Jumat, 02 Desember 2016

Abuya dan Buya: Asal Usul dan Gelar

Mbah Dim (abuya Dimyati)
Siapa yang tidak mengenal sosok Buya Hamka dan Abuya Dimyati, dua tokoh ulama nusantara yang sangat disegani, meski belum pernah bertemu tapi entah kenapa rasa takzim langsung menghinggap kepada keduanya, mungkin karena kepribadian Buya Hamka dan Abuya Dimyati yang sangat menyatu kepada hampir semua lapisan masyarakat.

Buya Hamka, tokoh nasional asal Sumatera Barat yang lebih memilih meletakkan jabatan Ketua MUI Pusat karena didesak Menteri Agama -waktu itu- untuk menarik kembali fatwa haram tentang Natal Bersama bagi umat muslim. Sedangkan Abuya Dimyati adalah ulama karismatik asal Banten, mursyid tarekat Syadziliyah dan Naqsabandiyah di Indonesia, sosok yang dikenal 'wira'i dan topo dunyo', bahkan diceritakan ketika para pejabat bertamu ke kediamannya dan memberikan sumbangan beliau selalu menolak dan mengembalikan sumbangan tersebut.

Itulah sekilas tentang kesederhanaan dan keteguhan sikap Buya Hamka dan Abuya Dimyati yang harus diikuti oleh generasi selanjutnya (baca; kita).

Kali ini, saya tidak bermaksud ingin menulis tentang kedua ulama nusantara itu, haqqul yakin tulisan tentang Buya Hamka dan Abuya Dimyati pasti sudah banyak tersebar di mana-mana. Saya hanya ingin mencari tahu dan berusaha untuk mengupas asal-usul penamaan istilah Abuya dan Buya yang telah menjadi kata serapan dari bahasa arab, tentu hal ini tidak ada kaitannya dengan perintah Pak JK untuk mengganti istilah arab dalam perbankan syariah menjadi bahasa Indonesia.

Dalam etnografi, penggunaan istilah Buya atau Abuya masuk dalam sosiologi linguistik, pemakaian suatu istilah di dalam suatu komunitas, bagaimana seseorang menggunakan istilah Buya, karena bahasa merupakan simbol bunyi yang digunakan untuk berkomunikasi, ketika seseorang mengucapkan Buya, itu asalnya untuk mengucapkan panggilan bapakku, kalau orang sunda abah, orang jawa bapak, itu semua untuk panggilan ke orangtua laki-laki.

Kembali ke Buya, kalau dilihat dari sisi gramatikal bahasa arab itu sudah menyalahi grammar -kaidah nahwu-, ketika ada suatu kalimat disandarkan kepada "ya mutakallim" maka huruf akhir dari kalimat tersebut harus dibaca "kasrah", maka "abun" ketika bertemu "ya mutakallim" seharusnya dibaca "abii", lughah fashihahnya itu dibaca "abii".

Tapi kemudian orang-orang arab ada yang mengucapkan "buya" atau "abuya", dari "abun" ketemu "ya mutakallim", "abun" dan "ya" dibaca seenaknya, maka menjadi "abuya", yang seharusnya dibaca "abii", mereka itu seakan-akan mengeja kalimat "a ba ya" menjadi "abuya", jadi orang arab tidak mengucapkan sesuai dengan kaidah nahwiyah, yang seharusnya "abii" tapi mengeja huruf perkata "abuya", yang kemudian masuk ke Indonesia ada yang mempersingkat menjadi "buya" dan ada yang tetap aslinya "abuya".

Sebagaimana yang sudah maklum bahwa orang arab karena dilahirkan dari lingkungan yang berbahasa arab akhirnya ia mampu berbicara bahasa arab, tapi tidak semuanya bisa menguasai bahasa arab, makanya tidak aneh ketika ada orang yang membaca kalimat "abaya" menjadi "abuya" bukan "abii", karena dilihat dari mereka yang kurang menguasai tentang kaidah bahasa itu sendiri, ada istilah bahasa "darajah", yaitu bahasa "slank" bahasa pasaran, yang familiar salah satunya adalah "abuya".

Dalam gramatikal bahasa arab juga dikatakan bahwa kalimat "a ba ya", "ya mutakallim" artinya yang menunjukkan kepemilikan tunggal, disandarkan kepada kalimat isim, di sana awalnya ada huruf jar "li", yang faidahnya "lam lilmilki" yang menunjukkan kepemilikan. Jadi "abi" pada asal katanya adalah "abun" + "lam" (lam dibaca li) dan "ya mutakallim". "Abun li", bapak milik saya, tapi dalam bahasa arab "abun li" itu kepanjangan, akhirnya kemudian "ya mutakallim" disandarkan kepada "ab", yang asalnya "abun li" menjadi "abi".

Namun tetap meskipun "lam" dalam penulisan ini tidak ada tapi dalam makna tetap ada, walaupun "abi" tapi tetap maknanya "abun li". Jadi dalam kaidah pengidhafahan seperti itu, kalimat "abi" ayah saya, artinya ayah ini milik saya, karena di sana menyimpan huruf "jar", atau istilah lainnya preposisi atau kepemilikan.

Di Indonesia, bahasa Abuya dan Buya ini menjadi kata serapan, tapi seakan-akan yang berhak dipanggil Abuya dan Buya adalah kiai atau tokoh-tokoh agama, awalnya mungkin kalau kita merunut kepada genealogi, beliau-beliau ini dulunya belajar di negeri-negeri arab atau timur tengah, ketika pulang ke Indonesia dipanggil dengan panggilan Abuya atau Buya, sedangkan masyarakat biasa tidak berani menggunakan istilah itu, karena istilah Abuya dan Buya adalah sebuah istilah yang sakral yang berhak digunakan oleh orang-orang yang berilmu tinggi.

Jadi kita sudah melihat bagaimana seharusnya cara pengucapan yang benar dalam bahasa arab apakah Abuya atau Abi, dan siapakah yang berhak menyandang gelar Abuya atau Buya itu?

Wallahu a'lam.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/irhamnirofiun/abuya-dan-buya-asal-usul-dan-gelar_552b3917f17e611203d623cc

Siapa yang tidak mengenal sosok Buya Hamka dan Abuya Dimyati, dua tokoh ulama nusantara yang sangat disegani, meski belum pernah bertemu tapi entah kenapa rasa takzim langsung menghinggap kepada keduanya, mungkin karena kepribadian Buya Hamka dan Abuya Dimyati yang sangat menyatu kepada hampir semua lapisan masyarakat. Buya Hamka, tokoh nasional asal Sumatera Barat yang lebih memilih meletakkan jabatan Ketua MUI Pusat karena didesak Menteri Agama -waktu itu- untuk menarik kembali fatwa haram tentang Natal Bersama bagi umat muslim. Sedangkan Abuya Dimyati adalah ulama karismatik asal Banten, mursyid tarekat Syadziliyah dan Naqsabandiyah di Indonesia, sosok yang dikenal 'wira'i dan topo dunyo', bahkan diceritakan ketika para pejabat bertamu ke kediamannya dan memberikan sumbangan beliau selalu menolak dan mengembalikan sumbangan tersebut. Itulah sekilas tentang kesederhanaan dan keteguhan sikap Buya Hamka dan Abuya Dimyati yang harus diikuti oleh generasi selanjutnya (baca; kita). Kali ini, saya tidak bermaksud ingin menulis tentang kedua ulama nusantara itu, haqqul yakin tulisan tentang Buya Hamka dan Abuya Dimyati pasti sudah banyak tersebar di mana-mana. Saya hanya ingin mencari tahu dan berusaha untuk mengupas asal-usul penamaan istilah Abuya dan Buya yang telah menjadi kata serapan dari bahasa arab, tentu hal ini tidak ada kaitannya dengan perintah Pak JK untuk mengganti istilah arab dalam perbankan syariah menjadi bahasa Indonesia. Dalam etnografi, penggunaan istilah Buya atau Abuya masuk dalam sosiologi linguistik, pemakaian suatu istilah di dalam suatu komunitas, bagaimana seseorang menggunakan istilah Buya, karena bahasa merupakan simbol bunyi yang digunakan untuk berkomunikasi, ketika seseorang mengucapkan Buya, itu asalnya untuk mengucapkan panggilan bapakku, kalau orang sunda abah, orang jawa bapak, itu semua untuk panggilan ke orangtua laki-laki. Kembali ke Buya, kalau dilihat dari sisi gramatikal bahasa arab itu sudah menyalahi grammar -kaidah nahwu-, ketika ada suatu kalimat disandarkan kepada "ya mutakallim" maka huruf akhir dari kalimat tersebut harus dibaca "kasrah", maka "abun" ketika bertemu "ya mutakallim" seharusnya dibaca "abii", lughah fashihahnya itu dibaca "abii". Tapi kemudian orang-orang arab ada yang mengucapkan "buya" atau "abuya", dari "abun" ketemu "ya mutakallim", "abun" dan "ya" dibaca seenaknya, maka menjadi "abuya", yang seharusnya dibaca "abii", mereka itu seakan-akan mengeja kalimat "a ba ya" menjadi "abuya", jadi orang arab tidak mengucapkan sesuai dengan kaidah nahwiyah, yang seharusnya "abii" tapi mengeja huruf perkata "abuya", yang kemudian masuk ke Indonesia ada yang mempersingkat menjadi "buya" dan ada yang tetap aslinya "abuya". Sebagaimana yang sudah maklum bahwa orang arab karena dilahirkan dari lingkungan yang berbahasa arab akhirnya ia mampu berbicara bahasa arab, tapi tidak semuanya bisa menguasai bahasa arab, makanya tidak aneh ketika ada orang yang membaca kalimat "abaya" menjadi "abuya" bukan "abii", karena dilihat dari mereka yang kurang menguasai tentang kaidah bahasa itu sendiri, ada istilah bahasa "darajah", yaitu bahasa "slank" bahasa pasaran, yang familiar salah satunya adalah "abuya". Dalam gramatikal bahasa arab juga dikatakan bahwa kalimat "a ba ya", "ya mutakallim" artinya yang menunjukkan kepemilikan tunggal, disandarkan kepada kalimat isim, di sana awalnya ada huruf jar "li", yang faidahnya "lam lilmilki" yang menunjukkan kepemilikan. Jadi "abi" pada asal katanya adalah "abun" + "lam" (lam dibaca li) dan "ya mutakallim". "Abun li", bapak milik saya, tapi dalam bahasa arab "abun li" itu kepanjangan, akhirnya kemudian "ya mutakallim" disandarkan kepada "ab", yang asalnya "abun li" menjadi "abi". Namun tetap meskipun "lam" dalam penulisan ini tidak ada tapi dalam makna tetap ada, walaupun "abi" tapi tetap maknanya "abun li". Jadi dalam kaidah pengidhafahan seperti itu, kalimat "abi" ayah saya, artinya ayah ini milik saya, karena di sana menyimpan huruf "jar", atau istilah lainnya preposisi atau kepemilikan. Di Indonesia, bahasa Abuya dan Buya ini menjadi kata serapan, tapi seakan-akan yang berhak dipanggil Abuya dan Buya adalah kiai atau tokoh-tokoh agama, awalnya mungkin kalau kita merunut kepada genealogi, beliau-beliau ini dulunya belajar di negeri-negeri arab atau timur tengah, ketika pulang ke Indonesia dipanggil dengan panggilan Abuya atau Buya, sedangkan masyarakat biasa tidak berani menggunakan istilah itu, karena istilah Abuya dan Buya adalah sebuah istilah yang sakral yang berhak digunakan oleh orang-orang yang berilmu tinggi. Jadi kita sudah melihat bagaimana seharusnya cara pengucapan yang benar dalam bahasa arab apakah Abuya atau Abi, dan siapakah yang berhak menyandang gelar Abuya atau Buya itu? Wallahu a'lam.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/irhamnirofiun/abuya-dan-buya-asal-usul-dan-gelar_552b3917f17e611203d623cc
Siapa yang tidak mengenal sosok Buya Hamka dan Abuya Dimyati, dua tokoh ulama nusantara yang sangat disegani, meski belum pernah bertemu tapi entah kenapa rasa takzim langsung menghinggap kepada keduanya, mungkin karena kepribadian Buya Hamka dan Abuya Dimyati yang sangat menyatu kepada hampir semua lapisan masyarakat. Buya Hamka, tokoh nasional asal Sumatera Barat yang lebih memilih meletakkan jabatan Ketua MUI Pusat karena didesak Menteri Agama -waktu itu- untuk menarik kembali fatwa haram tentang Natal Bersama bagi umat muslim. Sedangkan Abuya Dimyati adalah ulama karismatik asal Banten, mursyid tarekat Syadziliyah dan Naqsabandiyah di Indonesia, sosok yang dikenal 'wira'i dan topo dunyo', bahkan diceritakan ketika para pejabat bertamu ke kediamannya dan memberikan sumbangan beliau selalu menolak dan mengembalikan sumbangan tersebut. Itulah sekilas tentang kesederhanaan dan keteguhan sikap Buya Hamka dan Abuya Dimyati yang harus diikuti oleh generasi selanjutnya (baca; kita). Kali ini, saya tidak bermaksud ingin menulis tentang kedua ulama nusantara itu, haqqul yakin tulisan tentang Buya Hamka dan Abuya Dimyati pasti sudah banyak tersebar di mana-mana. Saya hanya ingin mencari tahu dan berusaha untuk mengupas asal-usul penamaan istilah Abuya dan Buya yang telah menjadi kata serapan dari bahasa arab, tentu hal ini tidak ada kaitannya dengan perintah Pak JK untuk mengganti istilah arab dalam perbankan syariah menjadi bahasa Indonesia. Dalam etnografi, penggunaan istilah Buya atau Abuya masuk dalam sosiologi linguistik, pemakaian suatu istilah di dalam suatu komunitas, bagaimana seseorang menggunakan istilah Buya, karena bahasa merupakan simbol bunyi yang digunakan untuk berkomunikasi, ketika seseorang mengucapkan Buya, itu asalnya untuk mengucapkan panggilan bapakku, kalau orang sunda abah, orang jawa bapak, itu semua untuk panggilan ke orangtua laki-laki. Kembali ke Buya, kalau dilihat dari sisi gramatikal bahasa arab itu sudah menyalahi grammar -kaidah nahwu-, ketika ada suatu kalimat disandarkan kepada "ya mutakallim" maka huruf akhir dari kalimat tersebut harus dibaca "kasrah", maka "abun" ketika bertemu "ya mutakallim" seharusnya dibaca "abii", lughah fashihahnya itu dibaca "abii". Tapi kemudian orang-orang arab ada yang mengucapkan "buya" atau "abuya", dari "abun" ketemu "ya mutakallim", "abun" dan "ya" dibaca seenaknya, maka menjadi "abuya", yang seharusnya dibaca "abii", mereka itu seakan-akan mengeja kalimat "a ba ya" menjadi "abuya", jadi orang arab tidak mengucapkan sesuai dengan kaidah nahwiyah, yang seharusnya "abii" tapi mengeja huruf perkata "abuya", yang kemudian masuk ke Indonesia ada yang mempersingkat menjadi "buya" dan ada yang tetap aslinya "abuya". Sebagaimana yang sudah maklum bahwa orang arab karena dilahirkan dari lingkungan yang berbahasa arab akhirnya ia mampu berbicara bahasa arab, tapi tidak semuanya bisa menguasai bahasa arab, makanya tidak aneh ketika ada orang yang membaca kalimat "abaya" menjadi "abuya" bukan "abii", karena dilihat dari mereka yang kurang menguasai tentang kaidah bahasa itu sendiri, ada istilah bahasa "darajah", yaitu bahasa "slank" bahasa pasaran, yang familiar salah satunya adalah "abuya". Dalam gramatikal bahasa arab juga dikatakan bahwa kalimat "a ba ya", "ya mutakallim" artinya yang menunjukkan kepemilikan tunggal, disandarkan kepada kalimat isim, di sana awalnya ada huruf jar "li", yang faidahnya "lam lilmilki" yang menunjukkan kepemilikan. Jadi "abi" pada asal katanya adalah "abun" + "lam" (lam dibaca li) dan "ya mutakallim". "Abun li", bapak milik saya, tapi dalam bahasa arab "abun li" itu kepanjangan, akhirnya kemudian "ya mutakallim" disandarkan kepada "ab", yang asalnya "abun li" menjadi "abi". Namun tetap meskipun "lam" dalam penulisan ini tidak ada tapi dalam makna tetap ada, walaupun "abi" tapi tetap maknanya "abun li". Jadi dalam kaidah pengidhafahan seperti itu, kalimat "abi" ayah saya, artinya ayah ini milik saya, karena di sana menyimpan huruf "jar", atau istilah lainnya preposisi atau kepemilikan. Di Indonesia, bahasa Abuya dan Buya ini menjadi kata serapan, tapi seakan-akan yang berhak dipanggil Abuya dan Buya adalah kiai atau tokoh-tokoh agama, awalnya mungkin kalau kita merunut kepada genealogi, beliau-beliau ini dulunya belajar di negeri-negeri arab atau timur tengah, ketika pulang ke Indonesia dipanggil dengan panggilan Abuya atau Buya, sedangkan masyarakat biasa tidak berani menggunakan istilah itu, karena istilah Abuya dan Buya adalah sebuah istilah yang sakral yang berhak digunakan oleh orang-orang yang berilmu tinggi. Jadi kita sudah melihat bagaimana seharusnya cara pengucapan yang benar dalam bahasa arab apakah Abuya atau Abi, dan siapakah yang berhak menyandang gelar Abuya atau Buya itu? Wallahu a'lam.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/irhamnirofiun/abuya-dan-buya-asal-usul-dan-gelar_552b3917f17e611203d623cc
Siapa yang tidak mengenal sosok Buya Hamka dan Abuya Dimyati, dua tokoh ulama nusantara yang sangat disegani, meski belum pernah bertemu tapi entah kenapa rasa takzim langsung menghinggap kepada keduanya, mungkin karena kepribadian Buya Hamka dan Abuya Dimyati yang sangat menyatu kepada hampir semua lapisan masyarakat. Buya Hamka, tokoh nasional asal Sumatera Barat yang lebih memilih meletakkan jabatan Ketua MUI Pusat karena didesak Menteri Agama -waktu itu- untuk menarik kembali fatwa haram tentang Natal Bersama bagi umat muslim. Sedangkan Abuya Dimyati adalah ulama karismatik asal Banten, mursyid tarekat Syadziliyah dan Naqsabandiyah di Indonesia, sosok yang dikenal 'wira'i dan topo dunyo', bahkan diceritakan ketika para pejabat bertamu ke kediamannya dan memberikan sumbangan beliau selalu menolak dan mengembalikan sumbangan tersebut. Itulah sekilas tentang kesederhanaan dan keteguhan sikap Buya Hamka dan Abuya Dimyati yang harus diikuti oleh generasi selanjutnya (baca; kita). Kali ini, saya tidak bermaksud ingin menulis tentang kedua ulama nusantara itu, haqqul yakin tulisan tentang Buya Hamka dan Abuya Dimyati pasti sudah banyak tersebar di mana-mana. Saya hanya ingin mencari tahu dan berusaha untuk mengupas asal-usul penamaan istilah Abuya dan Buya yang telah menjadi kata serapan dari bahasa arab, tentu hal ini tidak ada kaitannya dengan perintah Pak JK untuk mengganti istilah arab dalam perbankan syariah menjadi bahasa Indonesia. Dalam etnografi, penggunaan istilah Buya atau Abuya masuk dalam sosiologi linguistik, pemakaian suatu istilah di dalam suatu komunitas, bagaimana seseorang menggunakan istilah Buya, karena bahasa merupakan simbol bunyi yang digunakan untuk berkomunikasi, ketika seseorang mengucapkan Buya, itu asalnya untuk mengucapkan panggilan bapakku, kalau orang sunda abah, orang jawa bapak, itu semua untuk panggilan ke orangtua laki-laki. Kembali ke Buya, kalau dilihat dari sisi gramatikal bahasa arab itu sudah menyalahi grammar -kaidah nahwu-, ketika ada suatu kalimat disandarkan kepada "ya mutakallim" maka huruf akhir dari kalimat tersebut harus dibaca "kasrah", maka "abun" ketika bertemu "ya mutakallim" seharusnya dibaca "abii", lughah fashihahnya itu dibaca "abii". Tapi kemudian orang-orang arab ada yang mengucapkan "buya" atau "abuya", dari "abun" ketemu "ya mutakallim", "abun" dan "ya" dibaca seenaknya, maka menjadi "abuya", yang seharusnya dibaca "abii", mereka itu seakan-akan mengeja kalimat "a ba ya" menjadi "abuya", jadi orang arab tidak mengucapkan sesuai dengan kaidah nahwiyah, yang seharusnya "abii" tapi mengeja huruf perkata "abuya", yang kemudian masuk ke Indonesia ada yang mempersingkat menjadi "buya" dan ada yang tetap aslinya "abuya". Sebagaimana yang sudah maklum bahwa orang arab karena dilahirkan dari lingkungan yang berbahasa arab akhirnya ia mampu berbicara bahasa arab, tapi tidak semuanya bisa menguasai bahasa arab, makanya tidak aneh ketika ada orang yang membaca kalimat "abaya" menjadi "abuya" bukan "abii", karena dilihat dari mereka yang kurang menguasai tentang kaidah bahasa itu sendiri, ada istilah bahasa "darajah", yaitu bahasa "slank" bahasa pasaran, yang familiar salah satunya adalah "abuya". Dalam gramatikal bahasa arab juga dikatakan bahwa kalimat "a ba ya", "ya mutakallim" artinya yang menunjukkan kepemilikan tunggal, disandarkan kepada kalimat isim, di sana awalnya ada huruf jar "li", yang faidahnya "lam lilmilki" yang menunjukkan kepemilikan. Jadi "abi" pada asal katanya adalah "abun" + "lam" (lam dibaca li) dan "ya mutakallim". "Abun li", bapak milik saya, tapi dalam bahasa arab "abun li" itu kepanjangan, akhirnya kemudian "ya mutakallim" disandarkan kepada "ab", yang asalnya "abun li" menjadi "abi". Namun tetap meskipun "lam" dalam penulisan ini tidak ada tapi dalam makna tetap ada, walaupun "abi" tapi tetap maknanya "abun li". Jadi dalam kaidah pengidhafahan seperti itu, kalimat "abi" ayah saya, artinya ayah ini milik saya, karena di sana menyimpan huruf "jar", atau istilah lainnya preposisi atau kepemilikan. Di Indonesia, bahasa Abuya dan Buya ini menjadi kata serapan, tapi seakan-akan yang berhak dipanggil Abuya dan Buya adalah kiai atau tokoh-tokoh agama, awalnya mungkin kalau kita merunut kepada genealogi, beliau-beliau ini dulunya belajar di negeri-negeri arab atau timur tengah, ketika pulang ke Indonesia dipanggil dengan panggilan Abuya atau Buya, sedangkan masyarakat biasa tidak berani menggunakan istilah itu, karena istilah Abuya dan Buya adalah sebuah istilah yang sakral yang berhak digunakan oleh orang-orang yang berilmu tinggi. Jadi kita sudah melihat bagaimana seharusnya cara pengucapan yang benar dalam bahasa arab apakah Abuya atau Abi, dan siapakah yang berhak menyandang gelar Abuya atau Buya itu? Wallahu a'lam.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/irhamnirofiun/abuya-dan-buya-asal-usul-dan-gelar_552b3917f17e611203d623cc
Siapa yang tidak mengenal sosok Buya Hamka dan Abuya Dimyati, dua tokoh ulama nusantara yang sangat disegani, meski belum pernah bertemu tapi entah kenapa rasa takzim langsung menghinggap kepada keduanya, mungkin karena kepribadian Buya Hamka dan Abuya Dimyati yang sangat menyatu kepada hampir semua lapisan masyarakat. Buya Hamka, tokoh nasional asal Sumatera Barat yang lebih memilih meletakkan jabatan Ketua MUI Pusat karena didesak Menteri Agama -waktu itu- untuk menarik kembali fatwa haram tentang Natal Bersama bagi umat muslim. Sedangkan Abuya Dimyati adalah ulama karismatik asal Banten, mursyid tarekat Syadziliyah dan Naqsabandiyah di Indonesia, sosok yang dikenal 'wira'i dan topo dunyo', bahkan diceritakan ketika para pejabat bertamu ke kediamannya dan memberikan sumbangan beliau selalu menolak dan mengembalikan sumbangan tersebut. Itulah sekilas tentang kesederhanaan dan keteguhan sikap Buya Hamka dan Abuya Dimyati yang harus diikuti oleh generasi selanjutnya (baca; kita). Kali ini, saya tidak bermaksud ingin menulis tentang kedua ulama nusantara itu, haqqul yakin tulisan tentang Buya Hamka dan Abuya Dimyati pasti sudah banyak tersebar di mana-mana. Saya hanya ingin mencari tahu dan berusaha untuk mengupas asal-usul penamaan istilah Abuya dan Buya yang telah menjadi kata serapan dari bahasa arab, tentu hal ini tidak ada kaitannya dengan perintah Pak JK untuk mengganti istilah arab dalam perbankan syariah menjadi bahasa Indonesia. Dalam etnografi, penggunaan istilah Buya atau Abuya masuk dalam sosiologi linguistik, pemakaian suatu istilah di dalam suatu komunitas, bagaimana seseorang menggunakan istilah Buya, karena bahasa merupakan simbol bunyi yang digunakan untuk berkomunikasi, ketika seseorang mengucapkan Buya, itu asalnya untuk mengucapkan panggilan bapakku, kalau orang sunda abah, orang jawa bapak, itu semua untuk panggilan ke orangtua laki-laki. Kembali ke Buya, kalau dilihat dari sisi gramatikal bahasa arab itu sudah menyalahi grammar -kaidah nahwu-, ketika ada suatu kalimat disandarkan kepada "ya mutakallim" maka huruf akhir dari kalimat tersebut harus dibaca "kasrah", maka "abun" ketika bertemu "ya mutakallim" seharusnya dibaca "abii", lughah fashihahnya itu dibaca "abii". Tapi kemudian orang-orang arab ada yang mengucapkan "buya" atau "abuya", dari "abun" ketemu "ya mutakallim", "abun" dan "ya" dibaca seenaknya, maka menjadi "abuya", yang seharusnya dibaca "abii", mereka itu seakan-akan mengeja kalimat "a ba ya" menjadi "abuya", jadi orang arab tidak mengucapkan sesuai dengan kaidah nahwiyah, yang seharusnya "abii" tapi mengeja huruf perkata "abuya", yang kemudian masuk ke Indonesia ada yang mempersingkat menjadi "buya" dan ada yang tetap aslinya "abuya". Sebagaimana yang sudah maklum bahwa orang arab karena dilahirkan dari lingkungan yang berbahasa arab akhirnya ia mampu berbicara bahasa arab, tapi tidak semuanya bisa menguasai bahasa arab, makanya tidak aneh ketika ada orang yang membaca kalimat "abaya" menjadi "abuya" bukan "abii", karena dilihat dari mereka yang kurang menguasai tentang kaidah bahasa itu sendiri, ada istilah bahasa "darajah", yaitu bahasa "slank" bahasa pasaran, yang familiar salah satunya adalah "abuya". Dalam gramatikal bahasa arab juga dikatakan bahwa kalimat "a ba ya", "ya mutakallim" artinya yang menunjukkan kepemilikan tunggal, disandarkan kepada kalimat isim, di sana awalnya ada huruf jar "li", yang faidahnya "lam lilmilki" yang menunjukkan kepemilikan. Jadi "abi" pada asal katanya adalah "abun" + "lam" (lam dibaca li) dan "ya mutakallim". "Abun li", bapak milik saya, tapi dalam bahasa arab "abun li" itu kepanjangan, akhirnya kemudian "ya mutakallim" disandarkan kepada "ab", yang asalnya "abun li" menjadi "abi". Namun tetap meskipun "lam" dalam penulisan ini tidak ada tapi dalam makna tetap ada, walaupun "abi" tapi tetap maknanya "abun li". Jadi dalam kaidah pengidhafahan seperti itu, kalimat "abi" ayah saya, artinya ayah ini milik saya, karena di sana menyimpan huruf "jar", atau istilah lainnya preposisi atau kepemilikan. Di Indonesia, bahasa Abuya dan Buya ini menjadi kata serapan, tapi seakan-akan yang berhak dipanggil Abuya dan Buya adalah kiai atau tokoh-tokoh agama, awalnya mungkin kalau kita merunut kepada genealogi, beliau-beliau ini dulunya belajar di negeri-negeri arab atau timur tengah, ketika pulang ke Indonesia dipanggil dengan panggilan Abuya atau Buya, sedangkan masyarakat biasa tidak berani menggunakan istilah itu, karena istilah Abuya dan Buya adalah sebuah istilah yang sakral yang berhak digunakan oleh orang-orang yang berilmu tinggi. Jadi kita sudah melihat bagaimana seharusnya cara pengucapan yang benar dalam bahasa arab apakah Abuya atau Abi, dan siapakah yang berhak menyandang gelar Abuya atau Buya itu? Wallahu a'lam.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/irhamnirofiun/abuya-dan-buya-asal-usul-dan-gelar_552b3917f17e611203d623cc

1 komentar:

  1. The Best Titanium Cross Neck Necklace for Men
    Buy T-Shirt T-Shirts with Titanium Cross Necklace online ford edge titanium 2021 at best price at titanium white dominus price T-Shirt T-Shirt T-Shirt T-Shirt T-Shirt surgical steel vs titanium T-Shirt chi titanium flat irons T-Shirt T-Shirt T-Shirt T-Shirt titanium necklace T-Shirt T-Shirt

    BalasHapus