HM Laily Mansur |
Bagi
para kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) namanya sering
disebut, khususnya pada momentum Hari Lahir (Harlah) Banom Mahasiswa NU
tersebut. Laily Mansur, demikian namanya tertera pada 13 tokoh yang ikut
dalam proses pendirian PMII pada tahun 1960. Namun, siapakah sebenarnya
HM Laily Mansur?
Dari penelusuran
NU Online, baik melalui penuturan salah seorang kawannya, ketika ia
kuliah di Perguruan Tinggi Islam Nahdlatul Ulama (PTINU, kini menjadi
UNU Surakarta) Kota Surakarta, maupun dari sumber lainnya ketika ia
berkiprah di Kanwil Depag Kalsel dan IAIN Antasari, tokoh yang memiliki
nama lengkap H Muhammad Laily Mansur ini berasal dari Desa Pematang
Benteng Alabio, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.
“Saya
masih ingat, Laily Mansur, asli Kalimantan, orangnya semangat sekali
saat berpidato,” kenang salah satu sahabatnya di Kulliyatul Qadla PTINU
tahun 1958, Hj Aminatun, kala NU Online menyambangi rumahnya di Laweyan Surakarta.
Jalan
hidup Laily Mansur yang lahir pada 6 Juni 1937 dalam meraih kesuksesan
penuh dengan kisah tragedi. Ayah Laily, H Mansur bin H Seman bin Abu
Kasim, seorang ulama (tuan guru) terkenal di Alabio yang hidup tahun
1845 sampai 1959. H Mansur dikaruniai tujuh anak, yaitu: Siti Sapura, HM
Afenan, Zubaidah, Adawiyah, Salahuddin, Muhammad Ali, dan terakhir
Laily Mansur. H Mansur dikenal sebagai ulama yang terkenal hidup
sederhana atau bahkan tergolong ekonomi lemah.
Semangat menimba ilmu
Meski
demikian, kondisi lemah ekonmi tersebut tak mengurangi semangat Laily
untuk menuntut ilmu pengetahuan. Hal ini terlihat dengan kemauannya
mencari ilmu sejak di kampung halaman, hingga ke luar daerah kendati
tanpa dukungan dana yang memadai dari orang tuanya.
Sebelum
ia kuliah di Solo, pendidikan yang pernah ia tempuh bermula dari
Sekolah Rakyat yang ada di kampungnya ketika ia berusia enam setengah
tahun. Setelah menempuh kurang lebih 6 tahun ia pun menamatkan sekolah
ini tahun 1952. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan ke Sekolah
Menengah Islam Pertama (SMIP) di Alabio.
Setelah
tamat SMIP di Alabio, ia berkeinginan meneruskan sekolah ke luar daerah
yakni ke Jawa. Walaupun dana dari orang tua sangat minim untuk
menunjang keinginannya itu, namun berkat bantuan dari beberapa anggota
keluarga dan juga masyarakat yang berkemampuan, keinginan itupun
akhirnya dapat terealisasi. Laily Mansur dengan bekal seadanya berangkat
ke Semarang dan memasuki pendidikan di Sekolah Menengah Atas Bagian C
(ekonomi).
Pada tahun 1958, ia meneruskan
pendidikan di Fakultas Hukum Islam atau Kuliyatul Qadla di UNU
Surakarta. Pada masa ini pula, Laily menorehkan sejarahnya sebagai salah
satu dari 13 pendiri PMII.
Menjelang
berdirinya PMII tahun 1960, Laily ikut aktif bersama Mustahal Ahmad dan
kawan-kawannya di PTAINU dalam perkumpulam Keluarga Mahasiswa NU
Surakarta. Sebelumnya, komunitas tersebut dirintis Mustahal Ahmad,
seorang mahasiswa Fakultas Syariah Universitas Cokroaminoto Surakarta,
pada tahun 1955.
Bersama Nuril Huda Suaidi,
Laily Mansur menjadi utusan dari Surakarta untuk mengikuti musyawarah
mahasiswa NU se-Indonesia di Surabaya pada April 1960, yang kelak
menghasilkan keputusan terbentuknya PMII.
Ketika
PMII benar-benar lahir, Solo menjadi salah satu deklarator, ada juga
tiga universitas yang ikut menyokong berdirinya PMII di Solo, yaitu
Universitas Cokroaminoto (Pada tahun 1975 dileburkan menjadi AAN sebelum
menjadi Universitas Sebelas Maret atau UNS), PTAINU, dan Universitas
Islam Indonesia (sekarang SMA al-Islam Solo). PMII Solo akhirnya
dideklarasikan di Loji Wetan pada akhir November 1960.
Pengabdian hingga akhir hayat
Pada
tahun 1962, Laily Mansur berangkat kuliah di Jurusan Filsafat Fakultas
Ushuluddin Universitas al Azhar Mesir. Setelah belajar beberapa tahun ia
pun dapat menyelesaikan kuliahnya dan memperoleh gelar Lission of
Philosofi (L.Ph) pada tahun 1967.
Setelah
berhasil menempuh pendidikan di Mesir tahun 1967, ia pun kembali ke
kampung halaman. Setelah berada di kampung halaman, beberapa bulan
kemudian, Laily menikah dengan gadis yang masih tergolong tetangganya,
yaitu Siti Asiah puteri K.H. Baderun, seorang ulama terkemuka di
Kabupaten Hulu Sungai Utara yang juga mantan Qadli di Amuntai, dan
karenanya masyarakat sering menyebut beliau dengan gelar “Tuan Qadli”.
Dari perkawinannya itu, ia dikaruniai enam orang anak yang terdiri atas
tiga putra dan tiga putri yaitu Hadiannor, Muzainah, Irfannoor, Nida
Fitria, Mona Rahmawati, dan Ahmad Zaki.
Laily
mengabdikan diri di masyarakat dengan mengajar di Madrasah Tsanawiyah
Swasta di desa Sungai Tabukan Alabio. Selain itu, ia juga mengajar di
PGA Alabio dan sekarang diubah namanya menjadi Pesantren Asy-Syafi’iyah.
Pada kedua sekolah/madrasah ini, Laily mengajar selama dua tahun yaitu
tahun 1968 dan 1969. pada tahun kedua ia juga mulai ikut memberi kuliah
di Fakultas Ushuluddin di Amuntai.
Pada tahun
1971, ia diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil pada Fakultas Ushuluddin
Amuntai. Dengan diangkatnya sebagai pegawai, Laily pun domisili ke
Amuntai dan berhenti mengajar pada kedua madrasah tadi. Kemudian dengan
tak diduga sebelumnya, pada tahun 1973, Laily diangkat menjadi pejabat
Kepala Kantor Perwakilan Departemen Agama Kabupaten Hulu Sungai Utara,
walaupun pangkatnya baru Penata Muda (III/a). jabatan ini tidak lama
dipegangnya sekitar satu tahun.
Sebagai tokoh
ulama, HM Laily Mansur juga aktif mengisi ceramah di berbagai forum. Hal
ini didukung oleh kedalaman ilmu keislamannya dalam beberapa aspek
terutama ilmu kalam, filsafat dan tasawuf. Performa sebagai ulama
merupakan paduan antara ulama tradisional dengan modern. Sebagai ulama
tradisional ditandai kedekatannya dengan pengajian kitab-kitab kuning
(klasik) dan tidak asing memakai sorban dan jubah jika diperlukan, dan
beliau pakarnya dalam faham dan pemikiran Ahlussunnah wal Jamaah
(Aswaja).
Pada tahun 1974 ia diangkat menjadi
Dekan Fakultas Ushuluddin Amuntai. Jabatan ini berlangsung hingga tahun
1977. Karirnya dalam pemerintahan terus meningkat. Laily kemudian
diangkat menjadi Wakil Rektor II IAIN Antasari Banjarmasin. Jabatan ini
membidangi masalah kepegawaian dan keuangan. Ia dipercaya menjabat Wakil
Rektor II ini dari tahun 1977 sampai tahun 1983. Kemudian menjadi Dekan
Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin. Jabatan ini dipegangnya
selama dua periode yaitu dari 1983 sampai 1990.
Setelah
masa jabatan Dekan tersebut berakhir, ia pun hanya menjadi dosen.
Kemudian tahun 1996, Departemen Agama di Jakarta memberi kepercayaan
mengangkat Laily menjadi Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama
Kalimantan Selatan. Jabatan ini dipegangnya dua tahun, sampai tahun
1997. inilah jabatannya yang terakhir, karena beberapa bulan kemudian ia
berpulang ke rahmatullah.
Laily meningal dunia
pada hari Selasa tanggal 4 Agustus 1988 sekitar pukul 11.00 WITA siang.
jemazahnya dimakamkan di pemakaman Alkah Kerukunan Warga Amuntai
Banjarmasin (KWAB) di Jalan A. Yani km. 22 Banjarbaru. (Ajie Najmuddin)
Dari berbagai sumber.
Penggalian data: wawancara dengan Hj Aminatun, 11 Mei 2015 di Sondakan, Laweyan, Surakarta.
Bagi
para kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) namanya sering
disebut, khususnya pada momentum Hari Lahir (Harlah) Banom Mahasiswa NU
tersebut. Laily Mansur, demikian namanya tertera pada 13 tokoh yang ikut
dalam proses pendirian PMII pada tahun 1960. Namun, siapakah sebenarnya
HM Laily Mansur?
Dari penelusuran
NU Online, baik melalui penuturan salah seorang kawannya, ketika ia
kuliah di Perguruan Tinggi Islam Nahdlatul Ulama (PTINU, kini menjadi
UNU Surakarta) Kota Surakarta, maupun dari sumber lainnya ketika ia
berkiprah di Kanwil Depag Kalsel dan IAIN Antasari, tokoh yang memiliki
nama lengkap H Muhammad Laily Mansur ini berasal dari Desa Pematang
Benteng Alabio, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.
“Saya
masih ingat, Laily Mansur, asli Kalimantan, orangnya semangat sekali
saat berpidato,” kenang salah satu sahabatnya di Kulliyatul Qadla PTINU
tahun 1958, Hj Aminatun, kala NU Online menyambangi rumahnya di Laweyan Surakarta.
Jalan
hidup Laily Mansur yang lahir pada 6 Juni 1937 dalam meraih kesuksesan
penuh dengan kisah tragedi. Ayah Laily, H Mansur bin H Seman bin Abu
Kasim, seorang ulama (tuan guru) terkenal di Alabio yang hidup tahun
1845 sampai 1959. H Mansur dikaruniai tujuh anak, yaitu: Siti Sapura, HM
Afenan, Zubaidah, Adawiyah, Salahuddin, Muhammad Ali, dan terakhir
Laily Mansur. H Mansur dikenal sebagai ulama yang terkenal hidup
sederhana atau bahkan tergolong ekonomi lemah.
Semangat menimba ilmu
Meski
demikian, kondisi lemah ekonmi tersebut tak mengurangi semangat Laily
untuk menuntut ilmu pengetahuan. Hal ini terlihat dengan kemauannya
mencari ilmu sejak di kampung halaman, hingga ke luar daerah kendati
tanpa dukungan dana yang memadai dari orang tuanya.
Sebelum
ia kuliah di Solo, pendidikan yang pernah ia tempuh bermula dari
Sekolah Rakyat yang ada di kampungnya ketika ia berusia enam setengah
tahun. Setelah menempuh kurang lebih 6 tahun ia pun menamatkan sekolah
ini tahun 1952. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan ke Sekolah
Menengah Islam Pertama (SMIP) di Alabio.
Setelah
tamat SMIP di Alabio, ia berkeinginan meneruskan sekolah ke luar daerah
yakni ke Jawa. Walaupun dana dari orang tua sangat minim untuk
menunjang keinginannya itu, namun berkat bantuan dari beberapa anggota
keluarga dan juga masyarakat yang berkemampuan, keinginan itupun
akhirnya dapat terealisasi. Laily Mansur dengan bekal seadanya berangkat
ke Semarang dan memasuki pendidikan di Sekolah Menengah Atas Bagian C
(ekonomi).
Pada tahun 1958, ia meneruskan
pendidikan di Fakultas Hukum Islam atau Kuliyatul Qadla di UNU
Surakarta. Pada masa ini pula, Laily menorehkan sejarahnya sebagai salah
satu dari 13 pendiri PMII.
Menjelang
berdirinya PMII tahun 1960, Laily ikut aktif bersama Mustahal Ahmad dan
kawan-kawannya di PTAINU dalam perkumpulam Keluarga Mahasiswa NU
Surakarta. Sebelumnya, komunitas tersebut dirintis Mustahal Ahmad,
seorang mahasiswa Fakultas Syariah Universitas Cokroaminoto Surakarta,
pada tahun 1955.
Bersama Nuril Huda Suaidi,
Laily Mansur menjadi utusan dari Surakarta untuk mengikuti musyawarah
mahasiswa NU se-Indonesia di Surabaya pada April 1960, yang kelak
menghasilkan keputusan terbentuknya PMII.
Ketika
PMII benar-benar lahir, Solo menjadi salah satu deklarator, ada juga
tiga universitas yang ikut menyokong berdirinya PMII di Solo, yaitu
Universitas Cokroaminoto (Pada tahun 1975 dileburkan menjadi AAN sebelum
menjadi Universitas Sebelas Maret atau UNS), PTAINU, dan Universitas
Islam Indonesia (sekarang SMA al-Islam Solo). PMII Solo akhirnya
dideklarasikan di Loji Wetan pada akhir November 1960.
Pengabdian hingga akhir hayat
Pada
tahun 1962, Laily Mansur berangkat kuliah di Jurusan Filsafat Fakultas
Ushuluddin Universitas al Azhar Mesir. Setelah belajar beberapa tahun ia
pun dapat menyelesaikan kuliahnya dan memperoleh gelar Lission of
Philosofi (L.Ph) pada tahun 1967.
Setelah
berhasil menempuh pendidikan di Mesir tahun 1967, ia pun kembali ke
kampung halaman. Setelah berada di kampung halaman, beberapa bulan
kemudian, Laily menikah dengan gadis yang masih tergolong tetangganya,
yaitu Siti Asiah puteri K.H. Baderun, seorang ulama terkemuka di
Kabupaten Hulu Sungai Utara yang juga mantan Qadli di Amuntai, dan
karenanya masyarakat sering menyebut beliau dengan gelar “Tuan Qadli”.
Dari perkawinannya itu, ia dikaruniai enam orang anak yang terdiri atas
tiga putra dan tiga putri yaitu Hadiannor, Muzainah, Irfannoor, Nida
Fitria, Mona Rahmawati, dan Ahmad Zaki.
Laily
mengabdikan diri di masyarakat dengan mengajar di Madrasah Tsanawiyah
Swasta di desa Sungai Tabukan Alabio. Selain itu, ia juga mengajar di
PGA Alabio dan sekarang diubah namanya menjadi Pesantren Asy-Syafi’iyah.
Pada kedua sekolah/madrasah ini, Laily mengajar selama dua tahun yaitu
tahun 1968 dan 1969. pada tahun kedua ia juga mulai ikut memberi kuliah
di Fakultas Ushuluddin di Amuntai.
Pada tahun
1971, ia diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil pada Fakultas Ushuluddin
Amuntai. Dengan diangkatnya sebagai pegawai, Laily pun domisili ke
Amuntai dan berhenti mengajar pada kedua madrasah tadi. Kemudian dengan
tak diduga sebelumnya, pada tahun 1973, Laily diangkat menjadi pejabat
Kepala Kantor Perwakilan Departemen Agama Kabupaten Hulu Sungai Utara,
walaupun pangkatnya baru Penata Muda (III/a). jabatan ini tidak lama
dipegangnya sekitar satu tahun.
Sebagai tokoh
ulama, HM Laily Mansur juga aktif mengisi ceramah di berbagai forum. Hal
ini didukung oleh kedalaman ilmu keislamannya dalam beberapa aspek
terutama ilmu kalam, filsafat dan tasawuf. Performa sebagai ulama
merupakan paduan antara ulama tradisional dengan modern. Sebagai ulama
tradisional ditandai kedekatannya dengan pengajian kitab-kitab kuning
(klasik) dan tidak asing memakai sorban dan jubah jika diperlukan, dan
beliau pakarnya dalam faham dan pemikiran Ahlussunnah wal Jamaah
(Aswaja).
Pada tahun 1974 ia diangkat menjadi
Dekan Fakultas Ushuluddin Amuntai. Jabatan ini berlangsung hingga tahun
1977. Karirnya dalam pemerintahan terus meningkat. Laily kemudian
diangkat menjadi Wakil Rektor II IAIN Antasari Banjarmasin. Jabatan ini
membidangi masalah kepegawaian dan keuangan. Ia dipercaya menjabat Wakil
Rektor II ini dari tahun 1977 sampai tahun 1983. Kemudian menjadi Dekan
Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin. Jabatan ini dipegangnya
selama dua periode yaitu dari 1983 sampai 1990.
Setelah
masa jabatan Dekan tersebut berakhir, ia pun hanya menjadi dosen.
Kemudian tahun 1996, Departemen Agama di Jakarta memberi kepercayaan
mengangkat Laily menjadi Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama
Kalimantan Selatan. Jabatan ini dipegangnya dua tahun, sampai tahun
1997. inilah jabatannya yang terakhir, karena beberapa bulan kemudian ia
berpulang ke rahmatullah.
Laily meningal dunia
pada hari Selasa tanggal 4 Agustus 1988 sekitar pukul 11.00 WITA siang.
jemazahnya dimakamkan di pemakaman Alkah Kerukunan Warga Amuntai
Banjarmasin (KWAB) di Jalan A. Yani km. 22 Banjarbaru. (Ajie Najmuddin)
Dari berbagai sumber.
Penggalian data: wawancara dengan Hj Aminatun, 11 Mei 2015 di Sondakan, Laweyan, Surakarta.
0 komentar:
Posting Komentar