbangan beliau selalu menolak
dan mengembalikan sumbangan tersebut.
Itulah sekilas tentang kesederhanaan dan keteguhan sikap Buya Hamka dan
Abuya Dimyati yang harus diikuti oleh generasi selanjutnya (baca; kita).
Kali ini, saya tidak bermaksud ingin menulis tentang kedua ulama
nusantara itu, haqqul yakin tulisan tentang Buya Hamka dan Abuya Dimyati
pasti sudah banyak tersebar di mana-mana. Saya hanya ingin mencari tahu
dan berusaha untuk mengupas asal-usul penamaan istilah Abuya dan Buya
yang telah menjadi kata serapan dari bahasa arab, tentu hal ini tidak
ada kaitannya dengan perintah Pak JK untuk mengganti istilah arab dalam
perbankan syariah menjadi bahasa Indonesia.
Dalam etnografi, penggunaan istilah Buya atau Abuya masuk dalam
sosiologi linguistik, pemakaian suatu istilah di dalam suatu komunitas,
bagaimana seseorang menggunakan istilah Buya, karena bahasa merupakan
simbol bunyi yang digunakan untuk berkomunikasi, ketika seseorang
mengucapkan Buya, itu asalnya untuk mengucapkan panggilan bapakku, kalau
orang sunda abah, orang jawa bapak, itu semua untuk panggilan ke
orangtua laki-laki.
Kembali ke Buya, kalau dilihat dari sisi gramatikal bahasa arab itu
sudah menyalahi grammar -kaidah nahwu-, ketika ada suatu kalimat
disandarkan kepada "ya mutakallim" maka huruf akhir dari kalimat
tersebut harus dibaca "kasrah", maka "abun" ketika bertemu "ya
mutakallim" seharusnya dibaca "abii", lughah fashihahnya itu dibaca
"abii".
Tapi kemudian orang-orang arab ada yang mengucapkan "buya" atau "abuya",
dari "abun" ketemu "ya mutakallim", "abun" dan "ya" dibaca seenaknya,
maka menjadi "abuya", yang seharusnya dibaca "abii", mereka itu
seakan-akan mengeja kalimat "a ba ya" menjadi "abuya", jadi orang arab
tidak mengucapkan sesuai dengan kaidah nahwiyah, yang seharusnya "abii"
tapi mengeja huruf perkata "abuya", yang kemudian masuk ke Indonesia ada
yang mempersingkat menjadi "buya" dan ada yang tetap aslinya "abuya".
Sebagaimana yang sudah maklum bahwa orang arab karena dilahirkan dari
lingkungan yang berbahasa arab akhirnya ia mampu berbicara bahasa arab,
tapi tidak semuanya bisa menguasai bahasa arab, makanya tidak aneh
ketika ada orang yang membaca kalimat "abaya" menjadi "abuya" bukan
"abii", karena dilihat dari mereka yang kurang menguasai tentang kaidah
bahasa itu sendiri, ada istilah bahasa "darajah", yaitu bahasa "slank"
bahasa pasaran, yang familiar salah satunya adalah "abuya".
Dalam gramatikal bahasa arab juga dikatakan bahwa kalimat "a ba ya", "ya
mutakallim" artinya yang menunjukkan kepemilikan tunggal, disandarkan
kepada kalimat isim, di sana awalnya ada huruf jar "li", yang faidahnya
"lam lilmilki" yang menunjukkan kepemilikan. Jadi "abi" pada asal
katanya adalah "abun" + "lam" (lam dibaca li) dan "ya mutakallim". "Abun
li", bapak milik saya, tapi dalam bahasa arab "abun li" itu
kepanjangan, akhirnya kemudian "ya mutakallim" disandarkan kepada "ab",
yang asalnya "abun li" menjadi "abi".
Namun tetap meskipun "lam" dalam penulisan ini tidak ada tapi dalam
makna tetap ada, walaupun "abi" tapi tetap maknanya "abun li". Jadi
dalam kaidah pengidhafahan seperti itu, kalimat "abi" ayah saya, artinya
ayah ini milik saya, karena di sana menyimpan huruf "jar", atau istilah
lainnya preposisi atau kepemilikan.
Di Indonesia, bahasa Abuya dan Buya ini menjadi kata serapan, tapi
seakan-akan yang berhak dipanggil Abuya dan Buya adalah kiai atau
tokoh-tokoh agama, awalnya mungkin kalau kita merunut kepada genealogi,
beliau-beliau ini dulunya belajar di negeri-negeri arab atau timur
tengah, ketika pulang ke Indonesia dipanggil dengan panggilan Abuya atau
Buya, sedangkan masyarakat biasa tidak berani menggunakan istilah itu,
karena istilah Abuya dan Buya adalah sebuah istilah yang sakral yang
berhak digunakan oleh orang-orang yang berilmu tinggi.
Jadi kita sudah melihat bagaimana seharusnya cara pengucapan yang benar
dalam bahasa arab apakah Abuya atau Abi, dan siapakah yang berhak
menyandang gelar Abuya atau Buya itu?
Wallahu a'lam.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/irhamnirofiun/abuya-dan-buya-asal-usul-dan-gelar_552b3917f17e611203d623cc
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/irhamnirofiun/abuya-dan-buya-asal-usul-dan-gelar_552b3917f17e611203d623cc
The Best Titanium Cross Neck Necklace for Men
BalasHapusBuy T-Shirt T-Shirts with Titanium Cross Necklace online ford edge titanium 2021 at best price at titanium white dominus price T-Shirt T-Shirt T-Shirt T-Shirt T-Shirt surgical steel vs titanium T-Shirt chi titanium flat irons T-Shirt T-Shirt T-Shirt T-Shirt titanium necklace T-Shirt T-Shirt