Selasa, 29 Maret 2016

Suwuk diperbolehkan dalam Syariat Islam

Setiap penyakit pasti ada obatnya, begitulah sabda Nabi Muhammad Saw dalam sebuah hadits. Untuk mendapatkan obat dari suatu penyakit, berbagai Ikhtiar dilakukan oleh manusia. Ada yang ke dokter, ada yang ke dukun dan ada pula ke Kiai. Masyarakat desa kalau salah satu keluarganya terkena penyakit biasanya mereka berobat kepada Kiai setempat untuk minta air sebagai obat penyembuh sakit. Dan sang kiai biasanya memberikan air putih dengan dibacakan doa tertentu.
 
Suwuk adalah amalan meniup air minum dengan bacaan surat Alfatihah atau ditambahan dengan doa tertentu. Istilah suwuk ini sudah menjadi bahasa resmi secara turun menurun di kalangan pesantren khususnya di Pulau Jawa.

Adapun tujuan suwuk itu adalah mencari keberkahan dari bacaan surat Alfatihah tersebut, antara lain untuk pengobatan alternatif, atau untuk hajat-hajat yang bersifat mubah (boleh menurut syariat), semisal ingin menjadikan anak kandungnya sebagai anak yang shalih dengan memintakan air minum suwuk ini kepada orang shalih atau ulama.


Di lingkungan pesantren, yang sering melakukan suwuk itu adalah para Kyai pemangku atau pengasuh pesanten, dengan niatan demi keberkahan para jama’ah yang ikut mengaji di pesantren tersebut, atau para tetamu yang membutuhkan bantuan sang Kyai.

Adapun amalan suwuk ini, aslinya bermula dari ijtihad shahabat, yang sebelumnya tidak pernah diajarkan terlebih dahulu baik oleh Alquran maupun Hadits, lantas hasil ijtihadnya itu dibenarkan oleh Rasulullah SAW. (Jadi termasuk amalan Bid’ah Hasanah).
Abu Sa’id Al-Khudri RA menceritakan, beberapa orang shahabat Nabi SAW pergi dan bermalam di suatu kampung. Disana mereka minta dijamu sebagai tamu, tetapi tidak seorang pun dari penduduk kampung itu yang memenuhinya.

Secara kebetulan saat itu pembesar kampung tersebut disengat binatang kalajengking, dan telah banyak orang yang mengusahakan obat ke sana kemari, namun sengatan kalajengking itu tidak kunjung sembuh juga. Akhirnya beberapa orang kampung tersebut menemui para shahabat tadi dan meminta pertolongan.

“Saya akan mencoba mengobatinya,” jawab salah seorang shahabat. “Tetapi karena kalian tidak mau menjamu kami, maka kami mau mengobatinya jika kalian sudi memberi upah.”
Orang kampung itu menyanggupi akan memberinya upah. Kemudian shahabat tadi membacakan Surat Al-Fatihah, lalu meniupkannya di kepala si sakit.
Atas izin Allah SWT, penyakit pembesar kampung itupun menjadi sembuh. Lantas orang-orang kampung itu mengupahinya dengan sejumlah kambing.
Ketika pulang ke Madinah, para shahabat menceritakan peristiwa itu kepada Rasululah SAW.
“Beruntunglah kalian,” komentar Rasulullah SAW sambil tersenyum. “Bagi-Bagikanlah, dan berilah aku bagiannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).


Jadi, tidak semua amal kebaikan yang bernilai ibadah itu harus berdasarkan ayat Alquran atau Hadits secara tekstual, sebagaimana yang diasumsikan oleh kaum Salafi Wahhabi.
Namun selagi amalan itu mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan syariat secara dhahir, maka umat Islam itu boleh mengamalkannya, seperti melaksanakan praktek suwuk yang terkenal di kalangan pesantren-pesantren di Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar