KH Anwar Zahid, pendakwah kondang asal Bojonegoro, Jawa Timur, menuturkan bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ketika kalian mendapati taman-taman surga maka bergabunglah. Majelis-majelis ilmu dan dzikir itu adalah taman surga Allah.
<>
"Kita diingatkan agar cinta kepada Allah, Rasul dan cinta atas nikmat Allah. Di majelis seperti ini kita berkumpul dengan orang sholeh dan sholehah. Kalau sudah berkumpul dengan orang sholeh dan dekat dengan Allah, hati kita akan mampu meneladani sifat Rasulullah," tutur Kiai Anwar di halaman Masjid Nur Rahmah Perum Magersari Sidoarjo, Sabtu (12/12) malam.
Kiai Anwar menjelaskan alasan kenapa majelis ilmu dan dzikir diartikan sebagai taman surga. Menurutnya, karena dalam majelis tersebut dibacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an, shalawat Nabi Muhammad, yang langsung naik ke langit menembus sampai ke arsy (langit lapis tujuh).
"Kalau sudah cinta seperti ini, akan mendapatkan anugerah dua hal. Pertama panen rahmat dari Allah. Kedua, panen maghfirullah atau pengampunan dari Allah. Kedua ini menjadi target manusia hidup di dunia ini," jelasnya.
Lebih jauh Kiai Anwar memaparkan, di era para sahabat Nabi dulu tidak ada peringatan seperti ini, lantas kenapa sekarang ada? Katanya, untuk menumbuhkan rasa cinta kita kepada Allah. Baginya, kecintaan sahabat kepada Rasul sudah terbukti sehingga tidak diadakan peringatan Maulid Nabi. Sahabat-sahabat itu merupakan saksi hidup perjalanan Rasulullah.
"Agar kita mengenal Rasul, dari perjalanan hidupnya. Maka perlu mengadakan acara seperti ini. Kalau tidak diadakan acara seperti ini, kapan kita mulai mencintai Nabi. Pepatah menyebutkan, tak kenal maka tak sayang," paparnya.
Untuk mendapatkan rahmat dan maghfirah Allah, modalnya adalah ittiba’ kepada Nabi dan menjalani perintah Rasulullah. Agar cintanya betul-betul menempel, harus didasari dengan rasa cinta.
"Dengan cinta, yang jauh menjadi dekat, dengan cinta yang berat menjadi ringan, dengan cinta yang murah dan rendah menjadi tinggi," tutup Kiai Anwar. (Moh Kholidun/Mahbib)
Senin, 12 Desember 2016
Jumat, 09 Desember 2016
Elang dan Kalkun
Konon di satu saat yang telah lama berlalu, Elang dan Kalkun adalah
burung yang menjadi teman yang baik. Dimanapun mereka berada, kedua
teman selalu pergi bersama-sama. Tidak aneh bagi manusia untuk melihat
Elang dan Kalkun terbang bersebelahan melintasi udara bebas.
Satu hari ketika mereka terbang, Kalkun berbicara pada Elang, “Mari
kita turun dan mendapatkan sesuatu untuk dimakan. Perut saya sudah
keroncongan nih!”. Elang membalas, “Kedengarannya ide yang bagus”.
Jadi kedua burung melayang turun ke bumi, melihat beberapa binatang
lain sedang makan dan memutuskan bergabung dengan mereka. Mereka
mendarat dekat dengan seekor Sapi. Sapi ini tengah sibuk makan
jagung,namun sewaktu memperhatikan bahwa ada Elang dan Kalkun sedang
berdiri dekat dengannya, Sapi berkata, “Selamat datang, silakan cicipi
jagung manis ini”.
Ajakan ini membuat kedua burung ini terkejut. Mereka tidak biasa jika
ada binatang lain berbagi soal makanan mereka dengan mudahnya. Elang
bertanya, “Mengapa kamu bersedia membagikan jagung milikmu bagi kami?”.
Sapi menjawab, “Oh, kami punya banyak makanan disini. Tuan Petani
memberikan bagi kami apapun yang kami inginkan”. Dengan undangan itu,
Elang dan Kalkun menjadi terkejut dan menelan ludah. Sebelum selesai,
Kalkun menanyakan lebih jauh tentang Tuan Petani.
Sapi menjawab, “Yah, dia menumbuhkan sendiri semua makanan kami. Kami
sama sekali tidak perlu bekerja untuk makanan”. Kalkun tambah bingung,
“Maksud kamu, Tuan Petani itu memberikan padamu semua yang ingin kamu
makan?”. Sapi menjawab, “Tepat sekali!. Tidak hanya itu, dia juga
memberikan pada kami tempat untuk tinggal.” Elang dan Kalkun menjadi
syok berat!. Mereka belum pernah mendengar hal seperti ini. Mereka
selalu harus mencari makanan dan bekerja untuk mencari naungan.
Ketika datang waktunya untuk meninggalkan tempat itu, Kalkun dan
Elang mulai berdiskusi lagi tentang situasi ini. Kalkun berkata pada
Elang, “Mungkin kita harus tinggal di sini. Kita bisa mendapatkan semua
makanan yang kita inginkan tanpa perlu bekerja. Dan gudang yang disana
cocok dijadikan sarang seperti yang telah pernah bangun. Disamping itu
saya telah lelah bila harus selalu bekerja untuk dapat hidup.”
Elang juga goyah dengan pengalaman ini, “Saya tidak tahu tentang
semua ini. Kedengarannya terlalu baik untuk diterima. Saya menemukan
semua ini sulit untuk dipercaya bahwa ada pihak yang mendapat sesuatu
tanpa mbalan. Disamping itu saya lebih suka terbang tinggi dan bebas
mengarungi langit luas. Dan bekerja untuk menyediakan makanan dan tempat
bernaung tidaklah terlalu buruk. Pada kenyataannya, saya menemukan hal
itu sebagai tantangan menarik”.
Akhirnya, Kalkun memikirkan semuanya dan memutuskan untuk menetap
dimana ada makanan gratis dan juga naungan. Namun Elang memutuskan bahwa
ia amat mencintai kemerdekaannya dibanding menyerahkannya begitu saja.
Ia menikmati tantangan rutin yang membuatnya hidup. Jadi setelah
mengucapkan selamat berpisah untuk teman lamanya Si Kalkun, Elang
menetapkan penerbangan untuk petualangan baru yang ia tidak ketahui
bagaimana ke depannya.
Semuanya berjalan baik bagi Si Kalkun. Dia makan semua yang ia
inginkan. Dia tidak pernah bekerja. Dia bertumbuh menjadi burung gemuk
dan malas. Namun suatu hari dia mendengar istri Tuan Petani menyebutkan
bahwa Hari raya Thanks giving akan datang beberapa hari lagi dan
alangkah indahnya jika ada hidangan Kalkun panggang untuk makan malam.
Mendengar hal itu, Si Kalkun memutuskan sudah waktunya untuk pergi dari
pertanian itu dan bergabung kembali dengan teman baiknya, si Elang.
Namun ketika dia berusaha untuk terbang, dia menemukan bahwa ia telah
tumbuh terlalu gemuk dan malas. Bukannya dapat terbang, dia justru
hanya bisa mengepak-ngepakkan sayapnya. Akhirnya di Hari Thanks giving
keluarga Tuan Petani duduk bersama menghadapi panggang daging Kalkun
besar yang sedap.
Ketika anda menyerah pada tantangan hidup dalam pencarian keamanan,
anda mungkin sedang menyerahkan kemerdekaan anda…Dan Anda akan
menyesalinya setelah segalanya berlalu dan tidak ada KESEMPATAN lagi…
Seperti pepatah kuno “selalu ada keju gratis dalam perangkap tikus”.
Kisah Wali Allah Yang Bertemu Nabi Khidzir AS
KISAH 1
Diceritakan
bahwa Syekh Bisyr pernah bertemu dengan Nabi Khidzir as. Beliau berkata kepada
Nabi Khidzir “Wahai Nabi Khidzir,
berdoalah kepada Allah untuk diriku !”. Nabi Khidzir pun berdoa “Semoga Allah memudahkanmu agar kamu selalu
taat kepada-Nya”. Kemudian Syekh
Bisyr berkata lagi “Tambahkanlah doamu
untuku Wahai Nabi KLhidzir !”. Nabi Khidzir pun berdoa “Semoga Allah menutupi taatmu kepada-Nya”.
Makna dari doa Nabi Khidzir kedua adalah agar orang lain tidak mengetahui
ketaatan Syekh Bisyr kepada Allah, hanya Allah saja yang tahu.
KISAH
2
Ada salah satu dari beberapa ulama’ salaf yang sangat rindu ingin bertemu dengan Nabi Khidzir as. Ia pun selalu berdoa kepada Allah agar mempertemukannya dengan Nabi Khidzir sekali saja. Ia ingin Nabi Khidzir mengajarkan kepadanya tentang perkara yang sangat penting di dunia ini. Pada suatu ketika, Allah membukakan hijabnya sehingga ia bisa bertemu dengan Nabi Khidzir. Karena tidak kuasa akan rasa rindu yang membara, ia pun segera mengungkapkan permintaan hatinya kepada Nabi Khidzir “Wahai Abu Abbas (Nabi Khidzir), ajarkanlah aku sesuatu yang mana ketika aku mengucapkannya maka tertutuplah hati para makhluk sehinggatidak ada seorang pun yang tahu akan kebaikan dan keluasan agamaku !”. Kemudian Nabi Khidzir mengjarkan sebuah doa kepadanya :
اللهم اسبل علي كشيف سترك وحط علي سرادقات
حجبك واجعلني في مكنون غيبك واحجبني عن قلوب الخالقين
“Ya Allah,
selimutlanlah kepadaku tebalnya tutup-Mu, selimutilah aku dengan kain hijab-Mu,
jadilaknlah aku sebagai simpanan ghaib-Mu (Seorang yang tidak dikenal), dan
halangilah diriku dari hati para makhluk”.
Kemudian Nabi
Khidzir pun menghilang entah kemana, dan ia pun tidak lagi rindu pada Nabi
Khidzir setelah pertemuan itu. Namun, ia selalu mengucapkan doa yang diajarkan Nabi
Khidzir kepadanya setiap hari. Dan
diceritakan bahwa doanya telah benar-benar terkabulkan, ia mendapatkan ujian
hidup. Ia menjadi seorang yang hina di mata orang lain, para orang kafir dhimmi
menganggap rendah, bahkan sering menyuruhnya untuk melakukan sesuatu demi
mereka, para anak-anak kecil mengolok-olok dan mempermainkannya. Namun, baginya
suatu kenikmatan adalah bersih dan kuatnya hati di dalam kehinaan dan
menyamarkan diri dari pandangan orang lain.
Ini adalah keadaan para wali dan
kekasih Allah, meski mereka rendah di hadapan manusia namun mulia di hadapan
tuhannya. Sungguh tertipu bagi mereka yang mengaku sebagai ulama dan kyai,
mereka merasa senang karena dihormati, mereka merasa nyaman karena terkenal,
mereka merasa lega karena menjadi seorang yang ahli beribadah. Sesungguhnya
kemuliaan itu jika mulia di hadapan Allah, orang yang mulia dihadapan makhluk
belum tentu mulia di hadapan Allah.
Kisah ini diambil dari Kitab Ihya' Ulumuddin karangan Imam Ghozaly, Juz 4, Hal. 236, 237.
Rabu, 07 Desember 2016
Siapakah HM Laily Mansur?
HM Laily Mansur |
Bagi
para kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) namanya sering
disebut, khususnya pada momentum Hari Lahir (Harlah) Banom Mahasiswa NU
tersebut. Laily Mansur, demikian namanya tertera pada 13 tokoh yang ikut
dalam proses pendirian PMII pada tahun 1960. Namun, siapakah sebenarnya
HM Laily Mansur?
Dari penelusuran
NU Online, baik melalui penuturan salah seorang kawannya, ketika ia
kuliah di Perguruan Tinggi Islam Nahdlatul Ulama (PTINU, kini menjadi
UNU Surakarta) Kota Surakarta, maupun dari sumber lainnya ketika ia
berkiprah di Kanwil Depag Kalsel dan IAIN Antasari, tokoh yang memiliki
nama lengkap H Muhammad Laily Mansur ini berasal dari Desa Pematang
Benteng Alabio, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.
“Saya
masih ingat, Laily Mansur, asli Kalimantan, orangnya semangat sekali
saat berpidato,” kenang salah satu sahabatnya di Kulliyatul Qadla PTINU
tahun 1958, Hj Aminatun, kala NU Online menyambangi rumahnya di Laweyan Surakarta.
Jalan
hidup Laily Mansur yang lahir pada 6 Juni 1937 dalam meraih kesuksesan
penuh dengan kisah tragedi. Ayah Laily, H Mansur bin H Seman bin Abu
Kasim, seorang ulama (tuan guru) terkenal di Alabio yang hidup tahun
1845 sampai 1959. H Mansur dikaruniai tujuh anak, yaitu: Siti Sapura, HM
Afenan, Zubaidah, Adawiyah, Salahuddin, Muhammad Ali, dan terakhir
Laily Mansur. H Mansur dikenal sebagai ulama yang terkenal hidup
sederhana atau bahkan tergolong ekonomi lemah.
Semangat menimba ilmu
Meski
demikian, kondisi lemah ekonmi tersebut tak mengurangi semangat Laily
untuk menuntut ilmu pengetahuan. Hal ini terlihat dengan kemauannya
mencari ilmu sejak di kampung halaman, hingga ke luar daerah kendati
tanpa dukungan dana yang memadai dari orang tuanya.
Sebelum
ia kuliah di Solo, pendidikan yang pernah ia tempuh bermula dari
Sekolah Rakyat yang ada di kampungnya ketika ia berusia enam setengah
tahun. Setelah menempuh kurang lebih 6 tahun ia pun menamatkan sekolah
ini tahun 1952. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan ke Sekolah
Menengah Islam Pertama (SMIP) di Alabio.
Setelah
tamat SMIP di Alabio, ia berkeinginan meneruskan sekolah ke luar daerah
yakni ke Jawa. Walaupun dana dari orang tua sangat minim untuk
menunjang keinginannya itu, namun berkat bantuan dari beberapa anggota
keluarga dan juga masyarakat yang berkemampuan, keinginan itupun
akhirnya dapat terealisasi. Laily Mansur dengan bekal seadanya berangkat
ke Semarang dan memasuki pendidikan di Sekolah Menengah Atas Bagian C
(ekonomi).
Pada tahun 1958, ia meneruskan
pendidikan di Fakultas Hukum Islam atau Kuliyatul Qadla di UNU
Surakarta. Pada masa ini pula, Laily menorehkan sejarahnya sebagai salah
satu dari 13 pendiri PMII.
Menjelang
berdirinya PMII tahun 1960, Laily ikut aktif bersama Mustahal Ahmad dan
kawan-kawannya di PTAINU dalam perkumpulam Keluarga Mahasiswa NU
Surakarta. Sebelumnya, komunitas tersebut dirintis Mustahal Ahmad,
seorang mahasiswa Fakultas Syariah Universitas Cokroaminoto Surakarta,
pada tahun 1955.
Bersama Nuril Huda Suaidi,
Laily Mansur menjadi utusan dari Surakarta untuk mengikuti musyawarah
mahasiswa NU se-Indonesia di Surabaya pada April 1960, yang kelak
menghasilkan keputusan terbentuknya PMII.
Ketika
PMII benar-benar lahir, Solo menjadi salah satu deklarator, ada juga
tiga universitas yang ikut menyokong berdirinya PMII di Solo, yaitu
Universitas Cokroaminoto (Pada tahun 1975 dileburkan menjadi AAN sebelum
menjadi Universitas Sebelas Maret atau UNS), PTAINU, dan Universitas
Islam Indonesia (sekarang SMA al-Islam Solo). PMII Solo akhirnya
dideklarasikan di Loji Wetan pada akhir November 1960.
Pengabdian hingga akhir hayat
Pada
tahun 1962, Laily Mansur berangkat kuliah di Jurusan Filsafat Fakultas
Ushuluddin Universitas al Azhar Mesir. Setelah belajar beberapa tahun ia
pun dapat menyelesaikan kuliahnya dan memperoleh gelar Lission of
Philosofi (L.Ph) pada tahun 1967.
Setelah
berhasil menempuh pendidikan di Mesir tahun 1967, ia pun kembali ke
kampung halaman. Setelah berada di kampung halaman, beberapa bulan
kemudian, Laily menikah dengan gadis yang masih tergolong tetangganya,
yaitu Siti Asiah puteri K.H. Baderun, seorang ulama terkemuka di
Kabupaten Hulu Sungai Utara yang juga mantan Qadli di Amuntai, dan
karenanya masyarakat sering menyebut beliau dengan gelar “Tuan Qadli”.
Dari perkawinannya itu, ia dikaruniai enam orang anak yang terdiri atas
tiga putra dan tiga putri yaitu Hadiannor, Muzainah, Irfannoor, Nida
Fitria, Mona Rahmawati, dan Ahmad Zaki.
Laily
mengabdikan diri di masyarakat dengan mengajar di Madrasah Tsanawiyah
Swasta di desa Sungai Tabukan Alabio. Selain itu, ia juga mengajar di
PGA Alabio dan sekarang diubah namanya menjadi Pesantren Asy-Syafi’iyah.
Pada kedua sekolah/madrasah ini, Laily mengajar selama dua tahun yaitu
tahun 1968 dan 1969. pada tahun kedua ia juga mulai ikut memberi kuliah
di Fakultas Ushuluddin di Amuntai.
Pada tahun
1971, ia diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil pada Fakultas Ushuluddin
Amuntai. Dengan diangkatnya sebagai pegawai, Laily pun domisili ke
Amuntai dan berhenti mengajar pada kedua madrasah tadi. Kemudian dengan
tak diduga sebelumnya, pada tahun 1973, Laily diangkat menjadi pejabat
Kepala Kantor Perwakilan Departemen Agama Kabupaten Hulu Sungai Utara,
walaupun pangkatnya baru Penata Muda (III/a). jabatan ini tidak lama
dipegangnya sekitar satu tahun.
Sebagai tokoh
ulama, HM Laily Mansur juga aktif mengisi ceramah di berbagai forum. Hal
ini didukung oleh kedalaman ilmu keislamannya dalam beberapa aspek
terutama ilmu kalam, filsafat dan tasawuf. Performa sebagai ulama
merupakan paduan antara ulama tradisional dengan modern. Sebagai ulama
tradisional ditandai kedekatannya dengan pengajian kitab-kitab kuning
(klasik) dan tidak asing memakai sorban dan jubah jika diperlukan, dan
beliau pakarnya dalam faham dan pemikiran Ahlussunnah wal Jamaah
(Aswaja).
Pada tahun 1974 ia diangkat menjadi
Dekan Fakultas Ushuluddin Amuntai. Jabatan ini berlangsung hingga tahun
1977. Karirnya dalam pemerintahan terus meningkat. Laily kemudian
diangkat menjadi Wakil Rektor II IAIN Antasari Banjarmasin. Jabatan ini
membidangi masalah kepegawaian dan keuangan. Ia dipercaya menjabat Wakil
Rektor II ini dari tahun 1977 sampai tahun 1983. Kemudian menjadi Dekan
Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin. Jabatan ini dipegangnya
selama dua periode yaitu dari 1983 sampai 1990.
Setelah
masa jabatan Dekan tersebut berakhir, ia pun hanya menjadi dosen.
Kemudian tahun 1996, Departemen Agama di Jakarta memberi kepercayaan
mengangkat Laily menjadi Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama
Kalimantan Selatan. Jabatan ini dipegangnya dua tahun, sampai tahun
1997. inilah jabatannya yang terakhir, karena beberapa bulan kemudian ia
berpulang ke rahmatullah.
Laily meningal dunia
pada hari Selasa tanggal 4 Agustus 1988 sekitar pukul 11.00 WITA siang.
jemazahnya dimakamkan di pemakaman Alkah Kerukunan Warga Amuntai
Banjarmasin (KWAB) di Jalan A. Yani km. 22 Banjarbaru. (Ajie Najmuddin)
Dari berbagai sumber.
Penggalian data: wawancara dengan Hj Aminatun, 11 Mei 2015 di Sondakan, Laweyan, Surakarta.
Bagi
para kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) namanya sering
disebut, khususnya pada momentum Hari Lahir (Harlah) Banom Mahasiswa NU
tersebut. Laily Mansur, demikian namanya tertera pada 13 tokoh yang ikut
dalam proses pendirian PMII pada tahun 1960. Namun, siapakah sebenarnya
HM Laily Mansur?
Dari penelusuran
NU Online, baik melalui penuturan salah seorang kawannya, ketika ia
kuliah di Perguruan Tinggi Islam Nahdlatul Ulama (PTINU, kini menjadi
UNU Surakarta) Kota Surakarta, maupun dari sumber lainnya ketika ia
berkiprah di Kanwil Depag Kalsel dan IAIN Antasari, tokoh yang memiliki
nama lengkap H Muhammad Laily Mansur ini berasal dari Desa Pematang
Benteng Alabio, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.
“Saya
masih ingat, Laily Mansur, asli Kalimantan, orangnya semangat sekali
saat berpidato,” kenang salah satu sahabatnya di Kulliyatul Qadla PTINU
tahun 1958, Hj Aminatun, kala NU Online menyambangi rumahnya di Laweyan Surakarta.
Jalan
hidup Laily Mansur yang lahir pada 6 Juni 1937 dalam meraih kesuksesan
penuh dengan kisah tragedi. Ayah Laily, H Mansur bin H Seman bin Abu
Kasim, seorang ulama (tuan guru) terkenal di Alabio yang hidup tahun
1845 sampai 1959. H Mansur dikaruniai tujuh anak, yaitu: Siti Sapura, HM
Afenan, Zubaidah, Adawiyah, Salahuddin, Muhammad Ali, dan terakhir
Laily Mansur. H Mansur dikenal sebagai ulama yang terkenal hidup
sederhana atau bahkan tergolong ekonomi lemah.
Semangat menimba ilmu
Meski
demikian, kondisi lemah ekonmi tersebut tak mengurangi semangat Laily
untuk menuntut ilmu pengetahuan. Hal ini terlihat dengan kemauannya
mencari ilmu sejak di kampung halaman, hingga ke luar daerah kendati
tanpa dukungan dana yang memadai dari orang tuanya.
Sebelum
ia kuliah di Solo, pendidikan yang pernah ia tempuh bermula dari
Sekolah Rakyat yang ada di kampungnya ketika ia berusia enam setengah
tahun. Setelah menempuh kurang lebih 6 tahun ia pun menamatkan sekolah
ini tahun 1952. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan ke Sekolah
Menengah Islam Pertama (SMIP) di Alabio.
Setelah
tamat SMIP di Alabio, ia berkeinginan meneruskan sekolah ke luar daerah
yakni ke Jawa. Walaupun dana dari orang tua sangat minim untuk
menunjang keinginannya itu, namun berkat bantuan dari beberapa anggota
keluarga dan juga masyarakat yang berkemampuan, keinginan itupun
akhirnya dapat terealisasi. Laily Mansur dengan bekal seadanya berangkat
ke Semarang dan memasuki pendidikan di Sekolah Menengah Atas Bagian C
(ekonomi).
Pada tahun 1958, ia meneruskan
pendidikan di Fakultas Hukum Islam atau Kuliyatul Qadla di UNU
Surakarta. Pada masa ini pula, Laily menorehkan sejarahnya sebagai salah
satu dari 13 pendiri PMII.
Menjelang
berdirinya PMII tahun 1960, Laily ikut aktif bersama Mustahal Ahmad dan
kawan-kawannya di PTAINU dalam perkumpulam Keluarga Mahasiswa NU
Surakarta. Sebelumnya, komunitas tersebut dirintis Mustahal Ahmad,
seorang mahasiswa Fakultas Syariah Universitas Cokroaminoto Surakarta,
pada tahun 1955.
Bersama Nuril Huda Suaidi,
Laily Mansur menjadi utusan dari Surakarta untuk mengikuti musyawarah
mahasiswa NU se-Indonesia di Surabaya pada April 1960, yang kelak
menghasilkan keputusan terbentuknya PMII.
Ketika
PMII benar-benar lahir, Solo menjadi salah satu deklarator, ada juga
tiga universitas yang ikut menyokong berdirinya PMII di Solo, yaitu
Universitas Cokroaminoto (Pada tahun 1975 dileburkan menjadi AAN sebelum
menjadi Universitas Sebelas Maret atau UNS), PTAINU, dan Universitas
Islam Indonesia (sekarang SMA al-Islam Solo). PMII Solo akhirnya
dideklarasikan di Loji Wetan pada akhir November 1960.
Pengabdian hingga akhir hayat
Pada
tahun 1962, Laily Mansur berangkat kuliah di Jurusan Filsafat Fakultas
Ushuluddin Universitas al Azhar Mesir. Setelah belajar beberapa tahun ia
pun dapat menyelesaikan kuliahnya dan memperoleh gelar Lission of
Philosofi (L.Ph) pada tahun 1967.
Setelah
berhasil menempuh pendidikan di Mesir tahun 1967, ia pun kembali ke
kampung halaman. Setelah berada di kampung halaman, beberapa bulan
kemudian, Laily menikah dengan gadis yang masih tergolong tetangganya,
yaitu Siti Asiah puteri K.H. Baderun, seorang ulama terkemuka di
Kabupaten Hulu Sungai Utara yang juga mantan Qadli di Amuntai, dan
karenanya masyarakat sering menyebut beliau dengan gelar “Tuan Qadli”.
Dari perkawinannya itu, ia dikaruniai enam orang anak yang terdiri atas
tiga putra dan tiga putri yaitu Hadiannor, Muzainah, Irfannoor, Nida
Fitria, Mona Rahmawati, dan Ahmad Zaki.
Laily
mengabdikan diri di masyarakat dengan mengajar di Madrasah Tsanawiyah
Swasta di desa Sungai Tabukan Alabio. Selain itu, ia juga mengajar di
PGA Alabio dan sekarang diubah namanya menjadi Pesantren Asy-Syafi’iyah.
Pada kedua sekolah/madrasah ini, Laily mengajar selama dua tahun yaitu
tahun 1968 dan 1969. pada tahun kedua ia juga mulai ikut memberi kuliah
di Fakultas Ushuluddin di Amuntai.
Pada tahun
1971, ia diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil pada Fakultas Ushuluddin
Amuntai. Dengan diangkatnya sebagai pegawai, Laily pun domisili ke
Amuntai dan berhenti mengajar pada kedua madrasah tadi. Kemudian dengan
tak diduga sebelumnya, pada tahun 1973, Laily diangkat menjadi pejabat
Kepala Kantor Perwakilan Departemen Agama Kabupaten Hulu Sungai Utara,
walaupun pangkatnya baru Penata Muda (III/a). jabatan ini tidak lama
dipegangnya sekitar satu tahun.
Sebagai tokoh
ulama, HM Laily Mansur juga aktif mengisi ceramah di berbagai forum. Hal
ini didukung oleh kedalaman ilmu keislamannya dalam beberapa aspek
terutama ilmu kalam, filsafat dan tasawuf. Performa sebagai ulama
merupakan paduan antara ulama tradisional dengan modern. Sebagai ulama
tradisional ditandai kedekatannya dengan pengajian kitab-kitab kuning
(klasik) dan tidak asing memakai sorban dan jubah jika diperlukan, dan
beliau pakarnya dalam faham dan pemikiran Ahlussunnah wal Jamaah
(Aswaja).
Pada tahun 1974 ia diangkat menjadi
Dekan Fakultas Ushuluddin Amuntai. Jabatan ini berlangsung hingga tahun
1977. Karirnya dalam pemerintahan terus meningkat. Laily kemudian
diangkat menjadi Wakil Rektor II IAIN Antasari Banjarmasin. Jabatan ini
membidangi masalah kepegawaian dan keuangan. Ia dipercaya menjabat Wakil
Rektor II ini dari tahun 1977 sampai tahun 1983. Kemudian menjadi Dekan
Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin. Jabatan ini dipegangnya
selama dua periode yaitu dari 1983 sampai 1990.
Setelah
masa jabatan Dekan tersebut berakhir, ia pun hanya menjadi dosen.
Kemudian tahun 1996, Departemen Agama di Jakarta memberi kepercayaan
mengangkat Laily menjadi Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama
Kalimantan Selatan. Jabatan ini dipegangnya dua tahun, sampai tahun
1997. inilah jabatannya yang terakhir, karena beberapa bulan kemudian ia
berpulang ke rahmatullah.
Laily meningal dunia
pada hari Selasa tanggal 4 Agustus 1988 sekitar pukul 11.00 WITA siang.
jemazahnya dimakamkan di pemakaman Alkah Kerukunan Warga Amuntai
Banjarmasin (KWAB) di Jalan A. Yani km. 22 Banjarbaru. (Ajie Najmuddin)
Dari berbagai sumber.
Penggalian data: wawancara dengan Hj Aminatun, 11 Mei 2015 di Sondakan, Laweyan, Surakarta.
Memaknai Guyuran Hujan dalam Aksi 212
Aksi 212 di Monas Jakarta |
Oleh Fathoni Ahmad
Tidak
ada yang mengetahui persis Presiden RI Joko Widodo akan hadir di tengah
ratusan ribu massa aksi damai 2 Desember di Monas dan sekitarnya.
Meskipun pada akhirnya, Jokowi sendiri yang memutuskan sangat perlu
hadir dan shalat Jumat bersama mereka di detik-detik terkahir menjelang
kumandang adzan.
Di antara alasan Jokowi yaitu
akankah menembus hujan deras untuk bergabung dengan mereka. Meskipun
pertanyaan ini begitu menggelitik bagi dirinya. Itulah Jokowi, sebuah
gorong-gorong saja mampu ditembusnya apalagi sekadar hujan. Hal itu
harus dilakukannya, sebab massa yang telah rapi dan tertib sudah tentu
menunggu dirinya.
Bagi Mantan Wali Kota Solo
ini, tidak menemui pendemo dalam aksi Bela Islam II pada 4 November
lalu, bukan berarti ia tidak mau berinteraksi dengan rakyatnya, tetapi
tentu hal ini hanya persoalan waktu. Terbukti pada Aksi Bela Islam III
pada 2 Desember, ia bersama para menteri dan Jenderal menembus kepungan
hujan dan merangsek ke dalam ratusan ribu kermununan massa yang telah
memadati Monas dan jalan-jalan di sekitarnya.
Data
kepolisian menyebutkan, Aksi 212 ini mencapai 200.000 orang yang datang
dari berbagai daerah. Meskipun menurut taksiran penulis, massa yang
kompak berkumpul dengan mengenakan dress code
putih-putih itu bisa mencapai 450.000 orang. Bahkan ada yang bilang
jutaan. Kemungkinan data tersebut jika digabung dengan mereka yang juga
mengadakan aksi serupa di berbagai daerah di Indonesia.
Namun
demikian, penulis tidak ingin membahas data, melainkan sebuah hujan
kerap yang menyapa massa aksi 212 di Monas. Ada yang menyebut bahwa
hujan yang turun diawali awan gelap atau mendung pekat itu akan
mengganggu massa yang dari awal khidmat mengikuti aksi.
Namun
penulis melihat, justru dengan turunnya hujan akan memberikan nuansa
lain. Apa itu? Mari sejenak mengingat materi pelajaran kimia di sekolah.
Meskipun mengandung unsur asam, air hujan juga membawa partikel yang
dapat memunculkan sensasi damai dan sejuk di tubuh manusia sehingga rasa
senang dan gembira akan mucul. Tak heran jika anak-anak kecil serasa
senang bermain di tengah guyuran hujan.
Sebagian
orang juga memaknai turunnya hujan sebagai berkah dari Yang Maha Kuasa.
Hal ini karena hujan mampu menyuburkan yang kering dan menumbuhkan yang
sedang berkembang. Hujan juga bisa mendatangkan musibah jika
intensitasnya berlebihan sehingga dapat mengakibatkan banjir, tanah
longsor, dan lain-lain. Lagi-lagi, hal ini juga bisa dilihat dari sudut
pandang berkah karena manusia diajarkan untuk merawat alam.
Bagaimana
konteksnya dengan aksi 212? Mudah sekali membacanya. Jika manusia
berkumpul di satu tempat apalagi dalam jumlah yang sangat banyak,
partikel yang ada di tengahnya hanyalah unsur panas karena pada dasarnya
manusia adalah makhluk berdarah panas. Hal itu ditambah dengan berbagai
tuntutan aksi yang seketika dapat memunculkan suasana lebih panas lagi
sehingga bisa meletupkan keributan.
Hujan kerap
yang cukup deras mengguyur massa aksi 212 tak terpungkiri adalah berkah
dari Allah SWT. Ia membuat ratusan ribu massa yang berkepala panas
menjadi dingin, dada yang membara menjadi tenang, otot-otot yang kencang
menjadi kendor, dan tulang-tulang kaku menjadi luwes kembali sehingga
aksi yang tadinya damai menjadi super damai.
Petunjuk
hujan inilah yang tadinya dinilai Jokowi sebagai rintangan untuk
bergabung dengan massa, menjadi berkah yang harus ditembus sebagai
energi positif untuk menjawab pandangan-pandangan nyinyir yang ditujukan
kepadanya yang dinilai tidak berani mendatangi para pendemo ketika aksi
4 November lalu. Lebih dari itu, persatuan dan kesatuan dalam rajutan
merah putih dan dekapan NKRI bisa tetap menjadi milik kita bersama
selamanya.
Pesan hujan yang diturunkan oleh
Allah dalam aksi 212 juga harus menjadi renungan bersama, betapa kepala
dingin, kesabaran, dan sikap tidak memaksakan kehendak harus
dikedepankan. Proses hukum tersangka Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok
yang senantiasa menjadi tuntutan aksi harus dipercayakan penuh pada
ranah hukum. Karena hal itulah yang menjadi kesepakatan bersama di
negara hukum seperti Indonesia yang sama-sama kita cintai ini.
Jika hukum sudah berjalan, serahkanlah pada prosesnya, toh
masyarakat yang menuntut bisa mengawalnya diberbagai tahapan serta
mengawasinya sebagai bagian dari transparansi. Upaya ini juga bagian
dari perwujudan supremasi hukum itu sendiri. Berbeda jika tuntutan
tersebut disertai dengan pemaksaan kehendak, yang ada hanyalah kekacauan
proses yang jelas tidak kita inginkan sebagai warga yang taat pada
konstitusi.
Para pendiri bangsa (founding fathers)
ini telah bekerja keras merancang pondasi dan dasar negara sebagai
konsensus atau kesepakatan bersama dalam membangun bangsa yang beradab.
Mereka bukanlah para pemimpin amatir, tetapi mereka adalah pemikir dan
pekerja keras yang secara ikhlas mengusir penjajah dan mendirikan negara
ini demi kelanjutan generasi yang lebih baik.
Kita sebagai pewaris para founding fathers
harus memperkuat jiwa dan mental bahwa bangsa dan negara ini mesti
dijaga kebersamaannya. Problem politik, agama, budaya, dan
entitas-entitas lain jangan sampai membuat bangsa yang telah kuat karena
kesepakatan bersama ini terpecah belah.
Kerugian
jiwa dan raga yang ditimbulkan oleh berbagai kepentingan sesaat,
apalagi begitu gencar mengatasnamakan agama hanya akan membuat Indonesia
seperti negara-negara gagal (failed states)
di berbagai kawasan di Timur Tengah. Lagi-lagi, hujan yang turun tepat
pada aksi 212 di Monas Jakarta cukup memberikan pelajaran bahwa bangsa
ini harus terus dijaga kesejukannya. Semoga!
Penulis adalah Pengajar di STAINU Jakarta, Anggota Kaukus Penulis Aliansi Kebangsaan.
Kisah Pemuda didalam Al-Quran dan Al-Hadist
Keutamaan Pemuda dalam Islam
Ikatan Remaja Masjid Ds. Kertomulyo |
Berikut adalah beberapa Ayat Al-quran dan hadis yang memuji para pemuda,
Allah berfirman :
"Maka tidak ada yang beriman kepada Musa, melainkan pemuda-pemuda dari kaumnya (Musa) dalam Keadaan takut bahwa Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya akan menyiksa mereka. Sesungguhnya Fir'aun itu berbuat sewenang-wenang di muka bumi. dan Sesungguhnya Dia Termasuk orang-orang yang melampaui batas. " (Q.S.Yunus :83)
Kemudian dalam mengisah ashhabul kahfi Allah berfirman :
"Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk. "( Q.S.Al Kahfi :13)
Allah berfirman :
Mereka berkata: "Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim ".
Maksudnya ibrahim melakukan hal ini ketika usianya masih muda remaja.
Kemudian Al-Qur'an banyak membicarakan para pemuda yang telah mengukir prestasi dalam berbagai keutamaan,antara lain adalah isma'il yang telah rela mengorbankan dirinya untuk di potong lehernya karena taat pada Allah dengan penuh kesadaran.
Al-Qur'an juga menceritakan pemuda lain kepada kita,yaitu nabi yusuf alaihissalam. Ia di tawari oleh seorang wanita yang sangat cantik untuk melakukan hubungan biologis,yang seandainya ia mau melakukannya tidak ada sesuatupun yang dapat menghalanginya. Namun nabi yusuf menolak ajakan tersebut dan memilih hidup mendekam di penjara semata-mata karena keimanannya kepada Allah SWT.
Dalam Tafsir Ibn Katsir disebutkan bahwa mayoritas orang –orang yang merespon baik seruan nabi adalah kalangan muda. Mereka diantaranya adalah Shabat Abu Bakar yang masuk Islam pada Usia 38 tahun, Shabat Umar masuk Islam pada umur 28 tahun dan Sayyidina Ali yang masuk Islam kurang dari umur 10 tahun dan masih banyak yang lainnya yang masuk Islam kisaran berumur 12,13,14 dan 15 Tahun.
Hadist Nabi
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga bersabda :
"Ada 7 golongan manusia yang akan dinaungi oleh Allah di bawah naungan-Nya. Pada hari itu, tidak ada naungan, kecuali nanungan Allah. Golongan tersebut adalah pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh di dalam beribadah kepada Allah, seseorang yang hatinya senantiasa terpaut dengan masjid-masjid, dua orang yang saling mengasihi karena Allah, mereka bertemu dan berpisah karena Allah, seorang laki-laki yang diundang oleh seorang perempuan yang berkedudukan dan berwajah elok (untuk melakukan kejahatan) tetapi dia berkata, 'Aku takut kepada Allah!', seorang yang memberi sedekah, tetapi dia merahasiakannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya, dan seorang yang mengingat Allah di kala sendirian sehingga menetes air matanya." (HR Bukhori)
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya Allah Ta’ala benar-benar kagum terhadap seorang pemuda yang tidak memiliki shabwah." (HR Ahmad, Thabrani dalam al-Mu`jamul Kabir dan lainnya).
Kata shabwah yang dikaitkan dengan pemuda pada hadis di atas, dijelaskan dalam kitab Faidhul Qadir (2/263) sebagai pemuda yang tidak memperturutkan hawa nafsunya. Sebaliknya, dia membiasakan diri melakukan kebaikan dan berusaha keras menjauhi keburukan.
Terakhir, dua buah hadist yang semoga bisa menjadi peringatan untuk kita semua, para pemuda, untuk tidak menyianyiakan masa muda tersebut dengan hal-hal yang bisa mendatangkan murka Allah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda dalam hadits Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhu,
"Tidak akan beranjak kaki anak Adam pada Hari Kiamat dari sisi Rabbnya sampai dia ditanya tentang 5 (perkara) : Tentang umurnya dimana dia habiskan, tentang masa mudanya dimana dia usangkan, tentang hartanya dari mana dia mendapatkannya dan kemana dia keluarkan dan tentang apa yang telah dia amalkan dari ilmunya". (HR. At-Tirmizi)
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
"Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara :
[1] Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu,[2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu,
[3] Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu,
[4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu,
[5] Hidupmu sebelum datang kematianmu."
(HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, dikatakan oleh Adz Dzahabiy dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir)
Menjawab Pertanyaan di Alam Kubur
makam |
الْحَمْدُ لِلَّهِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الذي هدانا سبل السلام، وافهمنا بشريعة النبي الكريم، اشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له، ذو الجلال والاكرام، واشهد ان سيدنا ونبينا محمدا عبده و رسوله، اللهم صل و سلم وبارك على سيدنا محمد وعلى اله واصحابه والتابعين باحسان الى يوم الدين، اما بعد: فيايها الاخوان، اوصيكم و نفسي بتقوى الله وطاعته لعلكم تفلحون، قال الله تعالى في القران الكريم: اعوذ بالله من الشيطان الرجيم، بسم الله الرحمان الرحيم: يايها الذين امنوا اتقواالله وقولوا قولا سديدا، يصلح لكم اعمالكم ويغفرلكم ذنوبكم، ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيما. وقال تعالى: يايهاالذين امنوا اتقواالله حق تقاته ولاتموتن الا وانتم مسلمون، صدق الله العظيم.
Rasulullah SAW bersabda bahwa ketika seseorang telah dibaringkan di dalam kubur dan para pengantar telah meninggalkannya, maka dua malaikat, yakni Munkar dan Nakir, segera mendatangi dan menanyakan tentang tiga hal pokok, yakni: siapa tuhannya, apa agamanya dan siapa nabinya. Hadits tersebut sebagaimana diriwayatkan dari Al-Barra’ bin Azib:
فَيَأْتِيهِ مَلَكَانِ شَدِيدَا الاِنْتِهَارِ فَيَنْتهِرَانِهِ وَيُجْلِسَانِهِ فَيَقُولاَنِ لَهُ: مَنْ رَبُّكَ؟ مَا دِينُكَ؟ مَنْ نَبِيُّكَ؟
فيأتيه ملكان شديدا الانتهار فينتهرانه، ويجلسانه، فيقولان له: من ربك؟ ما دينك؟ من نبيك؟
فيأتيه ملكان شديدا الانتهار فينتهرانه، ويجلسانه، فيقولان له: من ربك؟ ما دينك؟ من نبيك؟
Dalam beberapa riwayat dikatakan ketiga pertanyaan pokok tersebut diikuti dengan tiga pertanyaan berikutnya sehingga berjumlah enam pertanyaan sebagai berikut:
1. Man rabbuka? Siapa Tuhanmu?
2. Ma dinuka? Apa agamamu?
3. Man nabiyyuka? Siapa Nabimu?
4. Ma kitabuka? Apa kitabmu?
5. Aina qiblatuka? Di mana kiblatmu?
6. Man ikhwanuka? Siapa saudaramu?
Keenam pertanyaan di atas tampak sepele untuk dijawab. Namun, sebenarnya tidak demikian sebab semua bergantung pada amal masing-masing semasa hidupnya. Ketika seseorang sudah dibaringkan di dalam kubur, ia sendirian tanpa seorang pun menemani; sementara malaikat menyapa dengan garang sambil menarik orang itu agar berposisi duduk. Kedua malaikat kemudian mengajukan keenam pertanyaan sebagaimana di atas. Mereka yang senantiasa melaksanakan shalat lima waktu, terlebih yang suka shalat berjamaah di masjid, sesungguhnya mereka telah memegang kunci sukses menjawab keenam pertanyaan itu.
Kalau kita camkan definsi shalat, yakni serangkaian kegiatan ibadah tertentu yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam, maka kita dapati kata pertama yang wajib kita ucapkan dalam shalat adalah الله, yakni dalam takbiratul ihram: الله اكبر. Jika dalam sehari semalam kita melakukan shalat fardhu lima waktu, maka kita akan menyebut الله dalam takbiratul ihram sebanyak lima kali. Jika takibiratul ihram ditambah dengan takbir-takbir yang lain seperti takbir sebelum ruku’, sebelum sujud, dan sebagainya, maka dalam sehari semalam kita menyebut الله sebanyak 68 kali. Itu belum termasuk yang kita sebut dalam shalat-shalat sunnah. Singkatnya orang yang taat menjalankan perintah shalat akan sangat terbiasa mengucapkan الله.
Kaitannya dengan pertanyaan pertama di atas, seseorang yang semasa hidupnya senantiasa melaksanakan kewajiban shalat, kemudian di dalam kubur ditanya: من ربك (siapa Tuhanmu) maka dengan mudah ia dapat menjawab: الله ربي (Allah Tuhanku) karena ia terbiasa menyebut الله setidaknya 68 kali dalam sehari semalam. Bayangkan mereka yang malas shalat, apalagi tak pernah shalat sama sekali. Tentu mereka akan mengalami kesulitan menjawab pertanyaan ini.
Terhadap pertanyaan kedua, yakni ما دينك (apa agamamu) seseorang yang semasa hidupnya senantiasa melaksanakan kewajiban shalat, ketika di dalam kuburnya ditanya: ما دينك - apa agamamu – maka dengan mudah ia dapat menjawab:الاسلام ديني (Islam agamaku) karena dalam konteks sekarang hanya Islam satu-satunya agama yang memerintahkan melaksanakan shalat.
Agama-agama sebelumnya pada zamannya juga memerintahkan umatnya melaksanakan shalat bahkan dengan jumlah rakaat yang lebih banyak dari pada Islam. Agama-agama itu hingga sekarang masih ada, namun inti ajarannya tidak lagi menekankan iman tauhid dengan hanya menyembah Allah SWT sebagaimana Islam. Maka bisa dimengerti agama-agama itu tidak lagi menyerukan umatnya melakukan shalat. Shalat telah identik dengan Islam karena sekali lagi dalam konteks sekarang Islam satu-satunya agama yang memerintahkan shalat.
Terhadap pertanyaan ketiga, yakni من نبيك (siapa Nabimu) seseorang yang senantiasa melaksanakan kewajiban shalat, tentu dengan lancar dapat menjawab pertanyaan itu karena di dalam shalat lima waktu setidaknya kita menyebut nama محمد sebanyak 10 kali dalam sehari semalam, yakni dalam bacaan tahiyat atau tasyahud akhir yang berbunyi:
أشهد أن لا اله الا الله وأشهد ان محمدا رسول الله
dan dalam bacaan shalawat
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ
Jumlah itu belum termasuk yang dibaca dalam tasyahud awal dan bacaan shalawat dalam rakaat kedua dalam shalat Dhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya’ yang jumlahnya 15 sehingga seluruhnya berjumlah 25. Oleh karena itu, seseorang yang semasa hidupnya senantiasa melaksnakan shalat akan dengan mudah menjawab pertanyaan: من نبيك (siapa nabimu), yakni dengan jawaban: محمد نبي (nabiku Muhammad SAW) karena setiap hari selalu menyebut nama محمد.
Terhadap pertanyaan keempat, yakni ما كتابك - Apa kitabmu, seseorang yang senantiasa melaksanakan kewajiban shalat, tentu dapat menjawab pertanyaan itu dengan jawaban: القران كتابي – Kitabku Al-Qur’an, karena di dalam shalat terdapat rukun yang mengharuskan orang shalat membaca surah pertama dalam Al-Qur’an yakni Surah Al-Fatihah. Seseorang yang melakukan shalat tanpa membaca surah ini dalam setiap rakaat, shalatnya tidak sah, kecuali bagi makmum masbuq yang di rakaat pertama tak selesai membacanya karena waktu tak mencukupi.
Selain surah Al-Fatihah, orang shalat juga membaca surah-surah lainnya di dalam Al-Qur’an yang dibaca sebagai bacaan sunnah. Surah-surah yang hukumnya sunnah ini dibaca setelah surah Al-Fatihah. Dengan dibacanya surah-surah dalam Al-Qur’an dalam shalat, maka dalam sehari semalam setidaknya orang membaca surah-surah Al-Qur’an sebanyak 27 kali. Dengan kata lain untuk menyebut القران sebagai sebagai kitab suci tidak sulit bagi mereka yang senantiasa melaksanakan shalat.
Terhadap pertanyaan kelima, yakni اين قبلتك (di mana kiblatmu) seseorang yang senantiasa melaksanakan kewajiban shalat, tentu dapat menjawab pertanyaan itu dengan jawaban: الكعبة قبلتي (Ka’bah kiblatku) karena orang yang senantiasa melaksanakan kewajiban shalat, akan menghadap ke arah Ka’bah sebanyak 5 kali sehari. Jika ditambah dengan shalat-shalat sunnah, tentu frekuensinya lebih tinggi lagi.
Kebiasan setiap hari menghadap kiblat berupa Ka’bah ini tentu akan memudahkan menjawab pertanyaan kelima di atas. Apalagi di dalam niat shalat terdapat kata “kiblat” yang maksudnya adalah Ka’bah. Niat itu misalnya:
أصَلِّيْ فَرْضَ الظُّهْرِ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مُسْتَقْبِلَ اْلقِبْلَةِ اَدَاءً لِلَّهِ تَعَالَى
“Aku berniat melaksanakan shalat Dzuhur empat rakaat dengan menghadap Kiblat karena Allah SWT.
Dalam bacaan niat di atas secara eksplisit terdapat kata اْلقِبْلَةِ. Kata-kata kiblat ini tentu akan selalu mengingatkan Ka’bah di Tanah Suci Makkah Al-Mukarramah. Orang Islam yang taat kepada Allah senantiasa akan menghadap ke arah Ka’bah sedikitnya 5 kali dalam sehari. Artinya bagi orang yang senantiasa melaksanakn shalat untuk menyebut nama Ka’bah tidak sulit.
Terhadap pertanyaan keenam, yakni من إخوانك (siapa saudara-saudaramu), seseorang yang senantiasa melaksanakan kewajiban shalat dengan berjamaah di masjid, tentu dapat menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang tepat, yakni المسلمون والمسلمات إخواني (kaum muslimin dan muslimat saudara-saudaraku).
Jawaban dari pertanyaan keenam ini memang memiliki keterkaitan langsung dengan masjid karena tempat suci ini merupakan tempat berkumpulnya kaum muslimin dan muslimat untuk melaksanakan jamaah shalat. Seseorang yang membiasakan diri dengan shalat berjamaah di masjid, tentu akan ingat saudara-saudara seiman yang berjamaah shalat bersamanya walaupun mungkin tidak tahu nama mereka satu per satu. Tidak mungkin atau sangat kecil kemungkinannya orang-orang non-muslim melakukan shalat, apalagi di masjid.
Dari uraian di atas dapat kita lihat dengan jelas ada hubungan erat antara shalat, masjid dan kelancaran menjawab 6 pertanyaan di dalam kubur yang meliputi: siapa tuhanmu, apa agamamu, siapa nabimu, apa kitabmu, dimana kiblatmu, dan siapa saudara-saudaramu. Orang-orang yang senantiasa melaksanakan kewajiban shalat, apalagi dengan berjamaah di masjid, sudah pasti tidak akan mengalami kesulitan menjawab semua pertanyaan tersebut.
Kesuksesan menjawab semua pertanyaan itu menjadi penentu kesuksesan-kesuksesan berikutnya apakah seseorang akan masuk ke surga atau ke neraka. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang senatiasa sukses dalam menghadapi semua pertanyaan di alam kubur. Amin ya rabbal alamin.
Langganan:
Postingan (Atom)